MATERI KERAJAAN-KERAJAAN ISLAM DI JAWA

MATERI KERAJAAN-KERAJAAN ISLAM DI JAWA

KERAJAAN-KERAJAAN ISLAM DI JAWA

DR. H.J. DE GRAAF dan DR. TH.G. TH. PIGEAUD



Daftar Isi



Pengantar Penerbit
Sepatah Sambutan
Kata Pengantar
Pendahuluan
Babi

Permulaan Penyebaran Agama Islam di Jawa

Bab II

Lahirnya dan Jayanya Kerajaan Demak pada Dasawarsa-Dasawarsa Terakhir
Abad ke-1 5 dan Paruh Pertama Abad ke-1 6



Bab III

Mundur dan Runtuhnya Kesultanan Demak pada Pertengahan Abad ke-1 6

Bab IV

Sejarah Kerajaan-Kerajaan yang Lebih Kecil di Daerah-Daerah Pesisir Utara
Jawa Tengah pada Abad ke-1 6: Pathi dan Juwana

Bab V

Sejarah Kerajaan-Kerajaan yang Lebih Kecil di Daerah-Daerah Pantai Utara
Jawa Tengah pada Abad ke-1 6: Kudus

Bab VI

Sejarah Kerajaan-Kerajaan Kecil di Pantai Utara Jawa Tengah pada Abad ke-1 6:
Japara Kalinyamat

Bab VII

Riwayat Kerajaan-Kerajaan di Jawa Barat pada Abad ke-1 6: Cirebon

Bab VIII

Sejarah Kerajaan-Kerajaan di Jawa Barat pada Abad ke-16:Banten

Bab IX

Sejarah Kerajaan-Kerajaan di Daerah-Daerah Pantai Utara di Sebelah Timur
Demak pada Abad ke-1 6: Jipang-Panolan

Bab X

Sejarah Kerajaan-Kerajaan di Daerah-Daerah Pantai Utara Jawa Timur pada
Abad ke-1 6: Tuban

Bab XI

Sejarah Kerajaan-Kerajaan di Daerah-Daerah Pantai Utara Jawa Timur pads
Abad ke-1 6: Gresik-Giri

Bab XII

Sejarah Kerajaan-Kerajaan di Daerah-Daerah Pantai Utara JawaTimur pada
Abad ke-1 6: Surabaya

Bab XIII

Sejarah Madura Barat pada Abad ke-1 6: Madura Barat

Bab XIV




Sejarah Madura pada Abad ke-16: Madura Timur, Sumenepdan Pamekasan

Bab XV

Sejarah Ujung Timur Pulau Jawa pada Abad ke-16: Bagian Barat dari Ujung
Timur Jawa, Pasuruan

Bab XVI

Sejarah Ujung Timur Pulau Jawa pada Abad ke-16,: Dari Probolinggo Sampai
Panarukan

Bab XVII

Sejarah Ujung Timur Pulau Jawa pada Abad ke-16: Bagian Timur Ujung Timur:
Blambangan

Bab XVIII

Sejarah Kerajaan Palembang pada Abad ke-16

Bab XIX

Sejarah Kerajaan-Kerajaan Jawa Tengah Pedalaman, Pengging dan Pajang
pada Abad ke-16

Bab XX

Sejarah Kerajaan Mataram pada Abad ke-16

Bab XXI

Sebab-Sebab Kekalahan Kerajaan-Kerajaan Jawa Timur dan Pesisir dalam
Perang Melawan Mataram pada Abad ke-16 dan ke-17

Daftar Singkatan
Daftar Kepustakaan
Indeks




Pengantar Penerbit



Karya Dr. H.J. de Graaf dan Dr. Th.G.Th. Pigeaud, De Eerste Moslimse
Vorstendommen, yang sekarang diterbitkan sebagai buku kedua Seri Terjemahan
Javanologi, mempunyai kedudukan dan arti tersendiri di dalam riwayat perkembangan
penulisan sejarah Jawa-lama. Buku mi secara khusus menyoroti abad ke-15 dan ke-16
yang merupakan permulaan periode Islam di Jawa, sebuah episode sejarah yang
sebelumnya banyak dilalaikan, bahkan hingga sekarang masih kurang sekali dijamah
para sejarawan.

Berbeda dengan penulis-penulis Barat terdahulu yang terutama mendasarkan
uraiannya pada bahan-bahan keterangan asing, kedua sarjana kawakan Belanda ini
memelopori penggunaan sumber-sumber pribumi. Dengan demikian, lebih dari sekadar
mengisi kekosongan dalam penulisan sejarah Jawa, cakupan pembahasan dalam buku
ini pun lebih menyeluruh. Jika gambaran sejarah Jawa oleh penulis-penulis asing
sebelumnya lebih banyak berkisar di sekitar silsilah raja dan soal-soal keagamaan,
maka dalam buku ini aspek-aspek sosial-ekonomis juga ditonjolkan.

Tidak kurang pentingnya, kalau bukan yang terpenting dalam kaitan dengan studi
Javanologi, ialah bahwa buku ini memberikan perspektif baru mengenai dinamika
masyarakat Jawa dan kebudayaannya - paling tidak di dalam kurun zaman yang
dibicarakan. Selain mengoreksi anggapan seolah-olah keruntuhan dinasti Majapahit
berlangsung mendadak yang pada gilirannya diartikan sebagai keruntuhan suatu
peradaban, De Graaf dan Pigeaud juga mengimbangi kecenderungan penulis-penulis
lain yang melebih-lebihkan peranan istana dan melecehkan peristiwa-peristiwa dan
perkembangan masyarakat di luarnya. Demikianlah, terjemahan buku ini disajikan
sehingga memungkinkan pembaca Indonesia, khususnya mereka yang berminat
mempelajari sejarah dan kebudayaan Jawa, untuk bisa pula dengan mudah mengikuti
hasil penelitian dan pengkajian Dr. De Graaf dan Dr. Pigeaud. Penerbitan buku ini
sekaligus diharapkan untuk berfungsi sebagai cara penerusan tradisi keilmuan yang
telah dirintis oleh kedua penulisnya, kepada setiap mahasiswa Indonesia yang
berketetapan menekuni sejarah.



Jakarta, awal Agustus 1 985




Sepatah Kata



BUKU yang disajikan sekarang ini merupakan buku kedua dalam Seri Terjemahan
Javanologi, usaha bersama antara Perwakilan Koninklijk Instituut voor Taal-, Land-en
Volkenkunde (KITLV) di Jakarta dan Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan
Nusantara (Javanologi) di Yogyakarta.

Buku pertama dalam rangkaian terbitan tersebut mengenai Sastra Jawa Mutakhir
sejak tahun 1945. Kemudian menyusul enam buku mengenai Sejarah Jawa antara
abad ke- 15 dan ke- 18.

Dalam buku ke-2 ini Dr. H.J. de Graaf dan Dr. Th.G.Th. Pigeaud berusaha
menggambarkan sebuah episode sejarah Jawa antara zaman pengaruh Hindu-Budha
dan masuknya agama Islam di Indonesia berdasarkan sumber-sumber sejarah Jawa
asli, seperti Babad Tanah Djawi, Serat Kandha, Babad Mataram, dan Babad Sangkala.

Dengan demikian, para pengarang tersebut telah mengoreksi "wajah" sejarah Jawa
olahan para ilmuwan Eropa yang selama ini diwarnai oleh informasi yang bersumber
pada data-data asing saja. De Graaf dan Pigeaud berhasil melengkapi historiografi
Jawa dengan menggunakan sumber-sumber Jawa sendiri.

Hasil usaha kedua sarjana tangguh ini patut dihargai dan dijadikan pedoman dan
bekal bagi penelitian Sejarah Jawa selanjutnya.

Kepada Perwakilan KITLV dan Penerbit Grafiti Pers kami ucapkan terima kasih atas
usahanya menerjemahkan karya ini dan menyuguhkannya dalam bentuk yang menarik.



Yogyakarta, April 1 985



Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara

Dr. Soedarsono




Kata Pengantar



Tulisan dalam bentuk terjemahan yang disajikan ini adalah hasil kerja sama dua
sarjana Belanda kenamaan, Dr. H.J. de Graaf dan Dr. Th. G.Th. Pigeaud, yang
keduanya, sampai usia yang telah lanjut (kedua-duanya lahir pada tahun 1899) telah
dan masih memberikan perhatian sepenuhnya kepada Indonesia, khususnya Jawa,
dalam bidang sejarah bagi Dr. de Graaf dan kesusastraan Jawa bagi Dr. Pigeaud. Lagi
pula kedua-duanya mengenal Indonesia dengan baik, karena mereka bertahun-tahun
bekerja dan menetap di Indonesia. Dr. Pigeaud lama di Yogyakarta sebagai seorang
"taalambtenaar" dan Dr. de Graaf di kota-kota Malang, Probolinggo, Surakarta, dan
Jakarta sebagai guru dan kemudian guru besar, Karangan-karangan Dr. de Graaf
mencapai lebih dari 100 buah ditambah karangan buku lebih dari dua puluh, yang
utama ialah Geschiedenis van Indonesie (s'Gravenhage,1949) dan mengenai pelaku-
pelaku utama sejarah kerajaan-kerajaan dari Jawa Tengah, seperti Sultan Agung,
Sunan Mangkurat, tentang Kajoran. Jasa utama beliau terletak pada digunakannya
sumber dan naskah pribumi Sehingga karangan-karangan beliau terasa lebih
menggambarkan pandangan dan perasaan yang "asli" Indonesia, lebih-lebih karena
disertai pula dengan ilustrasi-ilustrasi detail yang meng-"hidup"-kan gaya nafasi dan
memudahkan pengertian. Karangan-karangan Dr. Pigeaud pun sangat besar artinya
bagi perkembangan penelitian ilmiah terhadap masyarakat Jawa terutama bidang
kehidupan budayanya. Karya-karya beliau yang perlu dicatat ialah: Javaanse
Voiksvertoningen (Jakarta, 1938), kemudian Java in the 14th Century yang terdiri dari
lima jilid (Den Haag,1 960-1 963), dan Literature of Java (tiga jilid, Den Haag, 1967-1970,
ditambah 1 Suplemen, th.1 980) yang ketiganya merupakan karya besar yang
menunjukkan ketekunan kerja dan luasnya pengetahuan yang beliau miliki tentang
kebudayaan Jawa. Hasil karya itu pun masih ditambah dengan sebuah kamus Jawa-
Belanda (Gropingen, Batavia, 1938) dan karangan-karangan di pelbagai majalah. Yang
perlu diketahui juga ialah bahwa selama beliau di Yogyakarta, sebelum Perang Dunia II,
sedang menyusun suatu ensiklopedi bahasa Jawa. Sayang, pekerjaan tersebut hingga
kini masih belum terselesaikan dan disimpan di Jakarta.

Terjemahan ini, yang judul aslinya De eerste Moslimse Vorstendommen op Java
(s'Gravenhage,1974), berusaha menyajikan kepada para pembaca Indonesia suatu
usaha mengisi kekosongan penulisan tentang sejarah politik di Jawa pada abad ke-15
dan ke-16, suatu episode sejarah yang oleh orang-orang di Jawa Tengah dianggap
sebagai suatu transisi dari kekuasaan Kerajaan Majapahit yang "Budha" ke Kerajaan
Mataram yang Islam. Di situ diuraikan perkembangan kehidupan politik di pelbagai
pusat kekuasaan di wilayah Pulau Jawa bagian utara, mulai Demak ke barat dan ke
timur, dari Banten hingga Blambangan di ujung paling timur Jawa. Beberapa kekuasaan
setempat di luar Pesisir: Pengging, Pajang, Mataram, juga Palembang mendapat




perhatian, tidak ayal lagi karena hubungannya dengan perkembangan agama dan
kebudayaan Islam di Jawa. Bab pertama dan terakhir - buku ini terdiri dari 21 bab -
merupakan bab-bab yang mencoba mengintegrasikan tulisan ini dalam satu kerangka
kaitan yang berarti, yaitu: meluasnya kekuasaan Islam dan usaha dominasi Mataram
terhadap daerah-daerah Pesisir. Dimulainya dengan memaparkan sejarah Kerajaan
Demak tentu saja mengikuti pendapat umum bahwa sejarah di Jawa pada mula abad
ke-15 itu mengalami pemutusan yang tiba-tiba dan final, dan bahwa jatuhnya
kekuasaan Majapahit yang sekaligus dianggap eksponen utama kebudayaan Hindu-
Budha diikuti dengan timbulnya kekuasaan Demak yang sekaligus dianggap eksponen
utama kebudayaan Islam. Para penulis sejak semula telah memperingatkan agar
anggapan yang demikian ditinggalkan, karena masih banyak pusat pengislaman lain
yang ada di pantai utara Jawa: Madura, Surabaya, Gresik, Tuban, mungkin Jepara,
Juwana, kemudian Cirebon di barat dan Banten yang hingga kini masih belum pasti
benar akan peranannya di dalam peng-lslam-an Pulau Jawa. Dengan menggunakan
Demak dan kemudian Pajang sebagai pusat kegiatan politik maupun pusat penyebaran
para pemuka Islam, berturut-turut dibicarakan Pati, Juwana, Kudus, Kalinyamat,
kemudian mengarah ke barat hingga Banten. Dari Demak ke timur kemudian
dibicarakan Jipang, Tuban, Gresik, Surabaya, Madura, lalu akhirnya menjamah daerah
kekuasaan penguasa-penguasa yang masih beragama Hindu di ujung pulau sebelah
timur: Blambangan. Untuk tiap daerah kekuasaan yang semua disebut

"vorstendommen" (kerajaan kecil), ditelusuri sejarahnya dalam abad ke-15 dan ke-16
maupun abad-abad sekitarnya, dengan memakai berita-berita lama yang historis yang
dapat diandalkan, terutama tulisan Tome Pires, Suma Oriental yang terkenal maupun
catatan-catatan yang dibuat oleh pelaut dan pedagang Belanda, di samping banyak dan
bermacam "legenda" (cerita) yang terdapat dalam tulisan-tulisan orang pribumi. Dengan
demikian, maka kepada pembaca disajikan sumber dan bahan yang hingga sekarang
kurang atau tidak dikenal orang, sehingga tulisan ini menjadi amat berharga, selain itu
karena sampai kini masih kurang sekali orang menulis sejarah tentang zaman peralihan
ini. Sesudah dibicarakan Kerajaan Palembang, terutama karena hubungan dan
kaitannya dengan Kerajaan Demak, maka dengan menyinggung Pengging dan Pajang
sebagai pendahulunya yang langsung, maka buku ini berakhir dengan mengemukakan
keadaan dan usaha-usaha pemekaran daerah Mataram pada abad ke-16. Selain
memaparkan perkembangan sejarah politik, para penulis buku ini juga berusaha di
sana-sini mengemukakan keadaan kehidupan penduduk maupun keadaan ekonomi
zaman tersebut, tetapi sesuai dengan judulnya, maka terutama disajikan peranan
penting pusat-pusat kekuasaan Islam dan para tokoh politik maupun agama yang telah
demikian besar jasanya dalam menyebarkan agama Islam di Jawa, tentunya termasuk
pula para "Wali Sanga". Buku ini dilengkapi pula dengan anotasi-anotasi yang ekstensif
sebagai pelengkap dan petunjuk yang amat berharga, terutama dari tangan Dr.
Pigeaud.




Tanpa mengurangi pentingnya jasa dan usaha kedua penulis buku ini untuk
menyingkap tabir serta menjernihkan sejarah masa peralihan di Jawa ini - tetapi
menurut pengakuan beliau-beliau sendiri, tidak ada dan belum lengkapnya bahan-
bahan, sumber-sumber untuk digali dan diselidiki - mengharuskan kita untuk
memikirkan dan melengkapi lebih lanjut persoalan-persoalan tersebut yang masih
belum jelas.

1 . Penelitian sejarah selalu memerlukan pembatasan temporal dan spasial yang jelas,
sehingga kita dapat menempatkan peristiwa-peristiwa dalam kaitan-hubungan yang
bulat dan setuntas-tuntasnya, sehingga tidak diperoleh gambaran yang timpang dan
mengambang. Melihat keadaan Pulau Jawa sepanjang sejarahnya, maka kita selalu
tertarik pada adanya hubungan pergaulan antara pelbagai daerah yang letaknya
berjauhan. Walaupun secara legendaris belaka, hubungan Jawa bagian barat
dengan Jawa bagian timur digambarkan telah ada sejak dahulu kala seperti yang
diceritakan oleh Babad Tanah Djawi. Hal ini didukung pula oleh kenyataan-
kenyataan selanjutnya yang membawa orang-orang yang "lelana" (dan kemudian
lagi para santri yang mencari "paguron-paguron" ternama seperti yang dikisahkan
dalam babad Cirebon) ke pelbagai penjuru tanah Jawa (dan Seberang), maupun
kenyataan juga bahwa orang-orang dari Yogyakarta dan juga dari Surakarta
melakukan perlawatan-perlawatan dan banyak yang lalu menetap di daerah selatan
ke arah timur hingga Jember melalui jalan terobos inroads yang agaknya terletak di
bagian selatan Pulau Jawa yang tandus itu entahlah hal itu kapan dimulainya.
Kenyataan-kenyataan sejarah yang demikian tadi kiranya akan mengundang
pertanyaan, apakah cukup memberikan gambaran yang jelas, jika kita melihat
jangkauan hubungan yang luas tadi hanya dari sudut perkembangan kekuasaan-
kekuasaan Islam di pantai utara Jawa dengan mengabaikan pusat kekuasaan politik
yang terletak di pedalaman yang (mungkin) terletak di Priangan Selatan, Pasir,
daerah Kedu, dan Mataram sendiri, Ponorogo (dengan Betara Katong yang
legendaris), Kediri, Ngrowo, serta Lumajang yang merupakan pusat-pusat
kekuasaan yang bukan baru dan yang memang demikian sedikit kita ketahui
perkembangannya. Dengan demikian, maka peta politik Pulau Jawa pada kurun
waktu yang kita pandang sebagai transisi ini akan lebih lengkap kiranya karena di
samping kekuasaan Islam masih ada kekuatan-kekuatan politik lainnya yang cukup
penting untuk diperhatikan, terutama kedudukan penguasa daerah yang satu
terhadap yang lain. Dalam konstelasi politik pada zaman kerajaan tradisional di
Jawa (yang memungkinkan terjadinya pergeseran-pergeseran pusat-pusat
kekuaasaan karena pentingnya unsur kekuatan fisik), kiranya masih kita dapati pola
kepatuhan - jika tidak boleh dikatakan: pengabdian antara penguasa pusat dan
pengikut-pengikutnya di daerah yang didasarkan terutama atas tradisi dan
kebiasaan, diperkuat dengan tali kekerabatan dan perkawinan maupun upaya-
upaya yang lain. Konstruksi-konstruksi yang simbolis untuk menjaga terjadinya




penyelewengan-penyelewengan dari pola politik yang sudah dianggap mantap -
jadi: keramat karena direstui oleh kekuatan-kekuatan gaib di luar jangkauan
kemampuan manusia - sangat banyak dijumpai dalam literatur Jawa. Dalam alam
pikiran yang demikian, maka tidak mudah agaknya bagi para penguasa lokal untuk
menganggap dan membanggakan dirinya sebagai seorang raja (Jawa: "nata",
"raja", "ratu") yang berdiri merdeka di atas penguasa-penguasa lain, walaupun
dalam kenyataannya mereka mempunyai kekuatan nyata yang cukup besar untuk
menumbangkan penguasa pusat. Melanggar pola tradisi rupanya dianggap suatu
risiko yang amat berat, hingga lebih menguntungkan melakukan pelanggaran-
pelanggaran yang sifatnya lokal (mendirikan gerbang bea (Jawa: "rangkah") atau
malahan mengambil sebagian kecil daerah dari daerah penguasa yang berbatasan
daerah lain) daripada menentang dan menantang tata cara yang telah ditetapkan
dari "atas". Dengan demikian, agak sulitlah bagi kita untuk melihat kesatuan-
kesatuan kekuatan politik di Jawa sebagai kesatuan yang sama derajat dan
kedudukannya. Keraton Demak atau Keraton Mataram tidak dapat disamakan
dengan kabupaten atau kadipaten Pati, Madiun, atau Pasuruan, juga tidak dengan
Surabaya yang ternyata sangat kuat itu. Mereka itu tidak menyebut dirinya lebih dari
"bupati" atau "adipati", menyebut "Panembahan" mungkin dan tidak dengan gelar
yang dipergunakan raja-raja. Lebih baik dalam penelitian peta politik Jawa pada
zaman itu kita berusaha mencari dan memperhatikan pola ikatan afiliasi dan aliansi
maupun pertentangan-pertentangan yang terjadi di dalamnya.

2. Jika menilik pengetahuan kita tentang sejarah sosial dan ekonomi di Jawa waktu itu,
maka lebih parah lagi kekurangan-kekurangannya, suatu hal yang diakui
sepenuhnya oleh Dr. de Graaf dan Dr. Pigeaud. Tentang hubungan dagang keluar
dari orang Jawa banyak yang kita ketahui, karena banyak sumber asing yang
menyebut dan mencatatnya sehubungan dengan kepentingan perdagangan
mereka, tetapi tentang pola produksi, distribusi, dan konsumsi di dalam negeri
sendiri sangat sedikit diketahui. Mungkin kita harus memulai penelitian dari yang
telah dirintis oleh Dr. J. Noorduynl tentang tempat-tempat penyeberangan utama
zaman dahulu yang pada umumnya juga merupakan tempat-tempat penarikan bea
dan cukai terhadap barang-barang yang lewat, yang dilakukan oleh penguasa-
penguasa setempat. Hal itu disebut "pabean", "bandar (an)" atau "rangkah" jika
didirikan di jalan-jalan urat nadi perdagangan. Juga perlu diselidiki sistem "pasar"
yang berpedoman pada perhitungan hari "pasaran" yang lima itu. Pasar-pasar tadi
selain merupakan tempat penjualan barang-barang produksi lokal juga penting
artinya bagi hash-hash kerajinan yang khusus menjadi ciri khas tempat-tempat atau
desa-desa tertentu, apakah itu tenunan yang khusus ataupun sangkar burung
perkutut yang halus buatannya yang dijajakan lewat pasar-pasar tersebut sampai



Dr. J. Noorduyn, Further Topographical Notes on the Ferry Charterof 1359. BKI 124 (1968), hal. 460-473



jauh dari tempat asainya. Masih perlunya diadakan penelitian-penelitian setempat
terhadap kota-kota tua - jika perlu ditopang dengan ekskavasi-ekskavasi - sangat
terasa, ditambah dengan penyelidikan-penyelidikan tentang kedudukan dan
peranan orang-orang Cina di kota-kota pantai utara Jawa, terutama sebagai pemula
dan pendorong usaha dan perusahaan di pelbagai bidang kegiatan ekonomi, tetapi
juga peranan mereka di bidang kebudayaan, apalagi pada zaman mulai
berkembangnya agama Islam, suatu masalah yang pada waktu sekarang sedang
hangat dibicarakan orang. Beberapa pihak telah mulai mengadakan penelitian
terhadap kola-kota pantai ini secara lebih luas, antara lain Universitas Gadjah Mada
di Yogyakarta, tetapi hasil-hasilnya masih jauh dari cukup untuk mendapatkan
gambaran yang jelas tentang kehidupan kota-kota tersebut pada waktu lampau.
Penyelidikan-penyelidikan Von Faber2 beberapa waktu yang lalu terhadap
Surabaya perlu mendapat perhatian yang lebih besar, meskipun banyak
dipergunakan cerita-cerita yang sulit diidentifikasikan secara kronologis-historis
dalam konteks sejarah kota ini maupun kebenaran historisnya. Penggunaan
legenda-legenda lokal kiranya perlu digalakkan karena dalam sejarah kebudayaan,
anggapan dan kepercayaan yang hidup dalam masyarakat juga merupakan "fakta
sejarah" yang mempunyai arti sendiri, di samping kemungkinan penggunaannya
sebagai bahan perbandingan dan pengkajian yang akan memungkinkan
ditemukannya kenyataan-kenyataan sejarah lebih lanjut, asal saja penggunaan
cerita-cerita lokal tadi tidak dihadap-tentangkan dengan tulisan/catatan asing dari
luar sebagai sumber sejarah yang "tidak dapat dipercaya" dengan yang "dapat
dipercaya", apalagi dalam karya tulis orang Jawa lazim sekali dipaparkan sesuatu
secara terselubung yang mempersilakan pembaca menginterpretasikannya sedekat
atau setepat-tepatnya dengan apa yang sesungguhnya terjadi. Tulisan-tulisan Prof.
C. C. Berg3 tentang interpretasi terhadap tulisan-tulisan orang Jawa merupakan
contoh-contoh yang berharga, bagaimana orang harus mampu membedakan antara
apa yang tersurat dan apa yang tersirat (atau yang dimaksud) oleh tulisan tersebut.

Masih dalam kategori sejarah budaya Jawa, kiranya masih ada satu hal yang perlu
mendapat perhatian walaupun memang bukan merupakan tujuan dari penulisan buku
yang kami sajikan ini, tetapi telah disinggung di sana-sini. Soal itu adalah apa yang
disebut "kebudayaan Jawa", dalam hal buku ini: "Kebudayaan Pesisir". Pada umumnya
kita telah terbiasa dengan konsepsi tentang adanya "kebudayaan keraton" yang
berpusat dan bersumber pada kegiatan-kegiatan di "nagara" (atau "negari") sebagai ibu
kota kerajaan, yang bersifat lebih halus, dengan sofistikasi yang tinggi maupun dengan



2 G. H. von Faber, Er werd een stad geboren. Soerabaja, 1935. Lihat pula sebagai perbandingan "Selected studies on
Indonesia" jilid IV. The Indonesian Town. Den Haag 1958. Akhir-akhir ini Amen Budiman mulai menulis tentang Semarang
"Semarang riwayatnya dulu", Semarang 1978 dan F.A. Soetjipto telah menulis disertasi yang berharga "Kota-kota pantai di
sekitar Selatan Madura", Yogyakarta, 1 983.

3 Dr. C. C. Berg, Javaansche Geschiedschrijving, dalam F.W. Stapel, Geschiedenis van Nederlandsch-lndie. Amsterdam, 1938.
Jilid ke-2.



selera dan gaya yang penuh kerumitan dan kekayaan, yang ditentang-hadapkan
dengan "kebudayaan desa" yang kasar dan sederhana. Bagaimanapun benarnya
pembagian atas dua lingkungan kebudayaan yang demikian ini, ia tidak dapat
memberikan kejelasan tentang titik (titik-titik) temu di antara keduanya, terutama karena
dalam sejarah di Jawa, desa selalu merupakan sumber vitalitas keturunan yang sering
ditimba oleh para raja dan penguasa lainnya, di samping merupakan sumber-sumber
bagi bakat yang terpendam, terutama di pelbagai bidang kesenian. Hal ini masih
diperkuat dengan adanya pusat-pusat pendidikan agama yang berupa pesantren-
pesantren yang untuk kepentingan-kepentingan politik perlu diikat dengan penguasa-
penguasa negara. Kehidupan di pesantren-pesantren ini ditinjau dari sudut politik
maupun dari sudut sosial ekonomi masih memerlukan penelitian dan penyelidikan yang
tidak sedikit, apalagi jika kita insafi bahwa antara pesantren-pesantren - dan mungkin
sekali juga di antara pusat-pusat pengajaran dan pemahaman agama yang sebelumnya
- terdapat hubungan dan pertukaran murid yang tidak sedikit, di antara tempat-tempat
yang berjauhan sekah letaknya.

Tempat-tempat ini pun merupakan inroads (jalan terobos) ke lingkungan budaya
keraton, juga bagi pusat-pusat kegiatan Islam yang mempunyai ketenaran yang jauh
jangkauannya hingga tokoh-tokohnya dicari hubungannya oleh atau mengadakan
hubungan dengan keraton atau "dalem-dalem" para bupati. Masih amat minimalnya
pengetahuan kita tentang kebudayaan kota-kota perdagangan di pantai utara Jawa
atau daerah Pesisir lainnya menambah pula kesulitan kita untuk mendapatkan
gambaran yang cukup buat meliput. Tetapi bagaimanapun juga keragaman budaya
yang dikemukakan di atas memperingatkan kepada kita agar tidak terlalu tegas
berpegangan kepada dikotomi keraton-desa yang sudah terlampau dilazimkan itu.

Dengan memperhatikan segala sesuatu yang telah disajikan tadi, maka dengan
menggunakan hasil usaha penelitian dan penulisan Dr. H.J. de Graaf dan Dr. Th.G.Th.
Pigeaud, dua sarjana Belanda senior yang tidak kita ragukan lagi kemampuannya,
maka tidak ada kemungkinan lain bagi kita selain melanjutkan penyelidikan ini agar
lebih jelas keadaan pada zaman transisi dalam sejarah Jawa ini. Tetapi sudah
benarkah jika kita menamakan masa ini suatu "masa transisi", suatu peralihan dari
kebudayaan yang lama ke kebudayaan yang baru? Bukankah itu hanya suatu transmisi
atau pergeseran kekuasaan yang terjadi dari pedalaman ke tepian pantai (dan
sebaliknya) suatu proses sejarah yang telah berulang kali terjadi di dalam laju sejarah di
daerah kepulauan kita Indonesia ini? Dan dengan demikian tidaklah harus dihadapi
dengan sikap-pandang penelitian yang lain?

Jakarta, November 1983



Soemarsaid Moertono




Pendahuluan



Penulisan Sejarah Jawa

Pada abad ke-15 dan ke-16, yaitu kurun waktu yang dibicarakan buku ini, telah
terjadi perkembangan-perkembangan penting di bidang spiritual, sosial, dan struktur
politik bangsa-bangsa dan negara-negara di Asia Te ggara, seperti juga halnya di India,
Timur Tengah, dan Eropa. Sejarah Eropa dan Timur Tengah pada masa tersebut boleh
dianggap sudah diketahui umum. Semangat petualangan telah mendorong beberapa
bangsa Eropa Barat berdagang ke seberang lautan melewati ujung selatan Afrika ke
India; dan dari sana terus ke Asia Tenggara, Cina, dan Jepang. Hal itu sekaligus berarti
suatu perluasan hubungan antara Timur dan Barat, yang di kemudian hari
menyebabkan terjadinya perubahan penting di bidang sosial dan politik di India dan
Asia Tenggara. Orang Portugis merebut Goa dan Malaka pada tahun 1510 dan 1511,
dan orang Belanda merebut Jakarta pada tahun 1619. Arti perluasan hubungan
perdagangan tersebut bagi bangsa-bangsa Eropa Barat tersebut tidak perlu dibicarakan
di sini.

Demikian pula telah diketahui luasnya pengaruh perebutan-perebutan daerah yang
dilakukan oleh raja-raja Islam di Timur Tengah, selama beberapa ratus tahun terus-
menerus sejak abad ke-7 terhadap perkembangan sosial dan politik di Eropa. Pada
abad ke-15 penakluk yang berkebangsaan Portugis di India dan Asia Tenggara
berhadapan lagi dengan pemeluk agama Islam, yaitu agama yang telah dikenal dalam
sejarah Semenanjung Pirenea. Kalau pada zaman itu agama Islam berabad-abad
menjadi agama keturunan raja yang penting di India, maka di Kepulauan Indonesia -
tegasnya di Pulau Jawa - agama dan tata kemasyarakatan yang pra-lslam masih tetap
bertahan sampai pada permulaan abad ke-16; dan Bali tidak pernah berada di bawah
kekuasaan Islam. Pada masa orang Portugis mulai menetap di Malaka raja-raja yang
beragama Syiwa-Budha, yaitu Pajajaran dan Majapahit, masih memerintah bagian
terbesar Jawa. Kepulauan Nusantara dapat dianggap sebagai tempat pertemuan antara
alam perdagangan Eropa Barat yang terus mendesak dan alam kebudayaan Islam
yang berkembang dari India dan Asia Tenggara.

Di bidang politik, orang-orang Portugis mampu menahan pengaruh Islam yang terus
meluas terhadap kerajaan-kerajaan Indonesia. Kerajaan-kerajaan itu hampir semuanya
masuk ke dalam kekuasaan Islam. Sebaliknya, agama Islam di Asia Tenggara tidak
dapat meluas lebih jauh ke arah timur Semenanjung Malaka dan Filipina. Dinasti
kekaisaran Ming di Cina (1368-1644) pada mulanya bersikap cukup baik terhadap
agama yang datang dari Barat itu, agama Islam, tetapi mengubah sikapnya pada
pertengahan abad ke-15, dan itu besar pengaruhnya. Berlainan dengan perkembangan
Islam, perdagangan bangsa Eropa Barat-lewat laut pada abad ke-16 dan ke-17 dapat



meluas sampai ke Cina dan Jepang. Ini adalah dunia asing bagi pedagang Eropa Barat
dan mereka tidak lagi berjumpa dengan agama Islam, saingan lama.

Asal mula dan perluasan pusat-pusat perdagangan Portugis dan Belanda di India
dan Asia Tenggara telah menjadi pokok penyelidikan para peneliti Barat. Dalam uraian-
uraian mereka juga ditunjukkan perhatian terhadap negeri-negeri dan bangsa-bangsa
yang telah dijumpai oleh para perintis. Akan tetapi, pada masa sekarang, waktu
bangsa-bangsa Asia Tenggara itu mengenyam kemerdekaan politik, terasa kebutuhan
akan suatu uraian ilmiah tentang sejarah bangsa-bangsa itu - baik sebelum maupun
selama penjajahan asing - dengan sedapat-dapatnya menonjolkan kepribadian masing-
masing. Perkembangan sosial dan keagamaan masing-masing akan dijadikan pusat
perhatian. Untuk itu, para penulis sejarah harus pertama-tama memperhatikan sumber-
sumber sejarah pribumi dari abad-abad yang lalu.

Sejak permulaan abad ke-20 telah diterbitkan buku-buku dalam bahasa Belanda
mengenai sejarah Jawa dan Bali pada masa pra-lslam, yang sebagian besar
berdasarkan data yang digali dari sumber-sumber ptibumi. Pengaruh terhadap
peradaban yang pada zaman tersebut datang dart India mendapat perhatian dalam
buku-buku tersebut, malah mungkin terlalu banyak! Walau demikian, sudah pada
tempatnyalah kalau pandangan sejarah mengenal zaman pra-lslam itu - yang dihimpun
dalam karya-karya Profesor Krom dari Leiden - telah disambut di Indonesia dengan
rasa terima kasih sebagai suatu awal sejarah tanah air yang begitu didambakan.

Tersedianya dokumen Belanda, yang dapat dipergunakan sebagai sumber sejarah
sejak akhir abad ke-16, menyebabkan penulis-penulis Barat menunjukkan sedikit saja
perhatian terhadap naskah-naskah sejarah Jawa dan Bali. Tidak dapat disangkal
bahwa dokumen Belanda tersebut lebih dapat dipercaya fakta dan data kejadiannya
daiipada cerita sejarah pribumi, yang sering kali baru dicatat beberapa dasawarsa
sesudah zaman yang diterangkan tersebut terjadi, dan disertai tujuan samping pula.
Para penulis menyusun cerita sejarah itu bukan terutama untuk mencatat kejadian
masa lampau secara teliti. Sementara itu, kecenderungan pemakaian sumber Barat dan
penolakan cerita sejarah pribumi yang tidak dapat dipercaya menyebabkan penulis-
periulis Barat akhir-akhir ini memberikan gambaran yang kurang tepat tentang zaman
Islam, setidak-tidaknya gambaran yang tidak sesuai dengan rangka sejarah tanah air
Indonesia yang dikehendaki.

Salah satu keberatan utama terhadap pandangan mengenai sejarah Jawa yang
sampai belum lama ini umum diterima ialah gambaran bahwa ada jurang yang dalam
antara zaman Hindu-Jawa dan zaman Islam. Gambaran itu kita jumpai juga dalam
cerita sejarah pribumi yang khusus memperhatikan agama Islam, tetapi dalam
pandangan sejarah ala Barat hal itu lebih ditonjolkan oleh uraian-uraian ilmiah tentang
masa Hindu-Jawa. Akhir masa tersebut, yakni jatuhnya Kerajaan Majapahit, dianggap
sebagai keruntuhan suatu peradaban. Sebelum ini pandangan sejarah Barat itu terlalu




sedikit menaruh perhatian terhadap cerita Jawa yang banyak sekali jumlahnya itu, yang
mengisahkan pengambilalihan kekuasaan secara damai atas Jawa oleh penguasa
Islam Demak dari "kafir" Majapahit. Peradaban Jawa Majapahit tidak lenyap, melainkan
sedikit demi sedikit diislamkan.

Cerita-cerita terkenal tentang orang-orang sakti, legenda-legenda mengenai orang
yang telah menyebarluaskan agama Islam- di Pulau Jawa pada abad ke-15 dan ke-16,
harus dilihat sebagai bukti adanya keyakinan yang tumbuh di Jawa, bahwa peradaban
Islam-Jawa yang dikembangkan oleh para wali dalam banyak hal merupakan kelanjutan
dan pembaruan-peradaban Hindu-Jawa.kuna.

Kekurangan lain dalam pandangan Barat mengenai sejarah Jawa ialah sedikitnya
perhatian yang diberikan terhadap perkembangan sosial dan mental pada umumnya,
dan khususnya terhadap perkembangan golongan masyarakat yang dianggap kurang
terpandang, di pedesaan dan di kota-kota pedalaman. Hal ini merupakan akibat wajar
suatu kebiasaan mempergunakan sumber sejarah yang berupa naskah-naskah Jawa
yang ditulis di kota keraton oleh para pujangga keraton, yang sering bertujuan
memuliakan keturunan raja-raja yang mengayomi mereka. Kalau dokumen Belanda
zaman itu dipakai sebagai sumber sejarah, gambaran yang demikian dengan sendirinya
menjadi salah, karena pada dasarnya pegawai dan perwira Kompeni Belanda yang
melakukan perjalanan ke pedalaman Jawa terutama meminta dan memperoleh
keterangan dari penghuni keraton dan abdi raja yang mereka kenal akrab. Hal-hal itu
menyebabkan tumbuh dan berkembangnya suatu pandangan tentang sejarah Jawa,
yang menempatkan segala hal ihwal mengenai silsilah-silsilah raja yang berkuasa -
yaitu berturut-turut keluarga raja Majapahit dan keluarga raja Mataram -sebagai pusat
perhatian. Sekalipun pandangan sejarah itu sesuai dengan alam pikiran Jawa yang
memberikan raja suatu kedudukan pusat dalam alam ini, penulis sejarah zaman
sekarang dituntut memberi perhatian juga kepada perkembangan mental, spiritual, dan
sosial di luar suasana keraton dan di daerah.

Data mengenai hal ini tidak mudah didapatkan. Namun, akan bermanfaat apabila
dari naskah Jawa dan dokumen Belanda kita mencari keterangan yang dapat
menjelaskan keadaan yang kurang diketahui dan perkembangan spiritual di daerah
pedalaman. Dalam kepustakaan pra-lslam telah ditemukan beberapa naskah,
umpamanya Tantu Panggelaran, yang ternyata memuat keterangan-keterangan
mengenai perkembangan spiritual dan keadaan sosial di pedesaan. Dalam
kepustakaan zaman Islam keterangan serupa itu hendaknya dicari dalam cerita-cerita
mengenai para wali yang dapat disamakan dengan Tantu Panggelaran, dan cerita-
cerita yang lazim terdapat di kalangan Muslim yang saleh, guru-guru mistik di pondok-
pondok terpencil di pegunungan serta penduduk desa yang bersahabat dengan
mereka, dan kaum pedagang golongan menengah di desa-desa dan wilayah
perdagangan. Cerita-cerita seperti itu antara lain terdapat dalam Jatiswara dan Centini.




Di samping karya-karya sejarah besar tentang dinasti Mataram, kepustakaan Jawa
zaman Islam masih memiliki sejumlah riwayat tentang silsilah penguasa setempat yang
tinggal di wilayah-wilayah yang kemudian dikuasai dan digabungkan ke dalam Kerajaan
Mataram. Walaupun keturunan penguasa setempat di dalam riwayat-riwayat tersebut
ditonjolkan pula - sama seperti keluarga raja Mataram dalam cerita babad Jawa Tengah
bagian selatan - riwayat-riwayat tersebut sering pula memuat bagian dan keterangan
yang memberi gambaran mengenai perkembangan sosial dan spiritual pada abad ke-
16, yang berbeda dengan pandangan Babad Mataram.

Kedua faktor penting dalam sejarah Jawa tersebut di atas, yaitu agama - dalam hal
ini agama Islam - dan silsilah raja-raja, pada taraf tertentu, telah ditampilkan
sebagaimana mestinya, baik dalam penulisan sejarah Jawa maupun Barat modern.
Tetapi tidak demikian halnya dengan dua faktor lain, yaitu ekonomi dan susunan
penduduk.

Tidak perlu diragukan lagi, perekonomian rakyat dan perekonomian negeri di Jawa
dan Bali telah sangat berkembang selama sepuluh abad terakhir. Penulisan sejarah
pribumi hampir tidak.memperdulikan perkembangyan ekonomi itu, tetapi hal tersebut
sangat penting bagi sejarawan Barat zaman sekarang. Dalam kesusastraan Jawa dan
dokumen (prasasti atas batu dan lempengan kuningan) zaman pra-lslam, amat sulit
ditemukan keterangan dan penjelasan yang dapat dipergunakan sebagai sumber
pengenalan tentang keadaan masa itu di bidang perekonomian rakyat dan
perekonomian negeri. Berdasarkan akal sehat dan daya cipta - serat penggunaan data
yang sangat sedikit jumlahnya itu -masih mungkin kita memberi gambaran secara
dangkal mengenai keadaan yang dialami pelbagai lapisan masyarakat zaman
Majapahit pada abad ke-14. Namun banyak pertanyaan yang belum terjawab.

Perkembangan di bidang perekonomian rakyat dan perekonomian negeri yang
dimulai pada abad ke-15 dan ke-16 itu seiring dengan maju mendesaknya perdagangan
Eropa Barat serta meluasnya agama Islam di Kepulauan Indonesia. Ketiga kegiatan itu
saling mempengaruhi. Berita pelaut-pelaut Portugis dan Belanda terutama menyangkut
soal perdagangan, sehingga berita-berita tersebut memberikan gambaran juga tentang
ekonomi pribumi Jawa. Dengan menggunakan keterangan-keterangan asing ini,
penelitian ilmiah Barat mencoba menyusun gambaran mengenai perekonomian
kerajaan-kerajaan Islam yang pertama pada abad ke-16, terutama Kerajaan Mataram.
Hingga sekarang hasil penelitian tersebut tidak sepenuhnya memuaskan, sebab
keterangan asing itu sebagian besar meliputi perdagangan luar negeri mengenai
barang-barang yang menarik perhatian orang asing. Keterangan mengenai
perekonomian rakyat di desa-desa pedalaman, pertanian, peternakan, kerajinan
tangan, organisasi pekerjaan, dan upah sama sekali tidak disinggung-singgung.

Di antara pedagang-pedagang Asia, yang selama berabad-abad sebelum
datangnya orang-orang Portugis telah mengambil bagian penting dalam perdagangan




luar negeri di Asia Tenggara, orang Cinalah yang mencatat berita yang sangat penting
tentang negeri-negeri di sebelah selatan ini. Sebagian di antaranya masih perlu
diselidiki lebih lanjut. Berita Cina itu juga kurang sempurna meskipun tidak seperti berita
Barat. Berita Cina menaruh sedikit perhatian terhadap keadaan dan kehidupan
penduduk pribumi yang menghasilkan barang dagangan itu.

Berita Cina yang disampaikan ke istana Kaisar diperkirakan sebagian besar berasal
dari keterangan pedagang-pedagang Cina atau orang-orang yang ada sangkut-pautnya
dengan pedagang-pedagang tersebut, yang menetap untuk sementara atau untuk
masa yang lama di negeri-negeri sebelah selatan ini. Orang-orang tersebut terutama
mempunyai hubungan akrab dengan keraton-keraton pribumi. Tetapi dalam
perekonomian rakyat dan pergaulan dengan masyarakat desa, para "Cina-lndo" zaman
dulu, seperti juga di kemudian hari, tampaknya mempunyai kedudukan tersendiri.

Data mengenai kehidupan dan perekonomian rakyat Jawa di daerah pedesaan
pada awal zaman Islam, yaitu abad ke-15 dan ke-16, sebagian kecil dapat ditemukan di
dalam kisah mengenai orang saleh dan buku yang disebut terdahulu; tentu setelah
diteliti dengan saksama. Fakta kejadian cerita-cerita tersebut jarang sekah dapat
dipercaya sepenuhnya, karena ditulis pada abad ke-17 atau ke-18 atau bahkan
sesudah itu, tetapi masih dapat juga disimpulkan suatu gambaran mengenai keadaan
yang dialami pelaku-pelaku utamanya. Bagaimanapun, berita-berita mengenai keadaan
sosial dalam lingkungan spiritual yang terbatas di luar keraton Jawa mempunyai arti,
karena berasal dari sumber pribumi. Sangat mencolok tergambar di dalam legenda-
legenda orang saleh dan naskah-naskah Jawa sejenis itu, bahwa orang-orang yang
termasuk golongan menengah agama Islam ini ternyata menempati kedudukan penting;
mereka berbeda dari golongan Keraton di satu pihak, dan dari golongan tani di pihak
lain. Maka, timbul kesan yang cukup beralasan bahwa pada abad ke-15 dan ke-16,
golongan menengah Islam di wilayah perdagangan dan lingkungan spiritual di luar kota
Keraton banyak sumbangannya terhadap perkembangan pembaruan peradaban Jawa
yang sudah dipengaruhi Islam. Pada masa itu, tampaknya perekonomian rakyat dan
pergaulan masyarakat Jawa di luar suasana Keraton terpengaruh oleh agama Islam
yang cenderung ke arah pemerataan. Hal tersebut berlawanan dengan masyarakat pra-
Islam di Jawa yang berkasta sakral dan berjiwa ningrat.

Kini kita masih harus memusatkan perhatian pada aspek keempat dalam penulisan
sejarah Jawa, yakni: susunan dan pertambahan penduduk. Tidak dapat diragukan
bahwa penduduk Jawa dewasa ini adalah keturunan nenek moyang yang sangat
berlainan asal usulnya, yang berturut-turut atau bersamaan waktunya menetap di Pulau
Jawa selama beberapa abad, sejak zaman prasejarah. Secara ilmiah tidak benar untuk
mengadakan perbedaan yang tajam antara dua hal: pertama, perpindahan orang-orang
Indonesia yang erat hubungan budayanya dari wilayah ke wilayah yang lain, atau dari
pulau yang satu ke pulau yang lain; dan kedua, permukiman, atau kolonisasi golongan-




golongan yang berasal dari lingkungan budaya luar Indonesia. Sesungguhnya
perpindahan bangsa dan permukiman "kelompok asing" itu, dalam perkembangan
sejarah, sentuh-menyentuh dan pengaruh-mempengaruhi; para pendatang dari luar itu
cepat juga terserap atau diterima dalam pergaulan hidup pribumi. Untuk mendapatkan
gambaran yang jelas dan menyeluruh, perlu terlebih dahulu diperhatikan perpindahan
bangsa dalam jumlah besar atau kecil yang telah terjadi di Jawa atau sekitarnya.
Sesudah itu baru dibicarakan permukiman bangsa dari daerah luar.

Kedatangan nenek moyang bangsa Indonesia yang sekarang ini pada zaman
prasejarah, dari Hindia Belakang, atau dari daerah yang lebih jauh, telah diungkapkan
sesuai dengan dalil-dalil ilmu pengetahuan Barat yang tidak perlu dikemukakan lagi di
sini. Pada mulanya, di Pulau Jawa, Madura, dan Bali berbagai suku bangsa hidup
berdampingan dan lambat laun berbaur menjadi empat suku bangsa yang sekarang
dapat dibeda-bedakan dengan jelas, yaitu suku bangsa Sunda, suku bangsa Jawa,
suku bangsa Madura, dan suku bangsa Bali. Pada zaman kuno dapat diperkirakan
kepadatan penduduk masih jarang bila dibandingkan dengan kepadatan penduduk
sekarang ini. Sebagian besar pulau-pulau masih tertutup hutan belantara.

Tidak hanya pada zaman kuno, tetapi juga sampai pada abad ke-19 di Pulau Jawa
terjadi perpindahan bangsa secara besar-besaran atau kecil-kecilan. Tidak dapat
disangkal bahwa pada abad ke-10 dan ke-11 banyak penduduk meninggalkan daerah
Sungai Opak dan Progo di wilayah Mataram untuk menetap di Jawa Timur, karena
tanah mereka telah binasa oleh letusan gunung berapi. Perpindahan itu menyebabkan
berpindahnya pusat peradaban Jawa dari Jawa Tengah ke Jawa Timur.

Perpindahan bangsa yang penting di Jawa yang telah dicatat dalam sejarah ialah
berpindahnya orang Jawa Islam pada abad ke-16 dari daerah-daerah Pesisir Jawa
Tengah menyusuri pantai ke barat, sehingga sebagian Cirebon, Jakarta, dan Banten
menjadi daerah orang Jawa; dan orang Sunda pun terpisah dari pantai utara. Dahulu
Jakarta dan daerah sekitarnya merupakan daerah orang Sunda; pada abad ke-17 pada
zaman Kompeni (VOC) daerah tersebut diduduki orang-orang Indonesia dari berbagai
asal serta orang Cina, hingga di Jawa Barat tumbuh suatu pusat permukiman baru.

Selanjutnya pada abad ke-17 raja-raja Kerajaan Mataram memerintahkan
perpindahan penduduk cukup besar dari wilayah kerajaan yang telah ditaklukkan di
daerah Pesisir, Jawa Timur, dan Madura ke pusat kerajaan di Jawa Tengah bagian
selatan, untuk memperkuat tenaga kerja di sana. Perpindahan penduduk itu agaknya
telah ikut mengaburkan perbedaan bahasa dan adat istiadat antara daerah-daerah
Pesisir Jawa Tengah dan Jawa Timur. Akhirnya pada abad ke-18, ke-19, dan ke-20
terjadi perpindahan terus-menerus orang Madura dari pulau (Madura) ke seberang, ke
ujung timur Pulau Jawa, serta ke Malang, Pasuruan, Surabaya, dan Gresik. Terutama
di bagian ujung timur hal itu menyebabkan penduduk Jawa asli menjadi golongan
minoritas terhadap para pendatang baru.




Tambahan lagi ada cerita-cerita Jawa, dan juga berita Kompeni, yang mengisahkan
bahwa di sepanjang pantai laut di utara berkali-kali terdapat serangan bajak laut dan
petualang yang boleh disamakan dengan bangsa Viking di Eropa, yang mengincar
harta benda masyarakat Jawa yang makmur. Beberapa kali kaum penyerbu menetap di
Jawa untuk waktu yang agak lama. Menurut cerita, orang-orang Sunda dari Jawa Barat
telah muncul di daerah-daerah pantai timur laut, hingga ke Tuban. Orang-orang
Makassar dan Bugis menyerang pantai-pantai Jawa Timur, dan orang-orang Bali
kadang-kadang menguasai sebagian besar bagian timur Pulau Jawa. Sebaliknya,
orang-orang Jawa pun mengadakan penyerbuan ke pulau-pulau lain. Hubungan
dengan orang-orang Indonesia lain seperti itu pasti meninggalkan bekas. Di daerah
pantai kiranya banyak terjadi percampuran darah.

Percampuran yang setiap kali berulang terjadi pada masa lampau -baik antarsuku di
Pulau Jawa maupun antara orang Jawa dan orang Indonesia lain dari bermacam-
macam asal - boleh dianggap sebagai sebab mengapa di Pulau Jawa hampir tidak
tampak sisa kelompok-kelompok suku kuno. Hal ini berlawanan dengan keadaan di
beberapa daerah lain di Kepulauan Indonesia. Dalam kehidupan keluarga, hubungan
semenda kuno dan pertalian perkawinan kuno telah lama tidak berperan lagi.

Dalam cerita babad Jawa seperti juga dalam berita Kompeni di sana-sini disebutkan
terjadinya perpindahan penduduk. Pengaruhnya atas perkembangan hidup sosial dan
peradaban Jawa pada umumnya hanya diketahui secara samar-samar. Dalam buku-
buku tersebut tidak ada perhatian terhadap penderitaan, kesengsaraan, dan kematian
yang timbul sebagai akibat perpindahan besar-besaran yang diperintahkan dari atas itu.
Keterangan mengenai orang asing dari luar Kepulauan Indonesia - yaitu pengaruh
peradaban India sejak permulaan tarikh Masehi atas penduduk Jawa dan Bali - dimulai
dengan pelayaran dan perdagangan dari dan ke India. Demikian anggapan orang.
Lama-kelamaan orang India di beberapa daerah mencapai kedudukan tersendiri dalam
kerajaan-kerajaan pribumi dan lambat laun golongan yang berkuasa terpengaruh oleh
peradaban India. Ini suatu perkiraan tentang perkembangan peradaban Hindu-Jawa
dan Hindu-Bali, yang, meskipun menarik, tidak berdasarkan fakta yang pasti. Tidak ada
kepastian, baik mengenai asal usul orang India dari salah satu daerah pantai Anak
Benua yang besar itu, maupun alasan-alasan mereka untuk mengarungi laut
mengadakan perjalanan berbahaya. Rempah-rempah Kepulauan Maluku dan logam
mulia, yang dikabarkan dapat digali dari sungai di daerah pegunungan Jawa, Sumatera,
dan Bali, telah menarik minat orang asing pada zaman dulu. Begitu dugaan orang.

Pengaruh India atas peradaban Jawa dan Bali lebih mencolok dalam bidang agama
dan kesusastraan. Banyak sekali kata pinjaman dari bahasa Sanskerta. Namun, kurang
dikenalnya asal usul dan bahasa induk orang India, yang mempunyai hubungan pribadi
dengan orang Jawa, menyebabkan beberapa kata pinjaman dari satu atau beberapa




bahasa rakyat India (bahasa Dravida atau yang lain) sampai sekarang belum dikenal
asal usulnya.

Hubungan yang sudah lama sekali antara India dan Jawa disadari oleh kaum
bangsawan Jawa. Sastra Jawa memiliki legenda yang mengisahkan hubungan kuno
tersebut. Salah satu di antaranya ialah cerita tentang pemindahan sebagian dari
gunung suci di India, Gunung Meru ke Jawa oleh para dewa, dengan maksud agar
menjadi gunung suci di Jawa. Cerita lain memilih tema permukiman penduduk di Jawa
oleh orang-orang seberang lautan yang diutus oleh raja Rum yang perkasa. Perutusan
itu konon dipimpin oleh Aji Saka. Dalam legenda itu digambarkan pertentangan antara,
Aji Saka sebagai wakil peradaban Hindu, dan Nabi Muhammad. Cerita-cerita itu tidak
dapat membantu kita mengetahui keadaan sebenarnya. Cerita-cerita itu hanya disebut
karena dapat menerangkan sedikit mengenai pengertian sejarah para pemikir Jawa.

Kehadiran orang-orang India di Jawa dan Bali terutama terbukti dari pengaruh unsur
Hindu atas peradaban Jawa dan Bali; tetapi kunjungan orang Cina lebih diketahui dari
laporan dinas yang disampaikan oleh para pejabat Cina ke istana Maharaja Cina
seperti yang disebut terdahulu. Pernah terjadi, pasukan tentara pendarat armada laut
Cina menimbulkan kerusakan sedemikian hebat di pedalaman Jawa, sehingga perlu
didirikan kota keraton baru yaitu Majapahit. Patut diduga bahwa sudah lama di daerah-
daerah pantai Jawa, dan mungkin juga jauh ke pedalaman, terdapat permukiman
pedagang Cina. Di keraton-keraton para raja Jawa dan para penguasa di daerah, di
samping orang India, keturunan Cina menempati jabatan penting pula.

Tidak seperti pengaruh Hindu, pengaruh peradaban Cina terhadap peradaban Jawa
dan Bali kurang diketahui. Namun ada kemungkinan seni rupa Jawa Timur dan Bali
zaman pra-lslam memiliki lebih banyak unsur dan motif Cina daripada yang
diungkapkan hingga kini. Kekurangan pengetahuan mengenai asal usul, watak bangsa,
dan bahasa ibu orang-orang yang datang dari negeri yang sekarang dikenal sebagai
Cina Selatan atau Indocina - yang memelihara hubungan Kepulauan Indonesia -
sampai sekarang menyebabkan sangat kurangnya pengetahuan tentang saham
penduduk Cina bagi pertambahan penduduk di Jawa, perluasan pengetahuan di bidang
pertanian dan perkebunan, perkembangan kesenian dan teknik, dan penambahan
perbendaharaan kata orang Jawa dan Bali.

Serangan bala tentara Cina di Jawa Timur tersebut di atas, yang menyebabkan
didirikannya kota Kerajaan Majapahit, diceritakan dengan panjang lebar dalam
kesusastraan Jawa kuno. Dalain cerita-cerita Jawa berkali-kali dikisahkan masalah
pengunjung Cina. Yang sangat menarik ialah kisah mengenai orang-orang yang
membentuk masyarakat Islam pertama di Gresik dan Surabaya: konon mereka
mempunyai nama Cina, dan berasal dari Cempa, di Hindia Belakang. Belum lama
berselang, suatu sumber yang tidak jelas menceritakan permukiman Cina di Jawa
Tengah dan Cirebon. Sepanjang dapat dipercayai, cerita-cerita tersebut menegaskan




pendapat penulis sejarah pribumi bahwa keturunan Cina telah mengambil bagian
penting dalam penyebaran agama Islam di Jawa.

Meluasnya kekuasaan orang Cina di Jawa Tengah pada pertengahan abad ke-18
telah menyebabkan pengusiran seorang raja Jawa dari kota keratonnya, sehingga ia
terpaksa mendirikan kota kerajaan baru, yaitu Surakarta. Pada abad ke-18 dan ke-19 di
Cirebon, di Jawa Timur, dan di ujung timur Pulau Jawa terdapat keluarga-keluarga Cina
yang mencapai kedudukan tinggi dan mempunyai kekuasaan besar.

Perkembangan masyarakat pribumi di Jawa tidak dapat digambarkan secara tepat
tanpa menyebut pengaruh orang Cina tersebut.

Akhirnya, kontak pertama suku bangsa di Jawa dengan orang-orang Eropa, yang
dimulai pada abad ke-16, menjadi perhatian utama ilmuwan Barat. Dalam kisah Jawa,
penampilan pertama orang Eropa antara lain dikaitkan dengan meriam. Pertumbuhan
dan susunan penduduk Jawa sejak abad ke-19 sangat dipengaruhi oleh pemerintahan
Eropa, karena perbaikan dan pengamanan lalu lintas bahari antarpulau. Hal tersebut
menyebabkan, lebih-lebih dari masa sebelumnya, orang-orang Indonesia dari bagian
timur dan dari Sumatera, kemudian orang-orang India, Arab, dan bahkan orang Negro,
bermukim di Jawa. Perbaikan hubungan dalam pulau, terutama lintas kereta api, serta
pelaksanaan keamanan dan ketertiban yang ketat, menumbuhkan rasa kebersamaan
penduduk Jawa. Ekonomi Barat dan pemeliharaan kesehatan modern telah
memungkinkan tambahan penduduk dengan cepat sekali. Sejak abad ke-19 banyak
orang Jawa dan juga orang Sunda dan Madura mengadu nasib membentuk kehidupan
baru di lahan pertanian yang baru dibuka oleh usahawan-usahawan Barat, yang
letaknya di daerah-daerah terpencil di Jawa, Sumatera, dan Malaysia - bahkan di
Suriname. Kepadatan penduduk di negeri sendiri menyebabkan kepindahan tersebut.



Sejarah Jawa pada abad ke-15 dan ke-16

Dari uraian tersebut di atas kiranya jelas bahwa para penulis sejarah Indonesia,
khususnya mengenai sejarah Jawa, Madura, dan Bali perlu memperhatikan
perkembangan-perkembangan di pelbagai bidang, yang selama ini kurang diperhatikan.
Penelitian-penelitian sejarah abad ke-15 dan ke-16 berikut ini tidak saja memperhatikan
perkembangan politik kerajaan-kerajaan, tetapi juga penyebaran agama Islam serta
tokoh-tokoh yang menonjol semasa itu.

Kiranya jelas bahwa pelbagai bidang masih perlu diteliti secara mendalam. Sejarah
lokal mengenai kota-kota sepanjang pantai utara Jawa dan daerah pedalaman, baik di
dalam maupun di luar kerajaan-kerajaan Surakarta dan Yogyakarta - yang dalam buku
ini mendapat perhatian utama - akan lebih diketahui apabila naskah-naskah Jawa dan
Belanda diselidiki secara lebih cermat. Juga perlu diadakan penyelidikan
kepurbakalaan. Tempat kediaman raja-raja, masjid dan tempat permakaman,



ketenteng-kelenteng Cina, serta permukiman kuno pada umumnya hendaknya diselidiki
dan dicatat secara ilmiah; demikian pula penyelidikan tanah dan penggalian-
penggalian. Meski selama hampir satu abad telah banyak waktu dan biaya dihabiskan
untuk mengadakan penyelidikan kepurbakalaan terhadap bangunan-bangunan kuno
pra-lslam, yaitu candi-candi, penyelidikan bangunan kuno zaman Islam diabaikan.
Penelusuran jalan-jalan kuno di pedalaman berdasarkan keterangan beberapa naskah
dan kisah perjalanan Jawa kiranya akan dapat memberikan pengertian tentang
penyebaran unsur-unsur kebudayaan oleh para musafir dari satu daerah ke daerah
Jawa lainnya.

Penelitian ini kiranya dapat menambah pemahaman akan sejarah Jawa pada abad
ke-15 dan ke-16, terutama mengenai hal-hal yang dijelaskan berikut ini. Agama Islam
berangsur-angsur berkembang menjadi agama yang paling berkuasa di Jawa. Hal
tersebut terjadi karena di beberapa titik temu perdagangan laut internasional di Jawa
Timur dan Jawa Tengah (Gresik-Surabaya dan Jepara-Demak), golongan menengah
Islam, yaitu pedagang-pedagang berdarah campuran yang telah lama menetap,
menjalankan pemerintahan setempat.

Pada mulanya para penguasa baru Islam itu, dengan mengikuti contoh para
pendahulunya, yang umumnya merupakan keluarga ningrat Keraton Majapahit,
mengakui kedaulatan raja Hindu-Jawa di Majapahit. Segala sesuatunya masih berjalan
seperti dahulu. Tetapi menjelang akhir perempat pertama abad ke-16, ibu kota Keraton
Majapahit yang sudah tua itu diserang dan direbut oleh sekelompok orang Islam fanatik
dari Jawa Tengah yang waktu itu merupakan daerah perbatasan kerajaan. Kemudian
penguasa Islam dari Demak - seorang keturunan Cina - oleh kelompok-kelompok orang
saleh diakui sebagai sultan. Pada pertengahan abad ke-16 raja Demak yang penuh
semangat itu berhasil menjadikan penguasa setempat lainnya di dalam Kerajaan
Majapahit kuno mengakui supremasinya dan mengakui kekuasaan Tuhan Yang Maha
Esa. Setelah ia meninggal dalam usia muda, penggantinya yang kurang gesit
kehilangan kekuasaan atas raja-raja di Jawa Timur. Menantunya, raja Pajang di
pedalaman Jawa Tengah, selanjutnya berkat bantuan moril dari pemimpin rohani dari
Giri-Gresik, berhasil mempersatukan raja-raja Islam di daerah-daerah Jawa Tengah
dan Jawa Timur dalam suatu ikatan formal. Ini dimaksudkan juga untuk
mempertahankan diri terhadap ancaman serangan dari ujung timur Pulau Jawa yang
dikuasai oleh orang-orang Bali yang "kafir" itu.

Warisan Sultan Pajang jatuh ke tangan Kiai Gede Mataram, karena tidak ada
keturunan laki-laki. Mataram berbatasan dengan Pajang di pedalaman Jawa Tengah.
"Orang Baru" (homo novus) itu, yang tidak berasal dari keturunan raja terkemuka atau
lama, adalah anak emas dan hamba raja yang lama. Para penguasa pertama keluarga
raja Mataram yang baru ini, pada dasawarsa-dasawarsa terakhir abad ke-16 dan
permulaan abad ke-17, telah berhasil menaklukkan hampir semua raja di Jawa. Hal




tersebut dilakukan dengan serangan bersenjata, dari wilayah mereka yang strategis,
yang merupakan daerah pedalaman yang belum banyak digarap.

"Dinasti raja", yang sudah lama berdiri sejak abad ke-15 dan ke-16, banyak yang
musnah dalam peperangan perebutan kekuasaan tersebut; di Jawa Timur terjadi
kehancuran dahsyat.

Setelah kekuasaan Sultan Demak diambil alih oleh raja Pajang, titik berat
ketatanegaraan bergeser jauh dari pantai. Sejak abad ke-17 pedalaman Jawa Tengah
menjadi pusat politik dan kebudayaan keraton Jawa, berkat perang penaklukan yang
dilakukan oleh raja-raja Mataram dengan penuh keberanian. Sejak itu masyarakat,
kesenian, dan kesusastraan Jawa berkembang mengikuti jalan sendiri, kurang terbuka
terhadap pengaruh-pengaruh kebudayaan asing di Nusantara, India, dan Cina; tidak
seperti pada abad ke-15 dan ke-16. Hanya, lambat laun, sejak abad ke-18, pengaruh
kebudayaan Eropa Barat di bidang sosial dan politik menjadi kuat, berpusat di
Semarang dan Batavia.

Untuk perkembangan kesadaran nasional Jawa, perkembangan kekuasaan dinasti
Mataram sangat penting. Di bawah perlindungan pemerintah Belanda lebih dari tiga
abad raja-raja dinasti ini dapat mempertahankan kekuasaannya di Jawa Tengah bagian
selatan. Kepemimpman mereka meningkatkan pembauran kelompok-kelompok
penduduk berbagai daerah yang dahulu diperintah oleh keturunan raja pribumi sendiri,
menjadi suatu masyarakat suku bangsa Jawa yang boleh dikatakan homogen.
Kebudayaan keraton mereka, yang mencapai puncak perkembangannya pada abad ke-
18 dan ke-19, dikagumi seluruh Jawa dan Madura, dan ditiru oleh keturunan-keturunan
lain yang berpengaruh. Di alam Indonesia baru, kebudayaan tersebut menjadi sumber
inspirasi untuk perkembangan kebudayaan Indonesia.

Perkembangan tersebut dimulai pada periode yang dibicarakan dalam studi ini,
yakni abad ke-15 dan ke-16. Sejarah politik raja-raja dinasti Mataram pada abad ke-17
telah dibicarakan dalam berbagai buku dan karangan ilmiah H.J. de Graaf. Baik studi ini
maupun karya-karya tulis lain, telah dibuat ikhtisar dalam bahasa Inggris dengan
maksud diterbitkan sendiri.4 Suatu ikhtisar sejarah abad ke-18 dan ke-19 - dari sudut
pandangan Jawa - belum dapat disajikan. Kecuali itu, pemakaian kata "Tinjauan" pada
judul dalam buku tentang abad ke-15 dan ke-16 ini merupakan pernyataan keyakinan
para penulis bahwa dengan penyelidikan lebih lanjut masih banyak hal yang menarik
dapat terungkap.

Keterangan-keterangan yang jelas aktual tentang akhir abad ke-15 dan permulaan
abad ke-16 di Jawa terdapat dalam buku Portugese Relacion karangan Tome Pires.
Keterangan-keterangan pengembara yang cerdas ini, yang telah meninggalkan



4 Buku ini diterbitkan oleh KITLV pada tahun 1976 dengan judo: Islamic States in lava 1500-1700; A summary, bibliography and
index.



Kepulauan Indonesia pada tahun 1515, sudah barang tentu ditinjau dari sudut
permukiman Portugis di Malaka, yang baru saja direbutnya. Hal itu terutama
menyangkut soal dagang. Penulis menaruh perhatian terhadap hubungan sosial dan
politik di Jawa, tetapi sedikit sekali tulisan tentang perkembangan rohaniah. Soal agama
Islam hampir tidak dibicarakan sama sekali. Karena Tome Pires tidak tahu bahasa-
bahasa di Indonesia, maka penyebutan nama-nama geografis dan nama-nama orang
kadang-kadang sukar dimengerti.

Karya tulis kedua yang banyak digali isinya untuk penyusunan buku ini, termasuk
kelompok karya tulis Jawa yang disebut Serat Kandha 'buku cerita'. Naskah-naskah
tertua Serat Kandha dalam koleksi naskah di Leiden dan Jakarta ditulis pada abad ke-
18. Tetapi ditinjau dari isinya dapat diduga, sebagian berdasarkan karya pengarang-
pengarang dan masa kejayaan peradaban Pesisir (dan setelah itu) pada abad ke-16
dan ke-17. Kemudian pada abad ke-18, tulisan tersebut diringkaskan dalam Babad
Mataram, riwayat keluarga raja Mataram. Baik Serat Kandha maupun Babad Mataram
memuat penulisan sejarah dinasti, sering bercampur dengan mitos dan legenda.
Keterangan mengenai perkembangan di bidang ekonomi dan kemasyarakatan bangsa
Jawa hanya dapat ditemukan dengan susah payah. Teks-teks Serat Kandha memuat
juga cerita-cerita yang berhubungan dengan penyebaran agama Islam di Jawa pada
abad ke-16. Versi Serat Kandha yang paling banyak dipergunakan dalam penyusunan
buku ini adalah terjemahan dalam bahasa Belanda, yang dibuat sekitar tahun 1800
untuk keperluan seorang pejabat tinggi pemerintah di Semarang. Buku tersebut kini
disimpan dalam himpunan naskah Museum Nasional di Jakarta.

Kelompok ketiga karya tulis Jawa yang dijadikan sumber penulisan studi ini terdiri
dari sejarah-sejarah setempat seperti telah disebut sebelumnya. Seperti Serat Kandha
yang hebat dan Babad Mataram, sejarah-sejarah semacam itu juga memuat sejarah
dinasti. Tetapi penulisan sejarah dinasti itu menyangkut keturunan-keturunan daerah
yang kurang berkuasa dan berada di luar wilayah keluarga raja Mataram. Pemberitaan
kejadian di daerah-daerah di luar pusat kerajaan itu layak mendapat perhatian karena
membantu terbentuknya pengertian yang lebih tepat mengenai perkembangan politik
dan sosial di tanah Jawa pada umumnya.

Sayang sekali, penulisan sejarah lokal ini sampai sekarang hanya sebagian yang
dipublikasikan, dan hanya berupa ikhtisar yang sering kali kurang sempurna
pelaksanaannya. Memang harus diakui bahwa buku karangan Hoesein Djajadiningrat
tentang Sadjarah Banten (Djajadiningrat, Banten) yang amat baik itu telah banyak
membantu memperjelas pengetahuan tentang perkembangan politik Jawa pada abad
ke-15 dan ke-16. Naskah-naskah lebih pendek yang tersedia tentang daerah-daerah
lain di Jawa telah diolah dalam buku ini.

Kelompok keempat, karya tulis Jawa yang penting untuk penulisan sejarah terdiri
dari daftar tahun kejadian, yang dalam bahasa Jawa sering disebut Babad Sangkala.




Pada daftar itu terdapat tahun-tahun disertai pemberitaan-pemberitaan (sebagian besar
sangat singkat) tentang kejadian-kejadian yang konon berlangsung pada tahun-tahun
tersebut. Dapat dimaklumi bahwa daftar tahun kejadian yang menunjuk pada masa
lampau yang terlalu jauh dan termasuk alam mitos itu, dikesampingkan oleh sejarawan
karena dianggap bahan yang tidak dapat dipercaya. Daftar tahun kejadian pada abad
ke-16 dan berikutnya pantas mendapat perhatian yang lebih besar daripada yang
sudah-sudah.

Pada masa sebelum Islam, para cendekiawan Jawa sudah menyusun daftar tahun
kejadian serupa itu. Pada zaman Islam umumnya minat terhadap sejarah bertambah
besar sekaligus bertambah pula minat untuk menyusun daftar tahun kejadian.
Kesibukan penyusunan daftar tahun itu terus berlangsung di samping penulisan cerita
yang panjang dan sedikit diromantisir, yaitu Serat Kandha dan berbagai Babad. Dalam
cerita-cerita tersebut, tahun-tahun kejadian hanya sedikit atau sama sekali tidak
disinggung. Pada daftar semacam itu ditemukan pemberitaan peristiwa dari lingkungan
penulis yang hanya sedikit hubungannya dengan pemerintahan, seperti tentang banjir,
kebakaran, letusan gunung berapi, epidemi, dan didirikannya atau runtuhnya bangunan
atau permukiman yang penting. Sering ditemukan selisih beberapa tahun mengenai
suatu kejadian yang sama antara satu daftar dan yang lain. Tentang hal-hal yang
mengganggu ini dapat dikemukakan sebab-sebab yang kurang lebih dapat diterima.

Dalam karya-karya penulis Barat yang lebih tua dicantumkan daftar tahun kejadian
Jawa, tetapi penyelidikan perbandingan yang sistematis di bidang ini belum banyak
dilakukan. Dr. Ricklefs dan Dr. Soebardi berharap dalam waktu singkat akan
menerbitkan "buku tarikh" Jawa dari zaman Kartasura (permulaan abad ke-18). Dalam
buku kami ini digunakan buku tarikh tua yang memuat keterangan tentang kejadian
pada abad ke-16, yang tidak tercantum dalam buku-buku cerita (Serat Kandha).

Kelompok kelima karya-karya tulis Jawa yang perlu mendapat perhatian sebagai
sumber-sumber sejarah adalah daftar dan silsilah keturunan raja-raja dan orang-orang
penting lainnya. Para pujangga keraton Jawa sejak zaman dahulu telah menyusun juga
daftar keturunan dan tahun kejadian. Para penulis buku cerita dan babad agaknya lebih
banyak mencurahkan perhatian terhadap urutan keturunan daripada mengenai tahun-
tahun. Hanya sedikit sekali terdapat daftar keturunan yang disertai tahun-tahun
kejadian. Ketiga cara yang dapat mengungkapkan minat ilmu sejarah tidak
dihubungkan secara erat dalam kesusastraan Jawa.

Keturunan dewa, pahlawan mitos, atau raja yang berbau dongeng dari zaman
purba, menyebabkan bagian awal dari sebagian besar daftar keturunan raja semacam
itu sulit dipercaya. Berita tentang raja-raja dan penguasa-penguasa daerah dari
generasi selanjutnya yang hidup pada abad ke-16 dan sesudahnya masih dapat
dipercayai. Lebih-lebih jika terdapat tambahan data tentang tempat kediaman dan




tempat permakaman, dan asal usul ibu serta istri mereka. Tambahan-tambahan
tersebut dapat dihubungkan dengan hikayat-hikayat setempat.

Hingga sekarang naskah keturunan Jawa tidak banyak mendapat perhatian dari
pihak sejarawan Barat. Untuk buku ini banyak juga bahan yang diambil dari Sadjarah
Dalem yaitu silsilah raja-raja dari keluarga raja Mataram yang disusun di Surakarta
pada akhir abad ke-1 9 dengan mengutip daftar keturunan yang lebih tua. Tetapi silsilah-
silsilah lain perlu juga diselidiki lebih lanjut.

Kelompok keenam karya-karya tulis yang dapat memberikan keterangan tentang
perkembangan-perkembangan masyarakat dan agama dalam abad ke-1 5 dan ke-1 6,
ialah legenda-legenda tentang orang suci dan riwayat para wali - orang-orang yang
dipandang sebagai penyebar agama Islam di Jawa. Usaha untuk secara berlebihan
menampilkan kekuasaan para orang suci dan keluhuran agama Islam sangat
mengurangi nilainya sebagai sumber sejarah. Para penulis buku cerita dan babad - abdi
dalem yang silau akan kebesaran duniawi majikan mereka - hanya memberikan
perhatian terhadap pemimpin-pemimpin rohani sejauh tindakan mereka ini
mempengaruhi politik. Para sejarawan Barat telah menolak hikayat orang suci itu,
sebab terlalu banyak mengandung hal-hal yang ajaib. Apabila cerita mukzijat tersebut
dikesampingkan (supaya dipelajari saja oleh para penyelidik agama), maka legenda
tersebut ternyata masih memuat cukup banyak bahan mengenai hubungan sosial
dalam lingkungan golongan menengah yang beragama Islam dan berdarah campuran.
Orang-orang suci itu banyak berasal dari golongan tersebut. Karena itu, orang-orang
suci di Jawa beserta legendanya mendapat perhatian juga dalam buku ini. Penyelidikan
yang lebih mendalami naskah-naskah itu akan mengungkapkan banyak hal lagi yang
penting diketahui.

Berita Cina mengenai Kepulauan Indonesia dapat dianggap sebagai sumber
ketujuh untuk sejarah politik Jawa pada abad ke-1 5 dan ke-1 6. Mengenai masa pra-
Islam, keterangan-keterangan yang telah didapat dari arsip maharaja Cina ternyata
sangat penting; hal itu sudah dinyatakan dalam utaian kami di atas ini. Di samping
adanya berita tentang hal itu dalam arsip kemaharajaan Cina, ada pula kemungkinan
terdapat catatan sejarah atau cerita yang berasal dari pusat-pusat perdagangan Cina di
Jawa, bertalian dengan abad ke-1 5 dan ke-1 6. Bahwa pada waktu itu sudah ada orang-
orang Cina yang beragama Islam menetap di Jawa, terbukti dari cerita-cerita mengenai
permulaan penyebaran agama Islam di Jawa Timur.

Sekalipun apa yang disebut kronik Jawa-Cina, yang terdapat dalam buku Tuanku
Rao karangan Parlindungan (Parlindungan, Tuanku Rao), sudah sepenuhnya diuraikan
dalam buku Prof. Slametmuljana tentang permulaan zaman Islam di Jawa
(Slametmuljana, Runtuhnya), dalam buku kami ini tidak ada hal-hal yang dikutip dari
buku-buku tersebut. Karya Parlindungan masih perlu diselidiki secara kritis.




Babi

Permulaan Penyebaran Agama Islam di Jawa



1-1 Legenda-legenda Jawa Timur tentang orang-orang suci dalam agama Islam

pada abad ke-15: Raden Rahmat dari Ngampel Denta dan murid-muridnya.

Agama Islam tersebar di Asia Tenggara dan di Kepulauan Indonesia sejak abad ke-
12 atau ke-13. Sekarang di daerah-daerah yang telah berabad-abad memeluknya,
nama orang-orang yang dianggap berjasa dalam menyebarkan agama itu disebut
dengan hormat dan khidmat. Masuk Islamnya berbagai suku bangsa di Kepulauan
Indonesia ini tidak berlangsung dengan jalan yang sama. Begitulah anggapan umum;
legenda mengenai orang suci dan cerita mengenai para penyebar agama Islam dan
tanah asal usul mereka bermacam-macam sekali. Belum lama berselang Dr. Drewes
minta perhatian terhadap soal-soal yang bertalian dengan sejarah agama Islam di
Indonesia, dan hal itu masih menunggu tanggapan.5

Suatu kenyataan yang sudah pasti ialah, bahwa di Sumatera Utara -di Aceh yang
sekarang ini - para penguasa di beberapa kota pelabuhan penting sejak paruh kedua
abad ke-13 sudah menganut Islam. Pada zaman ini hegemoni politik di Jawa Timur
masih di tangan raja-raja beragama Syiwa dan Budha di Kediri dan di Singasari, di
daerah pedalaman. Ibu kota Majapahit, yang pada abad ke-14 sangat penting itu, pada
waktu itu belum berdiri. Sebaliknya, besar sekali kemungkinan bahwa pada abad ke-13
di Jawa sudah ada orang-orang Islam yang menetap. Sebab, jalan perdagangan di laut,
yang menyusuri pantai timur Sumatera melalui Laut Jawa ke Indonesia bagian timur,
sudah ditempuh sejak zaman dahulu. Para pelaut itu, baik yang beragama Islam
maupun yang tidak, dalam perjalanan mereka singgah di banyak tempat. Pusat-pusat
permukiman di pantai utara Jawa ternyata sangat cocok untuk itu.

Salah seorang yang paling terkenal dan tertua di antara para wali di Jawa - dicatat
dalam semua hikayat orang saleh - ialah Raden Rahmat dari Ngampel Denta.6 la diberi
nama sesuai dengan nama kampung dalam Kota Surabaya tempat ia dimakamkan;
mungkin ia pernah tinggal di sana. Menurut cerita Jawa, ia berasal dari Cempa; letak
Cempa itu akan dibicarakan dalam bagian berikut.



5 Lihat Drewes, "New Light".

6 Cerita tutur yang mungkin berasal dari ujung timur Pulau Jawa diberitakan dalam naskah CB 145 (1) A di Perpustakaan
Universitas Leiden (Pigeaud, Literature, jil. II, him. 783), menyebutkan Empat Orang Suci agama Islam pada zaman kuno:
Jumadil Kubra di Mantingan (lihat cat. 18), Nyampo di Suku Dhomas, Dada Petak di Gunung Bromo, dan Maolana Iskak dari
Blambangan; kiranya mereka berempat itu "bersaudara". Maolana Iskak (menurut cerita-cerita lain, Serat Kandha; Pigeaud,
Literature, jil. II, him. 362) adalah ayah Sunan Giri yang pertama. Cerita-cerita ini, dan tanda tahun pada makam Malik Ibrahim
dekat Gresik (1419), menunjukkan adanya kemungkinan besar bahwa pada dasawarsa-dasawarsa pertama abad ke-15
sudah ada jemaah-jemaah Islam penting di kota-kota pelabuhan di sepanjang pantai utara Jawa. Sunan Ngampel, meskipun
sekarang yang paling terkenal, kiranya bukan satu-satunya kepala suatu perkampungan Islam.



Tokoh terpenting dalam cerita Jawa tentang Cempa ialah Putri Cempa. Ada dua
kelompok cerita Cempa. Kelompok pertama meliputi cerita lisan, yang dihubung-
hubungkan dengan makam Islam, yang sekarang masih dapat ditunjukkan di suatu
daerah yang dahulu merupakan ibu kota Majapahit. Makam itu bertarikh Jawa 1370
(1448 M); mungkin sekali itulah makam Putri Cempa yang menjadi permaisuti raja
terakhir (yang legendaris) Majapahit, yaitu Brawijaya. Menurut suatu cerita Jawa, Serat
Kandha (diterbitkan oleh. Brandes), konon ia sudah kawin dengan Putri Cempa itu
waktu ia masih menjadi putra mahkota. Nama putri itu sebagai ratu agaknya Darawati
atau Andarawati. Babad Meinsma memberikan uraian panjang lebar tentang putri itu.
Sebagai "emas kawin" konon ia telah membawa barang yang sangat berharga itu dari
Cempa, yang kelak dijadikan barang-barang perhiasan kebesaran Keraton Mataram,
atau pusaka yaitu gong yang diberi nama Kiai Sekar Delima; kereta kuda tertutup yang
diberi nama Kiai Bale Lumur, dan pedati sapi yang diberi nama Kiai Jebat Betri. Barang-
barang berharga ini diperoleh Keraton Mataram sebagai barang-barang rampasan
perang, ketika Demak direbut (Meinsma, Babad, hal. 24).7

Kelompok kedua cerita tradisional Jawa yang mengisahkan Cempa berhubungan
dengan orang-orang suci yang telah menyebarkan agama Islam di Surabaya dan
Gresik. Konon mereka berasal dari Cempa. Putri Cempa tersebut meninggalkan
saudara perempuan di tanah airnya, yang sudah kawin dengan seorang Arab. Ipar putri
ini dalam satu cerita tradisional ( Hikayat Hasanuddin dari Banten) hanya disebut
sebagai Orang Suci dari Tulen, keturunan Syekh Pamen. 8 Menurut cerita babad lain ia
diberi nama Raja Pandita; dulu namanya Sayid Kaji Mustakim. Dalam Babad Meinsma
ia disebut Makdum Brahim Asmara, imam dari Asmara (?); dalam Sadjarah Dalem -
silsilah raja-raja Mataram dan nenek moyang mereka - Maulana Ibrahim Asmara lahir di
Tanah Arab, putra Syekh Jumadil Kubra.

Orang Arab itu, yang identitasnya ternyata belum jelas, konon mendapat dua putra
dari istrinya, Putri Cempa itu. Yang tua namanya Raja Pandita (dalam Hikayat
Hasanuddin) atau Raden Santri (dalam Babad Meimma)\ yang muda bernama
Pangeran Ngampel Denta atau Raden Rahmat. Dalam Sadjarah Dalem nama-nama
mereka ialah Sayid Ngali Murtala dan Sayid Ngali Rahmat. Menurut teks-teks lama,
Raden 'Rahmat itu adalah adik; dan menurut teks-teks tua, yaitu babad, ia adalah
kakak. Di samping kedua orang bersaudara ini, muncul pula saudara sepupu yang lebih
tua dalam cerita Jawa, la seorang sarjana, Abu Hurerah namanya. Menurut cerita



7 Menurut sebuah buku cerita (Pigeaud, Literature, jil.11, hlm. 363), Sunan Bonang kemudian telah memindahkan makam
maktuanya, Putri Darawati, dari Citra Wulan ke Karang Kemuning, Bonang. Tahun Jawa 1320 yang disebutkan dalam buku
cerita itu (Pigeaud, Literature, jil. II, hlm. 362) untuk makam lama di Citra Wulan, agaknya keliru, mestinya tahun Jawa 1370.
Dr. N. J. Krom (Krom, Kunst, jil. ke-2, him. 185) dalam pembicaraannya mengenai Candi Pari, sebuah candi di Jawa Timur
yang bertanda tahun Jawa 1293= 1371 M. telah menunjukkan adanya hubungan-hubungan lama di bidang kebudayaan
antara Jawa dan Campa. Sebenarnya Krom juga telah memberitakan makam Putri yang lama itu yang bertahun Jawa 1370.

8 Shaikh Paruen boleh jadi ucapan telur dari (Dhu'l) Karnain, yaitu Iskandar; dalam mitos menjadi moyang banyak keturunan
raja-raja di Asia Tenggara. Asal usul berdasarkan mitos ini tentu telah mengangkat derajat keturunan para orang suci di
Gresik dan Surabaya.



babad (di situ ia diberi nama Raden Burereh), konon ia adalah salah seorang putra raja
di Cempa.

Bertiga mereka dalam perjalanan dari Cempa ke Jawa untuk mengunjungi bibi
mereka, Putri Cempa itu. Tetapi kunjungan itu bukan kunjungan singkat. Menurut
Hikayat Hasanuddin, yang tua, Raja Pandita, diangkat menjadi imam di masjid yang
terletak di tanah milik Tandes (seorang tua di Gresik). Di sana ia menjadi tokoh penting.
Adiknya, Raden Rahmat, diangkat oleh pecat tandha di Terung9, yang bernama Arya
Sena, sebagai imam di Surabaya, la pun menjadi sangat terhormat di lingkungannya.

Dari cerita-cerita Jawa itu dapat diambil kesimpulan bahwa Gresik dan Surabaya
dianggap sebagai pusat-pusat tertua agama Islam di Jawa Timur. Tradisi tersebut
sesuai dengan kenyataan bahwa di Gresik terdapat banyak makam Islam yang tua
sekali. Pertama-tama terdapat makam seorang yang bernama Fatimah binti Maimun,
yang meninggal pada tanggal 7 Rajab 475 H. (1082 M.); dan kedua, makam Malik
Ibrahim, yang meninggal pada tanggal 12 Rabiulawal 822 H. (1419 M.). Tulisan-tulisan
pada makam dalam bahasa (dan tulisan) Arab baru dapat dibaca dan diartikan oleh
sarjana-sarjana Barat pada abad ke-20. Cerita tradisi lisan Jawa telah menghubung-
hubungkan kedua orang itu. Padahal, kedua orang tersebut masa hidupnya berselisih
beberapa abad. Wanitanya disebut Putri Leran atau Putri Dewi Swara.

Mungkin dapat diakui juga bahwa berdasarkan tuanya makam wanita yang disebut
Putri Leran itu, Gresik lebih tua dari Surabaya sebagai pusat agama Islam. Ini sesuai
juga dengan adat Jawa, yang telah menempatkan si kakek, Raja Pandita, di Gresik,
dan adiknya, Raden Rahmat, di Surabaya.

Menurut tambo Jawa, Raden Rahmat yang berasal, dari Campa itu mempunyai
banyak keturunan dan murid, yang berabad-abad lamanya telah menguasai
perkembangan agama Islam di Jawa Timur (lihat bagian-bagian mengenai sejarah
Surabaya, Giri, dan Gresik).



1-2. Cempa, Campa, tanah asal Raden Rahmat, legenda dan sejarah

Mengenai letak Cempa dalam cerita-cerita Jawa yang menyangkut tempat asal para
penyebar agama Islam pertama di Jawa Timur, telah diajukan dua pendapat. Dr.
Rouffaer (Rouffaer, "Sumatera") berdasarkan dugaan-dugaan telah mengidentihkasikan
Cempa atau Campa ini dengan Jeumpa di Aceh, di perbatasan antara Samalangan
(Simelungan) dan Pasangan. Dr. Cowan memperkuat hipotesa ini dalam resensinya
(Cowan "Kern") mengenai karya R.A. Kern (Kern, "Verbreiding").



9 Pecat tandha, semula panca tandha, ialah suatu jabatan dalam tata negara Kerajaan Majapahit. Jabatan itu ada hubungannya
dengan pekerjaan menguasai tempat-tempat jual-beli dan pusat-pusat hubungan lalu lintas, seperti tempat tambangan sungai
(Pigeaud, Java, jil. V, hlm. 217 dan juga Bab XII-2 dan cat. 27 dan 212 berikut ini).



Pendapat yang mengidentifikasikan Cempa dengan Jeumpa di Aceh, kelihatannya
diperkuat juga oleh rute perjalanan (lihat Valentijn, Dud en Nieuw, jil. IV, hal.1 24-1 25)
yang telah ditempuh oleh orang-orang suci Islam lain, seperti Syekh Ibnu Maulana, dari
Tanah Arab ke Jawa, yaitu: Aceh, Pasai, Campa, Johor, Cirebon. Apabila Cempa (=
Jeumpa) ditukar tempatnya dengan Pasai, maka rute perjalanannya lebih masuk akal.

Dalam sebuah petikan Kroniek van Banjarmasin tentang sejarah Jawa (Ras, Hikajat
Bandjar, hal. 46; juga sudah disebut dalam TBG, jil. 24,1875, hal. 280-297) terdapat
nama Pasai di tempat yang seharusnya menurut harapan orang adalah Cempa
(bandingkan Djajadiningrat, Banten, hal. 255). Ini menimbulkan dugaan bahwa Cempa
(Jeumpa) dan Kota Pasai yang jauh lebih terkenal itu saling berhubungan.

Keberatan pokok terhadap identifikasi Cempa dengan Jeumpa ialah bahwa Kota
Jeumpa tidak berarti. Mungkin tempat itu pada abad ke-15 dan ke-16 lebih penting
daripada sekarang sebagai pangkalan dalam perjalanan laut menyusur pantai timur
Sumatera. Menurut ilmu bahasa, ada juga hubungan antara Jeumpa dan Cempa.
Tetapi mungkin Cempa, daerah asal yang dimaksud dalam tambo-tambo Islam di Jawa,
harus dicari di tempat yang lebih jauh lagi, di pantai timur Hindia-Belakang.

Pendapat kedua tentang letak Cempa ini diperkuat oleh sastra sejarah Melayu dan
Jawa. Cerita Sajarah Melayu (bab 21) memuat riwayat singkat Kerajaan Campa. Di situ
secara khusus diberitakan bahwa penduduknya tidak makan daging sapi dan tidak
menyembelih sapi. (Ini mungkin juga menunjukkan bahwa mereka itu beragama Hindu
atau Budha). Semula daerah itu wilayah taklukan Batara (Raja) Majapahit.

Menurut Sajarah Melayu, raja Campa yang terakhir adalah Pau Kubah, yang kawin
dengan putri dari Lakiu. Raja Kerajaan Kuci meminang salah seorang putri mereka,
tetapi pinangannya ditolak. Ini mengakibatkan pecah perang antara Campa dan Kuci.
Dengan jalan pengkhianatan akhirnya para pejuang dari Kuci dapat merebut ibu kota
Campa, yang bernama Bal; mereka berhasil memberi uang suap kepada bendahara
raja, untuk membuka pintu gerbang. Pau Kubah gugur dalam perang ini. Dua orang
putranya lolos. Yang seorang, Pau Liang, melarikan diri ke Aceh; di situ ia menjadi
penegak dinasti baru.10 Yang lain, Indra Berma, minta suaka kepada Sultan Mansur
dari Malaka. Indra Berma dan istrinya, Keni Mernam, memeluk agama Islam di Malaka.
Di keraton kesultanan itu mereka menjadi orang ternama.

Berita Sajarah Melayu ini boleh dianggap dapat dipercaya, karena teksnya sudah
disusun menjelang perempat kedua abad ke-16, tidak terlalu lama sesudah runtuhnya
dinasti raja Campa yang lama. Dari sumber-sumber lain telah diketahui bahwa Campa
pada tahun 1471 direbut oleh orang-orang Annam (Vietnam). Tarikh ini bertepatan



10 6 Bermukimnya seorang putra raja Campa di Aceh, yang disebutkan dalam Sajarah Melayu ini, dapat dihubungkan dengan

berita-berita tentang Jeumpa (Cempa, Campa, dan Pasai); lihat sebelumnya.



dengan tahun-tahun pemerintahan Sultan Mansur di Malaka (1459 - 1477) yang telah
memberi suaka kepada pangeran dari Campa yang melarikan diri itu.

Sajarah Melayu tidak menghubungkan Cempa dengan Jawa Timur. Namun, sejarah
Cempa disebut juga dalam Hikayat Hasanuddin versi Banten. Dalam hikayat ini
dikisahkan bahwa Kerajaan Campa ditaklukkan oleh raja dari Koci, waktu Raden
Rahmat bermukim di Jawa. Jadi, Raden Rahmat bersama saudaranya tentunya
sebelum tahun 1471 sudah berangkat dari Cempa ke Jawa Timur.

Hikayat Hasanuddin (Edel, Hasanuddin, hal. 162 dan 164) menimbulkan dugaan
bahwa waktu menetapnya Raden Rahmat di Surabaya itu harus diletakkan dalam
perempat ketiga abad ke-15. Ini akan sesuai benar dengan tarikh yang tercantum pada
makam Putri Campa, 1448 Masehi.

Dari sejarah Campa masih ada tahun yang lebih awal, yang diketahui dari sumber-
sumber lain, yaitu tahun 1446. Pada waktu itu seorang raja Annam, Le Nhantong, telah
menduduki ibu kota Campa dan menawan rajanya.

Apabila peristiwa-peristiwa sejarah dan tahun-tahun kejadian di atas kita tinjau dan
apabila kita ingin memberi nilai sejarah kepada cerita-cerita Jawa Timur mengenai
Cempa, tempat asal beberapa .penyebar agama Islam mula-mula, kita dapat menyusun
hipotesa berikut ini. Seorang raja Majapahit, atau seorang anggota keluarga raja,
menjelang pertengahan abad ke-15 telah membawa gadis Islam dari keluarga baik-baik
yang berasal dari Cempa ke istananya. (Sejak dahulu kala Majapahit selalu mempunyai
hubungan dengan Cempa). Wanita Islam itu meninggal pada tahun 1448 dan
dimakamkan secara Islam (= Putri Cempa).

Beberapa tahun sebelumnya, dua orang keluarga putri itu, kakak beradik,
meninggalkan Cempa dan melawat ke Jawa. Mereka ini juga beragama Islam; ayah
mereka adalah orang Barat yang kawin di Cempa dengan wanita dari keluarga
bangsawan. Salah satu alasan kedua kakak-beradik itu pergi ke Jawa ialah karena
ancaman orang-orang Annam untuk menyerang Cempa. (Pires, petualang Portugis itu
menetapkan kedatangan orang-orang Islam pertama ke Jawa sekitar tahun 1443; pada
tahun 1446 ibu kota Cempa diduduki oleh bangsa Annam). Dua orang kakak-beradik
dengan darah campuran ini [Barat-Asia, Arab (?) dan Indocina (?)] telah berhasil
menjadi pemuka kelompok-kelompok Islam yang masih baru di Gresik dan Surabaya.
Dalam kedudukan itu mereka diakui oleh wakil-wakil maharaja Majapahit (pecat tanda
di Terung). Tetapi keturunan mereka tidak mendapat kekuasaan duniawi di Gresik dan

Surabaya.lJ.



H Dalam Nagara Kertagama, nama-nama Campa dan Kamboja (Cambodia) disebutkan sampai dua kali secara berdampingan
dalam sebuah urutan nama-nama (Pigeaud, Java, jil. V, hlm. 151). Kecuali kesaksian Nagara Kertagama dari abad XIV, masih
ada pemberitaan-pemberitaan tentang Kamboja dalam buku cerita dari abad ke-17 (Pigeaud, Java, jil. III, hlm. 264) untuk
menjelaskan, bahwa di Jawa nama-nama Campa (Cempa) dan Kamboja telah dikenal dengan baik secara berdampingan
atau secara terpisah.



Demikianlah hipotesa tentang permulaan penyebaran agama Islam di Jawa Timur.
Sejarah Gresik dan Surabaya akan diuraikan dalam bagian-bagian berikut ini.



1-3. Perdagangan, ekonomi, dan kehidupan masyarakat dalam Kerajaan
Majapahit pada abad ke-15

Berbagai penelitian Schrieke, Van Leur, dan Metlink-Roelofsz yang telah
dipublikasikan sejak tahun 1925 telah mengungkapkan keadaan waktu Islam
berkembang di Kepulauan Indonesia pada abad ke-15. Masuk akal juga bahwa
pedagang dan pelaut Islam telah menggantikan kedudukan orang-orang bukan Islam,
yang telah mendahului mereka sebagai pedagang dan yang menjadi saingan mereka
dalam menguasai jalan laut yang berabad-abad umurnya, yaitu jalan yang menyusur
pantai Sumatera dan Jawa menuju ke kepulauan rempah-rempah di Maluku. Banyak
berita dalam tulisan berbahasa Cina dan Arab mengenai pelayaran perdagangan yang
sudah lama menarik perhatian orang itu.12

Bandar-bandar sepanjang pantai utara Jawa itu pertama-tama merupakan
pangkalan; di situ pelaut-pelaut tersebut membeli bekal (tegasnya: beras) dan air untuk
perjalanan yang berminggu-minggu atau berbulan-bulan dengan menggunakan perahu-
perahu layar. Melimpahnya persediaan beras, hasil tanah aluvium dari pesisir, dan
kesuburannya membuat bandar-bandar di Jawa tersebut menjadi sangat menarik.

Kemakmuran bandar-bandar itu bergantung pada persediaan beras yang dapat
meteka tawarkan. Kaum bangsawan setempat dan pegawai-pegawai keraton yang
berwenang mengurusi penyerahan beras para petani di tanah pedalaman merupakan
kelompok "bapak" yang harus dihubungi para pedagang Seberang untuk
menyelesaikan urusan.

Kedua, sehubungan dengan penyediaan bahan makanan, bandar-bandar Jawa
ternyata telah menjadi tempat penimbunan perdagangan rempah-rempah. Di tempat-
tempat tersebut barang dagangan sangat laku dikumpulkan untuk ditawarkan kepada
pedagang-pedagang seberang lautan apabila mereka datang dengan perahu layar
bertepatan dengan angin musim yang sesuai. Perdagangan tersebut dilakukan oieh
pedagang-pedagang yang menetap di tempat-tempat itu. Dalam banyak hal pedagang-
pedagang itu - karena hubungan lama - mempunyai hubungan baik dengan pelaut-
pelaut tersebut (atau dengan majikan mereka di Seberang); atau mereka sendiri
keturunan orang tanah seberang. Mereka membentuk golongan pedagang yang
berada, dan sering mengadakan kawin campur. Hubungan perkawinan keluarga



12 Salah satu dari tempat-tempat, yang tidak banyak jumlahnya, dalam kesusastraan Jawa kuno yang membicarakan
perdagangan dan ekonomi zamannya sendiri ialah Nagara Kertagama, tembang 15-3 std 16-5; lihat Pigeaud-, Java, jil. IV,
him. 500-504. Buku-buku undang-undang Jawa kuno dan Jawa Islam memang juga memuat paragraf-paragraf yang
berhubungan dengan perdagangan dan ekonomi, tetapi buku-buku ini sampai sekarang boleh dikatakan belum pernah
dipelajari.



pedagang dengan kaum bangsawan daerah, pegawai-pegawai raja (sering kali abdi
raja, para kawula), atau bahkan dengan anggota keluarga raja, kadang-kadang terjadi
sebelum zaman Islam, tetapi atas dasar kedudukan yang tidak sepadan. Di semua
kelompok sosial dalam masyarakat di masa pra-lslam kesadaran kebangsawanan
terlalu kuat, sehingga suatu perkawinan dengan pihak yang termasuk golongan lain
(bukan bangsawan) tidak dapat dianggap bernilai sepenuhnya. Di istana keluarga kaum
terpandang, asal keturunan para wanita merupakan soal yang teramat penting. 13

Ketiga, bandar-bandar taut sepanjang pantai utara Jawa juga menjadi tempat
kedudukan pengusaha perkapalan dan para pemilik kapal (bahkan juga pembuat
kapal), yang menyediakan kapal-kapal laut untuk perdagangan dengan daerah
seberang lautan. Ini semua memerlukan modal yang sangat besar. Mungkin sekali
sering diperlukan kerja sama antara pedagang-pedagang yang bermodal kuat dari
golongan masyarakat dagang guna menyelenggarakan usaha sebesar itu. Keikut-
sertaan kaum bangsawan dan pegawai-pegawai raja dari kalangan pemerintah
setempat dirasa perlu, karena nakoda kapal akan mendapat limpahan kekuasaan dari
kerja sama tersebut, sehingga dapat melakukan kekerasan di rantau jika dianggap
perlu.14 Di bandar-bandar dengan pengusaha kuat, bila perlu nakoda dapat minta
dibuatkan kapal-kapal (atas biaya masyarakat setempat) dan juga diperlengkapi
dengan logistik perang untuk melawan musuh atau saingan di Seberang (pelayaran
perompak).

Pimpinan kapal-kapal yang dipersiapkan di bandar-bandar Jawa terdiri dari
anggota-anggota kelas pedagang. Tidak jarang nakoda kapal sendiri sepenuhnya
merupakan pemilik kapal beserta muatannya; setidaknya menguasai sebagian besar
"sahamnya". Kadang-kadang yang memegang pimpinan adalah seorang bangsawan.
Awak kapalnya diambit dari abdi-abdi (yang tidak terikat pada) tuan-tuan besar itu.
Orang-orang luar, pedagang-pedagang kecil dan orang-orang asing, kadang-kadang
mendapat izin juga untuk ikut berlayar dengan syarat tertentu. Di antara para
penumpang kapal itu sering terdapat orang dari berbagai tempat asal, dengan bahasa
yang berbeda-beda yang sebagian hidupnya mengembara dari bandar satu ke bandar
yang lain, menyusuri pantai-pantai Asia Tenggara, Kepulauan Indonesia, dan India.



13 Boleh jadi kisah Damarwulan ditulis di Surabaya pada permulaan abad ke-17. Cerita ini terjadi di Keraton Majapahit, yang
pada waktu itu hampir satu abad sebelumnya telah runtuh. Pahlawannya termasuk keturunan para patih raja Majapahit;
ayahnya, Patih Udara, sering tidak ada di rumah karena mengadakan pelayaran-pelayaran untuk urusan dagang. Para patih
(diterjemahkan menurut pengertian Arab; menteri), ialah pegawai-pegawai kerajaan (semula mungkin abdi-abdi tidak bebas,
kawula-kawula), yang mengurusi perdagangan dan mengatur pendapatan raja dari perdagangan itu. Yang aneh dalam kisah
dari zaman Islam muda'ini ialah bahwa pahlawannya lebih dahulu telah kawin dengan saudara sepupunya sendiri (jadi kawin
dalam tingkat derajatnya sendiri), tetapi kemudian, sebagai hadiah atas jasa kepahlawanannya, ia boleh kawin dengan Ratu
Putri Majapahit. Kenaikan derajat yang layak dalam dongeng ini, bagi seseorang yang asal usulnya sederhana, memang
sudah sesuai dengan jiwa kesusastraan Pesisir (Pigeaud, Literature, jll.1, him. 231 dst.). Ratu Putri itu tentu saja menjadi
garwa padmi (istri utama) Damarwulan.

14 Sebagian kutipan itu mungkin menyangkut tindakan kekerasan yang dilakukannya di rantau orang oleh pelaut-pelaut
bersenjata dan cuplikan tersebut diambil dari Nagara Kertagama, tembang 16-5, baris-baris akhir (lihat Pigeaud, Java; jil. N,
him. 39).



Keadaan serupa ini sudah berlangsung dalam perdagangan dan pelayaran Asia
Tenggara sejak zaman dahulu. Sedikit sekali alasan untuk menduga bahwa agama
Islam dengan cepat mengadakan perubahan-perubahan besar.



1-4. Golongan menengah Islam

Dari permulaan agama Islam sudah berpengaruh pada golongan menengah, kaum
pedagang, dan buruh di bandar-bandar (hal ini terjadi hampir di mana-mana pun agama
Islam berkembang, lebih-lebih di Asia Tenggara dan Nusantara). Seperti lazimnya,
pelaut-pelaut menyebarkan agama Islam di antara teman-teman sederajatnya. Rasa
persaudaraan dalam agama antarbangsa itu, yang pada asasnya tidak mengakui
adanya perbedaan keturunan, golongan, dan suku antara para pemeluknya, ternyata
mempunyai daya tarik pada para pedagang dan pelaut, yang berbeda-beda tempat
asalnya dan mempunyai berbagai-bagai adat istiadat dan cara hidup.1_5 Dalam
pergaulan hidup masyarakat golongan menengah yang berdagang ini, agama Islam
yang memajukan sifat sama rata itu menciptakan tata tertib dan keamanan seraya
menonjolkan kerukunan kaum Islam. Hukum pernikahan Islam, yang pada dasarnya
tidak mengenal halangan berdasarkan perbedaan keturunan, golongan, dan suku,
merupakan pembaruan besar dalam pergaulan hidup yang terpecah-pecah.16

Gambaran Jawa mengenai para penyebar agama Islam pertama di Jawa Timur
memberikan beberapa petunjuk bahwa mereka termasuk golongan menengah kaum
pedagang itu. Sunan Giri pada masa mudanya adalah anak angkat Nyai Gede Pinatih,
wanita pedagang kaya di Gresik. Sunan Giri sendiri berlayar untuk urusan dagang ke
Kalimantan Selatan (Babad Gresik, hat. 23). Ki Gede Pandan Arang, yang kemudian
disebut Sunan Bayat, bekerja pada wanita penjual beras. Sunan Kalijaga berpendapat
bahwa menyamar sebagai penjual alang-alang itu tidak merendahkan derajatnya
(Rinkes, "Heiligen", jil. IV, hat. 440-441 ).17

Di mana pun di kota-kota bandar bila telah terbentuk masyarakat Islam, masjid
niscaya segera dibangun; itu merupakan suatu keharusan. Masjid menduduki tempat
penting dalam kehidupan masyarakat; ia merupakan pusat pertemuan orang-orang
beriman dan menjadi lambang kesatuan jemaat.



15 Orang dapat pula bertanya-tanya mungkin kekuatan agama Budha selama meluasnya di Asia Tenggara berabad-abad
sebelum zaman Islam itu pada mulanya juga terletak antara lain pada ajarannya tentang. persamaan sosial dalam kehidupan
masyarakat.

16 Hubungan yang terdapat antara pembaruan dalam kehidupan bermasyarakat, munculnya kaum pedagang sebagai lapisan
menengah dalam masyarakat, hilangnya rintangan-rintangan perkawinan yang berdasarkan perbedaan kelahiran, derajat,
kebangsaan, dengan timbulnya aliran Islam baru dalam kesusastraan Jawa dari abad ke-16 dan ke-17, telah mendapat
perhatian Pigeaud dalam Literature, jil.1, him. 212 dst. ("Pasisir Literature") dan him. 219 dst. (''Islamic Romances”).

17 Dalam Pigeaud, Literature, jil. I, him. 150 dst. ("Sacred legends and genealogies of Muslim saints"), him. 278 dst. ("Crises")
dicantumkan pemberitaan tentang kaitan, yang oleh cerita tutur Jawa diletakkan antara tampilnya para wali sebagai pembawa
agama Islam dan munculnya kesenian serta kegiatan pertukangan, antara lain berupa pembuatan keris dan wayang kulit.



Ada alasan untuk menduga bahwa dalam Kerajaan Majapahit di sana-sini terdapat
pasar dan pusat jaringan perdagangan di pedalaman, lebih-lebih di sekitar tempat
penyeberangan sungai yang banyak jumlahnya itu. Di sana tinggal kelompok-kelompok
orang yang hidupnya terutama dari perdagangan dan lalu lintas. Dalam buku Pigeaud,
Java, hal itu mendapat perhatian (jil. V, hal. 44, di bawah: "trade" "tradespeople",
"traveling"; dan jil. IV, hal. 416-432: catatan atas terjemahan prasasti Biluluk tahun 1366
hingga 1395). Dapat diduga bahwa sudah sejak abad ke-14 banyak terlibat orang-orang
bukan Jawa dalam perdagangan dan lalu lintas pedalaman. Mereka itu orang-orang
Indocina, yang mempunyai adat kebiasaan sendiri, juga di bidang keagamaan
(Pigeaud, Java, jil. IV; hal. 409 dst. : catatan pada terjemahan Ferry Charter). Menurut
tradisi Jawa, seorang adipati, bawahan raja di Terung (= tempat tambang penting di
Sungai Brantas) dan yang memiliki darah Cina, telah melantik imam pertama masjid tua
di Ngampel Denta. Itu suatu contoh cerita yang menjelaskan adanya hubungan antara
Islam golongan menengah, perdagangan serta lalu lintas, dan orang-orang Cina.



1-5 Berdirinya kerajaan-kerajaan Islam di Bandar-Bandar pantai utara Pulau Jawa

Suma Oriental karangan petualang Portugis, Tome Pires, melukiskan keadaan di
Jawa sekitar tahun 1515.18 Menurut dia, perpindahan kekuasaan politik ke tangan
orang-orang Islam terjadi dengan dua cara:

Pertama: Bangsawan-bangsawan Jawa yang "kafir" dengan sukarela memeluk
agama baru itu; di tempat-tempat mereka memegang kekuasaan (dan tetap berkuasa),
pedagang-pedagang Islam mencapai martabat tinggi. Demikian juga para cendekiawan
agama Islam yang tinggal di rumah para pedagang.

Kedua: Orang-orang asing yang beragama Islam, dari bermacam-macam bangsa,
bertempat tinggal di kampung (factorij) tersendiri di Bandar-Bandar, membuat rumah
mereka menjadi kubu pertahanan; dari tempat-tempat itulah mereka mengadakan
serangan-serangan terhadap perkampungan orang-orang "kafir"; akhirnya mereka
merebut seluruh pemerintahan bandar.

Gambaran peristiwa menurut Pires itu agaknya mudah diterima. Mungkin sekali
Pires berpendapat, dalam hal yang kedua itu para penguasa setempat yang asli dan
bukan Islam itu gugur dalam pertempuran atau melarikan diri. Bagaimanapun jelaslah
bahwa-is memberikan peranan penting kepada kalangan pedagang yang beragama
Islam.

Bolehlah diperkirakan bahwa proses pengislaman yang pertama itulah yang tertua,
dan bahwa Bandar-Bandar kuno di pantai utara Jawa Timur dengan cara demikian itu
menjadi Islam. Kota Tuban adalah contoh perkembangan demikian itu. Pengislaman



18 Berapa besar arti hasil karya Tome Pires untuk pengkajian masa pengislaman tanah Jawa telah dibicarakan dalam Graaf,
"Tome Pires".



dengan jalan kekerasan itu konon terjadi di Bandar-Bandar di pantai utara Jawa
Tengah, yakni Demak dan Jepara.

Suatu catatan Pires yang penting ialah yang berikut ini. Menurut dugaannya,
pedagang-pedagang Islam yang semula dari golongan menengah dan kadang-kadang
bangsa asing, setelah mencapai kekuasaan dan kehormatan, mengubah tingkah laku
dan cara hidup mereka. Dari pedagang mereka menjadi cavaleiros, kesatria golongan
bangsawan, kemudian mendapat hak untuk memiliki tanah. Berdasarkan pernyataan
Pires, dapat diduga bahwa memeluk agama Islam belum berarti tercapainya perubahan
besar dalam susunan politik kota-kota di pantai utara Jawa. Bahkan juga tidak di
tempat-tempat keturunan penguasa yang bukan Islam, yang dengan jalan kekerasan
dipaksa menyerahkan kedudukan mereka kepada "orang kaya baru", yang menurut
asal usulnya adalah orang-orang asing dan pelaut.



1-6 Kehidupan agama Islam di Jawa Tengah dan Jawa Timui pada abad ke-15

dan ke-16, legenda dan sejarah

Kesusastraan Jawa abad ke-17 dan ke-18 mengenal banyak cerita tradisional
mengenai para wali, yaitu orang-orang saleh yang diduga telah menyebarkan agama
Islam di Jawa. Dikisahkan kehidupan, mukjizat, dan keyakinan mereka di bidang mistik
Islam dan teologi. Cerita-cerita itu biasanya berpegang teguh pada wali yang sembilan
angka yang dipandang "keramat", yang mengingatkan kita akan kesempurnaan yang
mencakup segala-galanya. Tetapi nama-nama para wali itu disebut berbeda-beda.1_9

Wali-wali di Jawa kabarnya berpusat di masjid keramat di Demak, masjid yang
mereka dirikan bersama. Di situlah mereka agaknya mengadakan pertemuan untuk
bertukar pikiran tentang mistik. Naskah-naskah yang mengungkapkan pertukaran
pikiran ini, yang dinamakan Musawaratan, sangat disukai oleh para santri: Banyak
naskah telah disusun yang memuat teks-teks Musawaratan . 20

Legenda-legenda keagamaan Jawa itu sedikit nilainya bagi penulisan sejarah.
Urutan kronologis kejadian-kejadiannya diabaikan sama sekali. Hanya yang mengenai
wali-wali yang paling terkemuka ada kepastian sejarah yang cukup kuat, oleh karena
makam-makam mereka masih tetap merupakan tempat yang sangat dihormati; juga
karena mereka sendiri atau keturunan mereka memegang peranan penting dalam
sejarah politik Jawa pada abad ke-16 dan ke-17. Mereka berhasil mendapatkan
kekuasaan duniawi di tempat kediaman mereka: mereka telah menjadi "pemuka-
pemuka agama' 0 . Contoh-contoh perkembangan seperti ini ialah: Giri-Gresik, Kudus,



19 Cerita-cerita tutur Jawa tentang permulaan zaman Islam di Jawa telah dibicarakan dalam Pigeaud, Literature, jil.1 , hlm. 76 dst.
Berbagai legenda Jawa tentang orang-orang suci telah diuraikan dalam Rinkes, "Heiligen".

20 Arti Masjid Demak yang suci ini bagi kesadaran keagamaan orang-orang Jawa Islam pertama akan dibicarakan dalam
paragraf berikut. Sejarah rumah ibadat akan menjadi bahan pembicaraan dalam Bab II buku karangan ini ("kelahiran dan
kejayaan kerajaan Demak"). Soal "Musawaratan" Jawa telah dicantumkan dalam Pigeaud, Literature, jil.1 , hlm. 83 dst.



dan Cirebon. Sejarah tempat-tempat tersebut akan dibicarakan dalam bagian lain buku
ini. Orang Suci dari Kadilangu, dekat Demak, yaitu Sunan Kalijaga, dan keturunannya
memang tidak menjadi raja, namun pengaruh mereka di bidang kerohanian di Jawa
Tengah bagian selatan ternyata besar.

Tome Pires sedikit sekah menulis tentang orang-orang suci Islam. Diberitakan
olehnya, pada permulaan abad ke-16, sesudah berdirinya kerajaan-kerajaan Islam di
pantai utara Pulau Jawa (lihat bagian-bagian yang terdahulu), datanglah "maulana-
maulana" dari tanah seberang. Mereka tinggal di dekat masjid-masjid yang sementara
itu telah dibangun. Juga cerita-cerita sejarah Jawa dalam bentuk Babad Tanah Djawi
(antara lain terbitan Djaja Subrata, I, hal. 131), mengisahkan kedatangan para
"maulana" bahkan ada yang dari Mekkah. Berita-berita pendek itu dan legenda-legenda
panjang tentang orang-orang saleh tersebut berkisar sekitar tokoh-tokoh yang sama.
Namun, perlu dinyatakan bahwa, menurut Pires, para rohaniwan dari negeri asing itu
baru menetap di Jawa sesudah didirikannya kelompok-kelompok Islam, berkat rasa
kerukunan beragama dan besarnya semangat dakwah para pelopor yaitu para pelaut
dan pedagang di bandar-bandar. Para guru agama yang datang kemudian telah
memperkuat keimanan kelompok-kelompok itu.

A. Johns (Johns, "Muslim Mystics") telah mencoba menghubungkan jatuhnya Kalifat
Bagdad pada tahun 1258, yang mengakibatkan hancurnya kesatuan politik Islam untuk
selama-lamanya, dengan propaganda pan-lslam (menurut perkiraan) yang dilakukan
oleh tarekat mistik dalam abad-abad berikutnya.21 la menduga bahwa "the conversion
of Indonesia to Islam was very largely the work of the tariga's" (hal. 41). Memang suatu
kenyataan bahwa mistik, bahkan mistik yang heterodoks dan panteistis, telah mendapat
kedudukan penting dalam kehidupan keagamaan Islam Jawa sejak abad ke-15 dan ke-
16. Ini terbukti dari kesusastraan Jawa. Tetapi hanya sedikit alasan untuk menduga
bahwa ikatan-ikatan persaudaraan mistik Islam yang terkenal pada masa itu sudah
mulai aktif di Jawa pada abad ke-15. Dalam Hikayat Hasanuddin tarekat-tarekat itu di
sana-sini memang disebutkan (Edel, Hasanuddin, hal.1 56,1 77, dan 178), tetapi
mungkin merupakan catatan yang ditambahkan kemudian. Dalam kumpulan kuno cerita
sejarah Jawa lainnya tidak terdapat berita tentang tarekat. Menurut Drewes (Drewes,
"Mysticism", hal. 300) tarekat Shattariya dari Medinah mulai dikenal di Jawa pada
pertengahan abad ke-17.

Boleh diduga bahwa para guru agama yang pada abad ke-15 dan ke-16 melawat ke
Jawa, termasuk kelompok mahasiswa dan sarjana yang menjelajahi dunia Islam sambil
menghimpun ilmu, serta memberikan ajaran dan sementara itu tidak melupakan
kepentingan duniawi. Meluasnya dunia Islam sebagai akibat pengislaman Kepulauan
Indonesia itu tidak luput dari perhatian kalangan mereka. Di istana kerajaan-kerajaan
baru Islam sepanjang pantai kepulauan itu, mereka sering disambut dengan meriah



21 Lihat: Hall, Historians ; Johns, "Muslim Mystics". Drewes, "Mysticism" juga mengetengahkan mistik Jawa.



sebagai penasihat kerohanian. Karena bergerak di tengah-tengah berbagai bangsa,
mereka lebih mengenal dunia; karenanya mereka merupakan penasihat yang sangat
berguna. Bahkan mereka menjadi pembantu bagi tuan rumah mereka dalam mengurusi
harta dan memimpin usaha.

Apabila mereka cukup lama tinggal di suatu tempat, sering terjalin hubungan
perkawinan antara orang asing yang dihormati serta berguna itu dengan putri atau
saudara perempuan penguasa setempat. .Hukum perkawinan Islam memberikan
kemungkinan untuk itu. Dalam legenda dan kisah, hubungan perkawinan demikian itu
berkali-kalj diungkapkan.



1-7 Masjid Demak, legenda dan sejarah

Menurut cerita tradisional sejarah Jawa, tercatat dalam cerita dan buku-buku cerita,
bangunan masjid itu didirikan oleh para wali bersama-sama dalam waktu satu malam.
Atap tengahnya ditopang, seperti lazimnya, oleh empat tiang kayu raksasa. Salah satu
di antaranya tidak terbuat dari satu batang kayu utuh; ia disusun dari beberapa balok,
yang diikat menjadi satu. Dikisahkan dalam legenda itu bahwa tiang tersebut adalah
sumbangan Sunan Kalijaga. Rupanya tiang itu disusun dari potongan-potongan balok
yang tersisa dari pekerjaan wali-wali lainnya; pada malam pembuatan bangunan itu ia
datang terlambat, oleh karenanya tidak dapat menghasilkan sebuah pekerjaan yang
utuh.

Dalam lagenda-lagenda tentang Masjid Demak, Sunan Kalijaga menduduki tempat
yang penting. Dialah yang berjasa membetulkan kiblat masjid (mengarah ke Mekkah).
Sunan Kalijaga jugalah yang memperoleh baju wasiat "Antakusuma", yang jatuh dari
langit di masjid itu di tengah-tengah para wali yang sedang bermusyawarah. Cerita
mengenai peristiwa itu berbeda-beda. Baju yang juga disebut Kiai Gundil (Gundul) itu
dalam cerita tradisional dianggap sebagai salah satu "pusaka" raja-raja Jawa.
Panembahan Senapati, raja Mataram pertama yang merdeka, menurut cerita, pada
tahun 1590 telah dapat mengalahkan pangeran Madiun karena mengenakan baju
tersebut yang membuatnya kebal. Baju itu diterimanya dari pandita di Kadilangu, ahli
waris Sunan Kalijaga. Pada tahun 1703 baju tersebut masih disebut sebagai salah satu
pusaka keraton dalam suatu surat berbahasa Belanda. Pada waktu itu baju tersebut
diserahkan kepada sunan baru, Mangkurat III, di Kartasura. (Dagh-Register, 12
November 1703; disimpan di Arsip Nasional, Jakarta, belum terbit).

Legenda ketiga tentang Masjid Demak, di samping cerita tentang pembangunan
Masjid Demak dan tentang baju tersebut, ada hubungannya dengan api surga. Legenda
itu mempunyai bermacam-macam versi; dalam semua versinya, Ki Gede Sesela, tokoh
yang menangkap kilat, berada di ladang, la membawa kilat itu ke Masjid Demak atau
kepada Sultan Demak. Sebuah relief, yang dibuat di atas pintu gerbang utara bangunan



yang sekarang, di sisi kubur, mengingatkan kita akan peristiwa itu. Keterangan itu
berdasarkan cerita lama. Pintu gerbang yang bernama Pintu Bledeg 'Kilat' dahulu
adalah pintu gerbang utama (Wardi, Kumpulan, hal. 30). Kilat yang telah terkurung
untuk beberapa waktu, konon, kemudian dapat meloloskan diri atau dibebaskan. Sesela
adalah suatu tempat di daerah sebelah timur Demak, dengan gejala-gejala vulkanis
(Junghuhn, Java, II, hal. 272-280). Ki Gede Sesela yang legendaris itu sangat
dimuliakan sebagai moyang keturunan keluarga raja Mataram. Hingga abad ke-20 ini,
dua kali setahun Susuhunan Surakarta menyuruh mengambil api dari lampu di atas
makam Ki Gede Sesela, untuk menyalakan lampu di muka ruang sucinya ( kobongan ,
patanen) sendiri, di bagian keraton yang paling dalam. Kalau api Sesela ini tiba di
Surakarta dengan arak-arakan yang khidmat, banyak pula pangeran memanfaatkan
kesempatan itu untuk menyalakan lampu mereka (lihat Dr. B. Schrieke dalam Catatan
Tambahannya pada Bosch, "Dinaja").

Mukjizat penangkapan kilat di Demak itu oleh cerita tradisi dihubungkan dengan
suatu keputusan politik penting. Penghormatan Ki Gede Sesela merupakan tradisi
dinasti bagi wangsa Mataram. Ada kemungkinan untuk menghubungkan atau setidak-
tidaknya membandingkan cerita api surga ini dengan pandangan Hindu -Jawa dari
zaman sebelum Islam, mengenai "asas Kekuasaan Syiwa yang berkilauan", (Schrieke)
dan "Lingga Syiwa yang memancarkan sinar" (Bosch).

Hingga abad ke-19 masjid suci di Demak menjadi pusat bagi umat Muslim kuno di
Jawa Tengah. Di kalangan itu bahkan ada anggapan bahwa mengunjungi Kota Demak
dan makam orang-orang suci di sana dapat disamakan dengan naik haji ke Mekkah.
Nama Kudus, yang pada abad ke-16 diberikan kepada pusat keagamaan Islam yang
lain, terletak tidak jauh dari Demak, berasal dari kata al-Quds, nama Arab untuk
Yerusalem, juga suatu kota suci bagi orang Islam.

Pantas disebutkan ucapan, yang - menurut Babad Tanah Djawi (Meinsma, Babad,
hal. 566) - dikemukakan oleh Susuhunan Paku Buwana I di Kartasura pada tahun 1708.
Waktu itu beliau harus mengakui bahwa susuhunan yang mendahului dia, Mangkurat III
yang dibuang ke Sri Lanka oleh Kompeni di Jakarta, telah membawa semua pusaka
kerajaan. Paku Buwana I berkata bahwa Masjid Demak dan makam suci di Kadilangu
sajalah yang merupakan pusaka mutlak dan tidak boleh hilang (ugere pusaka ing tanah
Jawa). Pada tahun 1710 ia memberi perintah untuk memperbaiki bangunan itu dan
mengganti atapnya dengan sirap baru (atap dari kayu). Menurut berita yang bersumber
pada Kompeni, sesudah meninggalnya Kapten Tack di Kartasura, konon Sunan
Mangkurat II pada tahun 1688 menawarkan untuk mengucapkan sumpah setianya
kepada perjanjian-perjanjian yang telah diadakannya dengan Kompeni, di Masjid
Demak (Graaf, Tack, hal. 142, cat. 4).

Lagenda-lagenda dan cerita-cerita tradisi yang telah disebutkan itu penting, karena
telah mengungkapkan betapa pentingnya Masjid Demak di alam pikiran orang Jawa




Islam pada abad ke-17, ke-18, dan ke-19. Kenyataan itu disebabkan oleh
perkembangan sejarah. Masjid Demak telah menjadi pusat kerajaan Islam pertama di
Jawa Tengah. Menurut cerita tradisi yang tampaknya dapat dipercaya, kota yang
kemudian dikenal sebagai ibu kota Demak itu didirikan pada paruh kedua abad ke-15.
la cepat menjadi pusat perdagangan dan lalu lintas, dan menjadi pusat ibadat bagi
golongan menengah Islam yang baru timbul. Politik ekspansi raja-raja Demak dalam
masa kejayaannya telah jauh masuk ke Jawa Barat, Tengah, dan Timur. Hal itu selalu
dibarengi dengan dakwah agama, sebab raja-raja dan pengikut mereka sendiri sedang
berkobar-kobar semangat agamanya. Mungkin sekali raja-raja Demak menganggap
Masjid Demak sebagai lambang kerajaan Islam mereka. Tidak begitu penting untuk
diketahui apakah masjid tertua di Demak itu didirikan oleh raja pertama atau raja lain.
Bahwa Masjid Demak pada abad-abad berikutnya menjadi penting sekali dalam dunia
Jawa pada mulanya merupakan jasa dinasti Demak.22

Legenda-legenda itu - yang telah menghubungkan Masjid Demak dengan wali-wali
di Jawa (pembangunannya; baju Antakusuma) -dapat dianggap dongeng yang



22 Dalam Pigeaud, Literature, jil. I, hlm. 76 dst. ("The beginning of the Islamic period ' in Java, Javanese mysticism") perhatian
dipusatkan pada sebuah kelompok pusat-pusat keislaman yang lain (di samping masjid-masjid di kota-kota pelabuhan) pada
abad ke-15 dan ke-16, yiitu tempat-tempat pendidikan agama (pondok, pesantren), yang merupakan kelompok-kelompok
masyarakat yang masing-masing berdiri sendiri; kadang-kadang jauh di pegunungan. Tentang berbagai orang suci dari suku
Jawa diberitakao oleh cerita tutur, bahwa mereka telah membuat bertobatnya beberapa ajar, yaitu guru-guru yang beragama
dari zaman sebelum Islam, dengan memperlihatkan kepada mereka betapa unggulnya mukjizat-mukjizat Allah. Dalam
Pigeaud, Java, hlm,. 484, dst. diungkapkan dugaan bahwa tempat-tempat pendidikan agama dari zaman sebelum Islam -
asrama-asrama dan mandala-mandala - merupakan bentuk asli pondok-pondok dan pesantren-pesantren Islam. Para ajar,
yang telah rela bertobat, masih tetap meneruskan tugasnya dalam memberi bimbingan keagamaan kepada para pengikutnya
(dengan cara mereka sendiri dan sesuai dengan tingkat pengetahuan mereka). Begitulah agaknya maksud yang ingin
disampaikan oleh cerita tutur Jawa. Dapat diperkirakan, bahwa beberapa pondok Islam tua telah menggantikan pusat-pusat
keagamaan dari zaman sebelum Islam. Di antara naskah-naskah Jawa yang dikumpulkan oleh Schoemann (sekarang di
Perpustakaan Negara, Berlin) terdapat sebuah naskah Jawa kuno, yang ditulis pada daun nipah dengan apa yang disebut
huruf Buda. Naskah ini termasuk kumpulan naskah Jawa lama, yang pada tahun 1851 dibeli di Desa Kedakan (di Kedu, di
lereng Gunung Merbabu sebelah barat) dari keturunan seorang panembahan bernama Windu Sona, yang telah
mengasingkan diri di tempat itu pada abad ke-15, waktu agama Islam mulai memegang pimpinan di Jawa Tengah (ini catatan-
catatan Dr. Schoemann). Memang suatu kenyataan bahwa di antara naskah-naskah pada daun nipah dengan tulisan yang
biasa disebut huruf Buda, ternyata juga ada yang dipengaruhi Islam. (Pigeaud, Literature, jil. III, Facsimiles, him. 2-23, dan
Indeks him. 199, di bawah "Buda" III).

Dalam hubungan ini baiklah disebutkan legenda tentang ziarah Sunan Kalijaga ke Pamantingan. Menurut legenda ini, yang
menjadi bagian Sunan Kalijaga dalam pembangunan masjid suci Demak ialah satu tiang, yang dibentuknya dari balok-balok
potongan yang disusun dan diikat menjadi satu tiang. Disebutkah pula secara khusus (Meinsma, Babad, him. 48), bahwa
Sunan Kalijaga terpaksa bekerja dengan tergesa-gesa waktu ikut melaksanakan pembangunan tersebut, karena datangnya di
Demak sudah jauh lepas tengah hari, sementara orang-orang suci. lainnya sudah bersiap-siap menegakkan sumbangan
mereka masing-masing untuk bangunan itu. la datang terlambat, karena ia telah pergi bertirakat ke Pamantingan ( tirakat
dateng ing Pamantingan), dan agaknya kurang pagi berangkat dari situ.

Menurut cerita tutur itu, sebelum zaman Islam saja sudah ada tempat keramat yang terkenal, yakni Pamantingan atau
Mantingan. Menurut pemberitaan, Pamantingan ialah salah satu dari delapan tempat kediaman yang terpenting bagi roh di
Jawa ( Lelembut , 'makhluk berbadan halus'), di samping merupakan tempat kediaman pertapa wanita dari Cemara Tunggal,
yang kabarnya juga menjadi Ratu segara Kidul, 'Dewi Laut Selatan', Nyai Lara Kidul (Meinsma, Babad', hlm. 10 dan 21; lihat
juga Pigeaud, Literature, jil. III. hlm. 301 dan 303 di bawah judul "Mantingan dan Mancingan"). Mantingan ini kiranya juga telah
menjadi tempat kediaman Jumadil Kubra, orang suci Islam dari zaman dahulu (lihat cat. 2). Bolehlah diperkirakan, bahwa
menurut legenda, Pamantingan yang telah dikunjungi Sunan Kalijaga ialah tempat dekat Jepara, yaitu tempat Ratu
Kalinyamat yang tersohor itu kira-kira tiga perempat abad kemudian telah mendirikan makam (jirat) bagi suaminya yang telah
terbunuh itu (lihat Bab Vl-I dan cat. 113 berikut ini). Legenda yang mengisahkan bahwa orang suci seperti Sunan Kalijaga
telah mengunjungi tempat seperti Pamantingan, kiranya berdasarkan kepercayaan lama akan adanya hubungan antara
"kekafiran" Jawa kuno dan agama Islam.

(Mungkin Mantingan itu lebih dari satu. Dewi Manting ialah nama dewi padi di Bali; lihat Pigeaud, Literature, jil. III, hlm. 312.
Dewi menurut kepercayaan lama itu telah mengejawantah, baik sebagai dewi tetumbuhan dan dewi kesuburan maupun
sebagai Nyai Lara Kidul).



termasuk kesusastraan agama untuk yang menghormati orang-orang suci, terutama
Sunan Kalijaga, pendakwah dan pelindung Jawa Tengah sebelah selatan. Ketika
kekuasaan raja-raja Demak jatuh, pada paruh kedua abad ke-16, kesetiaan yang
berurat berakar terhadap orang-orang suci menjadikan Masjid Demak sebagai pusat
kehidupan beragama di Jawa Tengah.

Cerita tradisi sejarah Banten (Edel, Hasanuddin) memuat kisah-kisah tentang imam-
imam Masjid Demak pada perempat terakhir abad ke-15 dan dalam perempat pertama
abad ke-16. Salah satu bagian buku ini akan membahasnya. Cerita tradisi ini
membukrikan bahwa pada zaman itu masjid beserta para pengurusnya sangat
terpandang.

Menurut S. Wardi, seorang peminat yang ternyata mengenal daerah itu dengan
baik, di dekat pengimaman (mihrab) Masjid Demak terdapat sebuah tableau yang
disemen dalam tembok: Tableau tersebut menunjukkan candra sangkala, yaitu tahun
kejadian berwujud lukisan-lukisan kongkret, namanya mempunyai nilai angka. Menurut
beliau, candra sangkala tersebut berwujud lukisan kepala, kaki, tubuh, dan ekor;
keseluruhan itu menunjukkan tahun Jawa 1401 yang sesuai dengan tahun 1479 M.
(Wardi, Kumpulan). Dengan cara seperti itu pada pintu gerbang utama Masjid Demak
tertera pada kayu tahun 1428 Jawa yaitu tahun 1506 M. Tahun-tahun kejadian itu
tampaknya dapat dipercaya; tahun-tahun itu bertepatan dengan waktu timbulnya dan
berkembangnya kekuasaan Kerajaan Demak. Mungkin dapat diterima bahwa pada
permulaan abad ke-16 telah didirikan suatu bangunan yang diperindah dan diperbesar,
yang mengelilingi mihrab lama yang sudah berumur 30 tahun. Tahun 1506 cocok
dengan tahun 1507, yaitu ketika raja Demak (Tranggana) hadir pada peresmian Masjid,
setelah diperbarui (lihat Bab 11-5 berikut ini).23



23 Sebuah karangan Dr. de Graaf (Graaf, "Mosque"), menyajikan uraian tentang bangunan masjid-masjid lama dengan atap
bertingkat-tingkat, menurut pandangan dan penggambaran musafir Eropa dari abad ke-17. Persamaan yang terdapat dalam
hal atap bertingkat, antara masjid-masjid lama di Sumatera dan Jawa di satu pihak, dan di pihak lain rumah-rumah ibadat
Islam di Malabar, Gujarat, dan bahkan di Kashmir, sungguh mencolok. Kemungkinan tentang adanya hubungan antara
masjid-masjid Indonesia yang beratap bertingkat dan "pagoda-pagoda" di daratan Asia Tenggara juga dapat dipertimbangkan,
mengingat bahwa kerabat-kerabat orang Islam lama yang jadi pelopor berasal dari Asia Tenggara; juga mengingat hubungan-
bubungan mereka dengan Cina.



Bab 2



Lahirnya dan Masa Kejayaan Kerajaan Demak pada
Dasawarsa-Dasawarsa Terakhir Abad ke- 15 dan pada
Paruh Pertama Abad ke- 16



11-1 Letak Demak, ekologi

Letak Demak sangat menguntungkan, baik untuk perdagangan maupun untuk
pertanian. Pada zaman dahulu Distrik Demak terletak di pantai selat yang memisahkan
Pegunungan Muria dari Jawa. Sebelumnya selat itu rupanya agak lebar dan dapat
dilayari dengan baik, sehingga kapal-kapal dagang dari Semarang dapat mengambil
jalan pintas itu untuk berlayar ke Rembang.. Tetapi sudah sejak abad ke-17 jalan pintas
itu tidak lagi dapat dilayari setiap saat.24

Pada abad ke-16 agaknya Demak telah menjadi tempat penimbunan perdagangan
padi, yang berasal dari daerah-daerah pertanian di sebelah-menyebelah selat tersebut,
dengan perairannya yang tenang, untuk pelayaran. Konon, Kota Juwana, di sebelah
Timur, sekitar tahun 1500 merupakan pusat seperti itu bagi daerah tersebut. Tetapi
menurut Tome Pires (Pires, Suma Oriental , I, hal. 189), sekitar tahun 1513 Juwana
telah dihancurkan dan dikosongkan oleh Gusti Patih, panglima besar Kerajaan
Majapahit yang bukan Islam. Ini tentu merupakah suatu pengerahan tenaga terakhir
kerajaan yang sudah tua itu. Setelah jatuhnya Juwana, Demak menjadi penguasa
mutlak selat di sebelah selatan Pegunungan Muria.

Jepara terletak di sebelah barat pegunungan, yang dahulu adalah pulau (Muria).
Jepara mempunyai pelabuhan yang aman yang (semula) dilindungi oleh tiga pulau
kecil. Letak pelabuhan Jepara sangat menguntungkan bagi kapal-kapal dagang yang
lebih besar, yang berlayar lewat pantai utara Jawa menuju Maluku dan kembali ke
barat. Pada abad ke-17, ketika jalan pelayaran pintas di sebelah selatan pegunungan
ini tidak lagi dapat dilayari dengan perahu-perahu yang lebih besar karena telah
menjadi dangkal oleh endapan lumpur, maka Jepara menjadi pelabuhan Demak. Pada
abad ke-16 dan ke-17 kedua kota itu merupakan dwitunggal yang berkuasa.

Yang menjadi penghubung antara Demak dan daerah pedalaman di Jawa Tengah
ialah Sungai Serang (dikenal juga dengan nama-nama lain), yang sekarang bermuara



24 Pada abad ke-17 selama musim hujan orang dapat berlayar dengan sampan lewat tanah yang tergenang air, mulai dari
Jepara sampai Pati di tepi Sungai Juwana (Graaf, Sunan Mangku Rat, jil. ke-1, hlm. 218). Pada lahun 1657 Tumenggung Pati
mengumumkan, bahwa ia bermaksud menggali saluran air baru dari Demak ke Juwana, hingga Juwana akan dapat menjadi
pusat perdagangan (Grad, Sunan Mangku Rat, jil. ke-1, hlm. 112). Boleh jadi ia menginginkan memulihkan jalan air lama,
yang satu abad yang lalu masih dapat dipakai.



di Laut Jawa antara Demak dan Jepara. Sungai itu pada abad ke-18 masih tetap dapat
dilayari dengan perahu-perahu dagang yang agak kecil, setidak-tidaknya hingga
Godong. Anak-anak sungainya bersumber di Pegunungan Kapur Tengah. Di sebelah
selatan pegunungan tersebut terletak daerah-daerah tua Jawa Tengah, yaitu Pengging
dan Pajang. Jalan-jalan yang cukup baik dilalui pedati melalui daerah batas perairan
yang rendah dari lembah Sungai Serang dan Lusi menuju ke lembah bengawan, yaitu
Bengawan Solo, yang merupakan penghubung antara Jawa Tengah sebelah selatan
dan Jawa Timur.25

Hasil panen sawah di daerah Demak rupanya pada zaman dahulu pun sudah baik.
Kesempatan untuk menyelenggarakan pengairan cukup. Lagi pula, persediaan padi
yang diperlukan untuk mencukupi kebutuhan sendiri dan untuk perdagangan masih
dapat ditambah oleh para penguasa di Demak tanpa banyak susah, apabila mereka
menguasai jalan penghubung di pedalaman Pengging dan Pajang.



11-2 Sumber-sumber penulisan sejarah pemerintahan raja-raja Demak yang

pertama, legenda dan sejarah

Lahirnya kerajaan Islam pertama di Jawa Tengah, di Demak, sejak abad ke-17
mendapat perhatian para pembawa cerita dan para penulis sejarah Jawa. Pada abad
ke-17 hegemoni di Jawa Tengah dan Jawa Timur jatuh ke tangan raja-raja Mataram di
pedalaman. Banten, di Jawa Barat, tidak pernah takluk kepada Mataram; tetapi
kerajaan-kerajaan bandar lainnya di sepanjang pantai utara Jawa selama abad ke-17
semuanya telah direbut Mataram, atau terpaksa mengakui kekuasaan raja-raja
Mataram. Lahirnya dan lamanya kekuasaan keluarga raja Islam kedua yang besar di
Jawa Tengah (Mataram), di "Daerah Raja-Raja Jawa Tengah" (De Vorstenlanden),
telah mempengaruhi penulisan sejarah Jawa pada abad ke-17 dan abad-abad
berikutnya sedemikian rupa, sehingga zaman sebelum Mataram dianggap kurang
penting. Cerita-cerita babad pada abad-abad sebelum munculnya raja Mataram
pertama dipenuhi dengan legenda yang menghubungkan munculnya Kerajaan Demak
dengan runtuhnya Majapahit dari zaman pra-lslam. Raden Patah, atau Fattah, atau
Victor menjadi pahlawan besar dalam legenda-legenda ini.

Bukanlah maksud buku ini untuk membicarakan asal usul legenda tentang
Majapahit dan Demak itu, atau cara legenda tersebut diolah dalam cerita-cerita babad
Mataram. Cukuplah kiranya dicatat di sini bahwa cerita-cerita itu terdapat dalam buku-



25 Pada tahun 1678 tentara gabungan Belanda-Jawa telah bergerak dari Jepara ke Kediri untuk menghadapi pemberontakan
Trunajaya. Di Grompol pasukan-pasukan tersebut sampai di Bengawan Solo, dan bergerak terus ke arah timur lewat lembah
sungai itu. (Graaf, Hurdt dan juga Bab mengenai "The Javanese landscape and the system of roads and waterways", dalam
Schrieke, Ruler, hlm. 102 dst.).



buku cerita ( Serat Kandha), yang mungkin pada abad ke-17 sudah dikenal di Jawa
Timur dan di Pesisir.26

Meskipun sifat legendaris - dan kadang-kadang sifat mirip dongeng khayalan -
cerita-cerita tersebut kentara sekali, penulisan sejarah Jawa oleh orang-orang Belanda
selama abad ke-19 dan lebih lama berdasarkan buku-buku cerita dan cerita babad dari
Jawa Timur dan Jawa Tengah tersebut, karena tidak ada sumber lain yang lebih baik.
Baru akhir-akhir ini, karena ditemukannya Suma Oriental terbukalah kemungkinan
menyusun sejarah Demak yang lebih dapat dipercaya (lih. cat. 14). Ternyata,
pemberitaan Pires sesuai dengan apa yang diungkapkan dalam buku-buku sejarah
Banten, Jawa Barat. Redaksi buku-buku itu, yang berasal dari abad ke-18, sedikit
banyak terpengaruh oleh tradisi kesusastraan Mataram, tradisi Jawa Tengah yang
berkuasa. Tetapi buku-buku itu masih memuat unsur-unsur lama, yang
mengungkapkan peristiwa sejarah lebih baik daripada legenda-legenda yang tersebar
luas.27

Antara Tome Pires dan buku-buku sejarah Jawa Barat terdapat kesesuaian dalam
hal pemberitaan bahwa dinasti Demak dimulai dengan tiga orang raja berturut-turut.
Demi kejelasan, di sini lebih dulu disebutkan daftar nama raja-raja tersebut menurut
para penulisnya. Dalam bagian-bagian berikut akan dibicarakan berita-berita tentang
kehidupan dan kegiatan para raja tersebut.



Tome Pires menyebutkan:

1 . Moyang, yang tidak disebut namanya, berasal dari Gresik,

2. Pate Rodin Sr.,

3. Pate Rodin Jr.



Sadjarah Banten, buku sejarah Banten yang terbesar, menyebutkan (Djajadiningrat,
Banten, hal. 21):

1 . Patih raja Cina yang tidak disebut namanya,

2. a. Cun-Ceh, meninggal dalam usia muda;

b. Cu-Cu, juga disebut Arya Sumangsang dan Prabu Anom,

3. Ki Mas Palembang.



26 Lihat Pigeaud, Literature, jil. 1 , hlm. 138 dan seterusnya. Buku Kandha yang mungkin telah diterjemahkan sekitar tahun 1800
di Semarang ke dalam bahasa Belanda, dan yang dalam karangan ini akan berkali-kali dakutip, berisi bagian-bagian yang
lebih tua daripada naskah yang tersimpan di perpustakaan Universitas Leiden (Codex LOr, No. 6379).

27 Penulisan sejarah Banten dengan panjang lebar telah diuraikan dan dibicarakan dalam Djajadiningrat, Banten , dan dalam
Edel, Hasanuddin. Karangan Brandes (Brandes, Register) memberikan ringkasan historiografi tentang Mataram.



Hikayat Hasanuddin, juga disebut Sadjarah Banten rante-rante, buku sejarah
Banten yang lebih kecil, tetapi sangat penting, menyebutkan:

1. Cek Ko-Po dari Munggul,

2. a. Pangeran Wirata, meninggal muda,

b. Pangeran Palembang Tua, meninggal muda,

c. Cek Ban-Cun,

d. Pangeran Palembang Anom, juga disebut Molana Arya Sumangsang,

3. Molana Tranggana, putra dari 2-d.

Musafir Belanda, Cornelis de Bruin, pada tahun 1706 telah mengunjungi Banten; di
situ kepadanya diserahkan keterangan-keterangan keturunan berikut ini (yang
tampaknya merupakan kutipan dari Hikayat Hasanuddin).

1 . Co-Po dari "Moechoel",

2. Arya Sumangsang,

3. Arya Tranggana.



Sebagai bahan perbandingan, di bawah ini masih disebutkan tiga orang yang,
menurut legenda Mataram, bertindak sebagai raja Demak. Nanti sekali-sekali akan
disinggung kesesuaian antara tiga orang ini dan tritunggal dari buku-buku sejarah Jawa
Barat:

1. Raden Patah,

2. Pangeran Sabrang-Lor,

3. Pangeran Tranggana.

11-3 Penguasa tertinggi Islam yang pertama di Demak, lagenda dan sejarah

Menurut cerita tradisi Mataram Jawa Timur, raja Demak yang pertama - Raden
Patah - adalah putra raja Majapahit yang terakhir (dari zaman sebelum Islam), yang
dalam lagenda-lagenda bernama Brawijaya. Ibu Raden Patah konon seorang putri Cina
dari keraton raja Majapahit. Waktu hamil putri itu dihadiahkan kepada seorang anak
emasnya yang menjadi gubernur di Palembang. Di situlah Radeh Patah lahir.



Dari cerita yang cukup rumit ini ternyata bahwa para pembawa cerita menganggap
kesinambungan sejarah dinasti (Majapahit - Demak) itu sangat penting. Yang istimewa
ialah tentang keturunan Cina dan asal dari Palembang.

Apa yang oleh Pires diceritakan dalam bukunya Suma Oriental, berdasarkan cerita-
cerita yang didengarnya di Jawa pada permulaan abad ke-16, pada pokoknya ialah
sebagai berikut. Kakek raja Demak yang memerintah pada tahun 1513 adalah seorang
"budak belian" dari Gresik (Pires, Suma Orientai, hal. 183-184); yang dimaksud dengan
"budak belian" ialah kawula, abdi.28 Orang dari Gresik ini konon telah mengabdi
kepada penguasa di Demak pada waktu (raja bawahan dari maharaja Majapahit?).
Orang itu oleh penguasa di Demak diangkat menjadi Capitan, dan kemudian ditugasi
memimpin ekspedisi melawan Cirebon, yang waktu itu masih "kafir". Cirebon dapat
direbut pada tahun 1470; dan Capitan yang telah mendapat kemenangan itu dihadiahi
gelar pate oleh tuannya. (Pires banyak menyebut pate rupanya yang dimaksud itu
"patih".29

Menurut Pires, pada tahun 1513 yang memegang kekuasaan di Cirebon adalah
seorang lebe Uca (= Husain? Jadi, patih dari Demak itu -tidak mendirikan dinasti di
Cirebon?).

Di tempat lain dalam bukunya (hal. 424) Pires menulis tentang orang dari Gresik itu
elle veio teer a Dema, yang oleh penerbitnya berkebangsaan Portugis, Cortesao,
diterjemahkan menjadi he happened to go to Demak (Di mana pun Pires tidak pernah
mengatakan dengan tegas bahwa orang dari Gresik itu orang Islam. Tetapi tempat asal
Gresik, pusat tertua agama Islam di Jawa Timur, dapat merupakan petunjuk
keislamannya).

Karya besar Sadjarah Banten memuat riwayat-riwayat Jawa Barat, meskipun
(kemudian) bercampur dengan sisipan-sisipan tradisi Jawa Timur dan Mataram. Dalam
cerita tentang Aria Damar dari Palembang dalam Sadjarah tadi, terdapat suatu fragmen
mengenai raja-raja pertama di Demak (Djajadiningrat, Banten, hal. 19-20 dan 24-25). Di
Cina, muncul seorang Syekh Jumadilakbar, yang memasukkan raja ke agama lslam.30
Usaha itu tidak berhasil. Suara dari surga menyatakan bahwa raja Cina akan tetap kafir.
Konon, Jumadilakbar kemudian berangkat ke Jawa dengan menumpang kapal seorang
dari Gresik. Tetapi setelah Jumadilakbar berangkat, rupanya raja Cina itu yakin akan
keunggulan agama Islam. Konon, Syekh Jumadilakbar menanam biji durian di



28 Mengenai kedudukan para kawula di Jawa pada abad ke-15, ke-16 dan abad-abad berikutnya, lihat Pigeaud, Java, jil. V,
"Society". Kedudukan kawula dapat dibandingkan dengan "kedudukan sebagai budak tebusan /orang bujang", yang di bagian-
bagian lain di Nusantara telah menjadi kelaziman.

29 Patih ialah gelar atau pangkat di Jawa yang sudah tua sekali. Kemudian kedudukan patih tidak selamanya sama derajatnya.
Pada umumnya patih ialah seorang kuasa usaha dan bendahara para bangsawan. Mungkin pernah terjadi bahwa seorang
patih dipilih dari golortgan "kawula" (Pigeaud, Java, jil. IV, hlm. 450454, mengenai Piagam Karang Bogem, 1387 M.) Patih raja
"Cina", yang muncul dalam cerita Sadjaah Banten, tidak perlu dianggap sebagai pemimpin pemerintahan.

30 Jumadil-Kubra ialah nama seorang suci Islam (atau lebih daripada satu), yang menjadi tokoh lagenda (Pigeaud, Literature, jil.
III, di bawah kata "Jumadil Kubra”).



darparagi (alun-alun) raja, yang secara menakjubkan cepat tumbuh menjadi pohon:
Raja Cina itu mengutus patihnya, untuk mencari dan mengajak kembali syekh yang
sudah berangkat itu. Patih telah mencarinya di Siam, Samboja, Sanggora, dan (Pulau)
Atani, hingga akhirnya sampai juga di Gresik. Tetapi syekh itu ternyata sudah
menghilang. Di Gresik konon patih Cina bersama kedua putranya, Cun-Ceh dan Cu-Cu,
masuk Islam. Patih itu dan seorang putranya, Cun-Ceh, meninggal di Gresik. Menurut
cerita, Cu-Cu kemudian dapat mencapai kedudukan dan kehormatan tinggi.

Buku sejarah Banten lain yang penting, Hikayat Hasanuddin, tidak memuat cerita-
cerita yang panjang lebar, tetapi banyak nama dan tahun kejadian. Teks itu
menyebutkan nama moyang Cina tersebut, Cek Ko-Po dari Munggul.

Cek ini tentu kata Cina, yang - menurut Kamus Melayu, susunan Klinkert, berarti
"paman". Dalam bahasa Melayu kata itu, dalam bentuk "encek", masih dipergunakan
sebagai kata sapa yang sopan: tuan, nyonya. Kata "Munggul" ini mengingatkan kita
akan kata "Mongolia". Nama "Moechoel", yang disebut musafir Cornelis de Bruin,
mungkin salah lafal dari kata itu juga.

Seorang Belanda lain dari abad ke-17, Hendrick van der Horst, juru bahasa VOC di
Batavia menulis bahwa - menurut keterangan seseorang - moyang tersebut berasal dari
"tanah Mogael, berbatasan dengan Arabia". Rupanya, beberapa nama geograffis yang
sedikit mirip dikacaukan.

Berdasarkan beberapa berita abad ke-17 dan yang dari Jawa Barat -yang jarang
tetapi sangat menarik perhatian itu - dapat kita simpulkan bahwa asal usul dinasti
Demak itu dari "Cina" pada waktu ini dapat dipercayai, la sudah memeluk agama Islam
ketika menetap di daerah Demak, dan ia meningkat menjadi "patih" raja (siapa pun
orangnya). Konon, ia datang dari Jawa Timur (Gresik) dan menetap di Demak. Dapat
pula dipercaya bahwa selama hidup ia tidak hanya mengakui kekuasaan penguasa
setempat (gubernur atau bawahan raja Majapahit), la sendiri konon belum menjadi raja,
melainkan orang berpengaruh yang berasal dari Cina, yang termasuk golongan
pedagang menengah yang berada, la hidup di Demak pada perempat terakhir abad ke-
15 .



11-4 Penguasa Islam kedua di Demak, lagenda dan sejarah

Dalam buku-buku cerita dan cerita babad dari Jaws Timur dan Jawa Tengah, raja
Demak kedua sebagai pengganti Raden Patah yang legendaris itu disebut Pangeran
Sabrang-Lor. Nama itu ternyata berasal dari daerah tempat tinggalnya di "Seberang
Utara". Tidak ada yang luar biasa disebut dalam cerita babad tentangnya.

Dalam buku Tome Pires, Suma Oriental, yang muncul sebagai raja kedua di Demak
ialah Pate Rodim (atau Rodin) Sr. (hal:1 95). Pires menyebutnya persona de grande



syso "orang yang tegas-dalam mengambil keputusan" dan cavaleiro "seorang kesatria"
bangsawan, dan teman seperjuangan Pate Zeinall atau Zeynall dari Gresik; patih tertua
di Jawa. Menurut Pires banyak saudara perempuan dan putri Pate Rodin Sr. yang
kawin dengan patih-patih terkemuka.

Tentang tindakannya sebagai negarawan juga hanya sedikit yang diceriterakan
dalam buku Pires. Konon ia mempunyai armada laut yang terdiri dari 40 kapal jung.
Semua berasal dari daerah-daerah taklukannya (hal. 185). Secara lihai ia telah berhasil
mencaplok Jepara (di sebelah utara Sindang Laut).

Dalam Sadjarah Banten, penguasa di Demak itu disebut-sebut sehubungan dengan
sejarah Palembang (hal. 21). Ki Dilah, raja taklukan dari Palembang, agaknya telah
mengabaikan kewajibannya untuk menghadap maharaja di Majapahit memerintahkan
penguasa di Demak, Cu-Cu namanya, untuk menertibkan penguasa di Palembang.
Usaha itu berhasil: Ki Dilah tunduk waktu Cu-Cu muncul di Palembang dengan
membawa gong Mesa Lawung; dikiranya maharaja sendiri yang datang, la ikut pergi ke
Majapahit. Sebagai imbalan atas jasa-jasanya, Cu-Cu diberi gelai Aria Sumangsang.
Maharaja bahkan telah menghadiahkan kepadanya seorang putri Majapahit sebagai
istri.

Sadjarah Banten mengabarkan lebih lanjut: Konon, kemudian Arya Dilah dari
Palembang membangkang lagi. Sekali lagi Cu-Cu Sumangsang dikirim oleh maharaja
untuk menghadapinya. Dan untuk kedua kalinya Cu-Cu berhasil menundukkan Ki Dilah
dengan menggunakan nyala api keris pusaka "Kala Cangak". Sebagai hadiah atas
kemenangannya yang kedua ini, Cu-Cu Sumangsang dihadiahi gelar mulia Prabu
Anom oleh maharaja Majapahit. Anaknya, yang sementara itu lahir, pada kesempatan
itu telah diberi nama Ki Mas Palembang.

Dalam buku Sadjarah Banten (Djajadiningrat, Banten, hal. 22) cerita itu kemudian
masih disusul oleh pemberitaan bahwa Prabu Anom di Demak yang beragama Islam itu
kiranya telah mencoba menarik raja masuk agama Islam. Tetapi raja yang sudah tua itu
menolak. Dengan ini berakhirlah bagian cerita tentang Cu-Cu dari Demak dalam
Sadjarah Banten.

Namun buku Sadjarah Banten ini sesudah itu (hal. 25) masih juga memuat cerita
lain yang menyangkut Demak. Orang kudus dari Ngampel Denta telah mengutus salah
seorang muridnya untuk mendirikan permukiman Islam di Bintara (dekat Demak).
Permukiman ini dalam waktu singkat telah berkembang menjadi kota penting. Hal ini
terdengar oleh Lembu Sora, dan telah dilaporkannya kepada raja Majapahit. Perintis itu
oleh raja Majapahit diberi gelar "tandha di Bintara".31



31 Mengenai kedudukan tanda dalam abad ke-14, ke-15 dan kemudian, lihat cat. 5 terdahulu, Pecat tanda. Pecat tanda di
Terung, yang kiranya telah memainkan peranan penting pada hari-hari terakhir Kerajaan Majapahit, berasal menurut cerita
tutur Jawa Timur juga dari keturunan "Cina''.



Cerita dalam Sadjarah Banten lebih lanjut mengisahkan: konon tandha di Bintara
bersama pengikut-pengikutnya yang beragama Islam telah merencanakan suatu
komplotan untuk melawan raja yang kafir itu. Pada suatu malam mereka menyerang
raja di istananya. Raja gugur, tetapi anaknya, Lembu Peteng, selamat. Menurut cerita,
Lembu Peteng kemudian oleh tanda di Bintara dijadikan anak angkatnya.32

Hikayat Hasanuddin menandaskan bahwa penguasa kedua di Demak itu dikenal
juga dengan nama Aria Sumangsang, dan menyebut juga sehubungan dengan
tindakannya nama kota "Palembang".

Dari pemberitaan Pires itu serta buku-buku sejarah Jawa Barat, tidak banyak yang
dapat dinyatakan dengan pasti tentang kehidupan penguasa kedua di Demak itu. Tentu
saja penting juga diketahui kapan Demak menjadi kerajaan Islam yang merdeka.
Apabila benar bahwa Cek Ko-Po, moyangnya, masih hidup di bawah kekuasaan
penguasa setempat di Demak, kiranya dapat diduga bahwa penggantinya, yaitu Cu-Cu
Sumangsang, telah berhasil memerdekakan diri. Tetapi Pires tidak memberitakan hal
itu. Cerita yang dikisahkan dalam Sadjarah Banten mengenai tanda di Bintara - yang
katanya telah menyerang dan membunuh seorang raja - mungkin mengandung
kenangan tentang apa yang sudah terjadi. Pemberitaan Pires, bahwa dalam beberapa
hal golongan menengah yang beragama Islam menggunakan kekerasan untuk
menyingkirkan kekuasaan "kafir" supaya dapat mengambil alih kekuasaan itu, mungkin
mengacu ke Demak. Perkembangan itu konon telah terjadi menjelang berakhirnya abad
ke-15 atau pada awal abad ke-16.



11-5. Raja Demak yang ketiga, Sultan Tranggana, legenda dan sejarah

Menurut cerita Jawa Timur dan Mataram dalam buku-buku cerita Serat Kandha dan
cerita babad, penguasa Demak yang ketiga bernama Tranggana atau Trenggana. la
adalah saudara sultan sebelum dia, Pangeran Sabrang-Lor; kedua-duanya putra
penguasa pertama, Raden Patah yang terkenal itu. Menurut cerita yang beredar di
kalangan pengagum orang-orang suci, Tranggana telah mengundang Sunan Kalijaga
dari Cirebon untuk menetap di Kadilangu dekat Demak. (Pada abad ke-17 Sunan
Kalijaga dianggap sebagai rasul Islam dan pelindung Jawa Tengah sebelah selatan).



32 Dari cerita ini tidak ternyata bagaimana kiranya kedudukan Lembu Sora, yang telah dibunuh itu, dalam Kerajaan Majapahit.
Kejadian-kejadian yang telah dituturkan itu akan menjadi jelas, apabila kita akui bahwa ia seorang raja bawahan yang
memerintah daerah Demak, dan secara langsung menjadi atasan tandha tersebut. Lembu Sora ialah nama perlambangan
("Lembu yang berani"). Nama-nama yang disusun dengan nama-nama binatang (Lembu, Kuda) demikian itu kita jumpai
dalam kesusastraan Jawa yang berupa legenda-legenda mengenai raja-raja Kediri maupun kerajaan-kerajaan sesudahnya.
Yang bernama Lembu ?eteng, 'Lembu Gelap', disebutkan sebagai salah satu moyang sunan Tembayat dan pangeran
Kajoran, Orang-orang Suci di Jawa Tengah bagian selatan dari abad ke-16 dan ke-17. Lembu Peteng ini kiranya seorang
putra raja Majapahit (Pigeaud, Literature, jil. II, hlm. 445). Dari Nagara Kertagama diketahui bahwa dalam Keiajaan Majapahit
anggota-anggota keluarga raja (kadang-kadang) dijadikan raja (muda) di pelbagai bagian negara; boleh jadi kekuasaan
mereka hanya bersifat nominal saja (Pigeaud, Java, jil. IV, hlm. 521 dst.). Satu dan lain hal memungkinkan adanya perkiraan
bahwa pemberontakan tandha di Bintara itu ditujukan kepada atasannya yang mempunyai hubungan keluarga dengan
keluarga Majapahit.



Dalam buku-buku cerita dan cerita babad dari Jawa Tengah, Tranggana dan
ayahnya (Raden Patah) diberi nama sesuai dengan nama tempat yang mungkin
terletak dekat Demak, yaitu Jimbun. Dalam cerita-cerita ini terdapat seorang
panembahan Jimbun, bahkan seorang Sultan Bintara Jimbun dan Jimbun Sabrang.33

Menurut cerita dalam Serat Kandha (hal. 327), seorang raja Demak pada tahun
Jawa 1429 (1507 M.) - tahun ketiga pemerintahannya -telah hadir pada peresmian
Masjid Raya di Demak (lihat juga penutup Bab 1-7). Besar kemungkinan raja itu
memang Tranggana yang dikisahkan dalam cerita; ia konon pada tahun 1504 telah
memegang pemerintahan.

Mengenai Tranggana (raja Demak itu), ada berita-berita Portugis (lihat Bab 11-15)
yang mengabarkan bahwa pada tahun 1546 ia gugur dalam ekspedisi ke Panarukan, di
ujung timur Jawa. Usahanya untuk menggabungkan kota pelabuhan yang "kafir" itu ke
wilayahnya dengan kekerasan ternyata gagal. Andai kata cerita tradisi ini berdasarkan
kebenaran - dan tampaknya memang demikian - maka Tranggana memegang
pemerintahan 42 tahun lamanya.

Mungkin Tranggana dari Demak (kalau tidak, keluarganya yang bernama Pangeran
Sabrang) dapat dijumpai lagi dalam cerita tradisi yang berasal dari daerah pedalaman
Banyumas, di perbatasan dengan daerah Pasundan, yaitu yang disebut Babad Pasir.34
Menurut cerita itu, raja Pasir yang namanya Banyak Belanak dengan sukarela memeluk
agama Islam dengan perantaraan seorang suci bernama Makdum. Orang suci Islam
Makdum tersebut telah diutus oleh raja Demak ke daerah pedalaman justru dengan
maksud itu. Raja Pasir, berkat pengaruh pembimbing agamanya, menjadi pejuang
Islam yang bersemangat di daerah Pasundan sebelah timur hingga Sungai Citarum.
Atas perintah raja Demak yang beragama Islam, ia bahkan telah menunjukkan
kekuasaannya hingga di Jawa Timur, di Pasuruan, la diberi seorang putri dari Pati
sebagai istri, dan ikut serta pula dalam pembangunan Masjid Demak. Sebagai imbalan
atas jasa-jasanya, oleh raja ia dianugerahi gelar "Senapati Mangkubumi". Dan ia
mendapat kekuasaan atas sebagian kerajaan sebelah barat, di pedalaman, dari Udug-
udug Krawang di tepi Sungai Citarum hingga ke "Tugu Mengangkang", Gunung
Sumbing dan Sindoro di Jawa Tengah.

Demikianlah cerita-cerita rakyat Jawa Tengah dan Jawa Timur yang (seluruhnya
atau sebagian) menyangkut penguasa ketiga di~Demak.



33 Panembahan Jimbun diberitakan dalam sebuah buku cerita (serat kandha) yang isinya panjang lebar (Pigeaud, Literature , jil.
II, hhn. 3626 dan 363a). Yang penting untuk dikemukakan ialah bahwa dengan menyebut nama Senapati Jimbun sebagai
penyusun, telah diterbitkan buku hukum yang diberi nama Salokantara (Pigeaud, Literature, jil. 1, hlm. 31 Oa). Buku ini
tergolong kesusastraan abad ke-16 yang bersifat hukum. Mudah sekali dapat diduga bahwa buku ini telah disusun atas
perintah raja yang paling kuasa dari dinasti Demak, mungkin raja pertama yang dapat mengetengahkan dirinya sebagai raja
Islam yang berdaulat.

34 Lihat Knebel, Babad Pasir, lihat juga Pigeaud, Literature, jil. I, hlm. 146 dst.



Musafir Portugis Tome Pires adalah orang yang sezaman dengan raja itu. la
menyebutnya Pate Rodin Jr. (Patih Rodin Muda).

Menurut perkiraan Pires, Tranggana lahir pada tahun 1483. Musafir Portugis itu,
pada sekitar tahun 1515 ketika mengumpulkan bahan-bahan untuk menyusun bukunya
Suma Oriental, tidak mempunyai penilaian tinggi terhadap penguasa ketiga di Demak
tersebut, la berpendapat, raja tersebut terlalu banyak menyibukkan diri dengan
kenikmatan di keputren "keputrian", la hidup mewah, berfoya-foya, dan mengabaikan
urusan kenegaraan. Menurut Pires, armada laut, yang semasa pemerintahan Pate
Rodin Sr. masih berkekuatan 40 kapal jung, pada masa pemerintahan penggantinya
(Pate Rodin Jr.) telah surut menjadi 10 kapal pada tahun 1513. Oleh karena musafir
Portugis itu telah meninggalkan Jawa sebelum raja Demak yang ketiga tersebut
menyelesaikan separuh masa pemerintahannya, ia tidak dapat menyimpulkan
pendapatnya tentang seluruh periode ini.

Babad-babad dari Banten hanya memberitakan sedikit mengenai penguasa ketiga
di Demak. Dalam naskah Sadjarah Banten tidak terdapat cerita-cerita yang dapat
dihubungkan dengan kehidupannya. Dalam Edel, Hasanuddin, (hal. 174) diberitakan
bahwa ia mencapai usia 63 atau 66 tahun.

Dari keterangan-keterangan itu - yang berasal dari berbagai cerita rakyat Jawa dan
berita-berita Pires yang tidak lengkap - orang hanya dapat menyimpulkan bahwa raja
Demak yang ketiga - yang dikenal oleh keturunannya dengan nama Tranggana -
memerintah sekitar tahun 1504 sampai 1546. Dalam kurun waktu itu wilayah kerajaan
telah diperluas ke barat dan ke timur, dan Masjid Demak telah dibangun (atau dibangun
kembali) sebagai lambang kekuasaan Islam.

Sementara itu, sudah pasti bahwa pada pertengahan pertama abad ke-16 telah
terjadi peristiwa-peristiwa penting, yang dalam cerita Jawa tidak atau hampir tidak
disebut, atau tidak dihubungkan dengan raja Demak yang ketiga. Peristiwa-peristiwa itu
ialah direbutnya Malaka oleh orang-orang Portugis dan jatuhnya ibu kota tua Majapahit.
Dalam bagian-bagian berikut hubungan peristiwa-peristiwa tersebut dengan sejarah
Demak akan mendapat sorotan.



11-6 Hubungan antara raja-raja Demak dan raja-raja Jepara sekitar tahun 1500.
Kekalahan perang di laut melawan orang-orang Portugis di Malaka

Penulis-penulis bangsa Portugis permulaan abad ke-16 berkali-kali memberitakan
tentang penguasa-penguasa di Jepara; mungkin karena pelaut-pelaut Portugis
mengenal baik kota pelabuhan itu. Nama penguasa yang berkali-kali disebut ialah Pate
Unus (kiranya Yunus).



Menurut Tome Pires, konon kakek Pate Unus ini orang dari "kelas buruh" ( homem
trabaljador) berasal dari Kalimantan Barat Daya. Dari sana ia pergi ke Malaka untuk
mengadu untung "dengan bekal kebangsawanan yang amat sedikit dan uang yang
lebih sedikit lagi" ( muy pouca j%dallguia a menos fazemda). Anaknya, yang lahir di
Malaka, di tahun-tahun kemudian telah berhasil meraih kekayaan besar dalam
perdagangan di Jawa. Akhirnya ia menetap di Jepara. Sekitar tahun 1470 pedagang
yang kaya raya itu (masih tetap menurut pemberitaan Pires) menyuruh membunuh
patih Jepara; dan ia pun berkuasa mutlak di kota pelabuhan itu. Seorang saudara laki-
lakinya, Pate Orob, dijadikannya penguasa di Tidunang (seharusnya Tedunan). Jepara
pada waktu itu masih merupakan tempat yang tidak berarti, berpenduduk 90 sampai
100 orang. Penguasa baru ini telah dapat menarik banyak orang, dan telah berhasil
juga memperluas wilayah kekuasaannya sampai ke seberang laut, sampai ke Bangka
dan tempat-tempat di pantai Kalimantan. Rupadya ia memiliki banyak kapal jung.
Meskipun begitu, ia masih juga mengakui raja Demak sebagai atasannya, la dapat
memperistri saudara perempuan Pate Morob dari Rembang (kota pelabuhan agak jauh
di sebelah timur pegunungan Muria). Penguasa di Tegal (terletak agak jauh di sebelah
barat) kiranya masih kerabatnya juga.

Seorang penulis lain berkebangsaan Portugis, de Barros, berpendapat bahwa ayah
seorang tokoh yang kemudian terkenal dengan nama Pate Unus telah berhasil
mendapatkan kekuasaan dan kekayaan besar dengan cara-cara bajak laut ( cossairo ),
dan bahwa ia selain itu amat aparentado (berpengaruh besar berkat hubungan
keluarga).

Menurut Tome Pires, Pate Unus yang terkenal itu baru berumur 17 tahun ketika
menggantikan ayahnya sekitar tahun 1507. la kawin dengan putri Pate Rodin Sr. dari
Demak. Pate Rodin Jr. 5 tahun lebih tua dari dia.

Pires mengisahkan, segera setelah Pate Unus memegang kekuasaan, ia
merencanakan suatu serangan terhadap Malaka, karena penghinaan yang dialami
salah seorang pelautnya di Malaka. Yang berkuasa di Malaka raja beragama Islam
juga. Persiapan-persiapan untuk mengadakan ekspedisi itu konon memakan waktu 5
tahun.

Sementara itu, pada tahun 1511 Malaka direbut oleh raja muda Portugis, Alfonso
d'Albuquerque. Kejadian itu, menurut Pires, telah menyalakan semangat perang, oleh
karena sekarang perang itu akan dilancarkan melawan orang "kafir". Pate Unus
menghubungi Sultan Mahmud Syah dari Malaka yang telah melarikan diri dari orang
Portugis. Agaknya ia telah meminang salah seorang putri Sultan Mahmud Syah.
(Melalui pernikahan dengan putri seorang sultan, anak "bajak laut" ini telah menjadi
seorang yang sangat disegani).

Sekitar pergantian tahun 1512-1513, dilaksanakanlah serangan terhadap Malaka,
yang berakhir dengan hancurnya armada laut dari Jawa. Dari seluruh angkatan laut




gabungan bandar-bandar Jawa Tengah dan Palembang yang kembali hanya 10 kapal
jung dan 10 kapal barang. Menurut Pires, Pate Unus telah memerintahkan supaya
sebuah kapal perang jung besar berlapis baja, yang sebenarnya dapat
diselamatkannya, didamparkan di pantai Jepara dan dibiarkan di situ, sebagai kenang-
kenangan akan perang yang telah dilancarkannya "terhadap bangsa yang paling gagah
berani di dunia".

Dapatlah dimengerti bahwa para penulis bangsa Portugis banyak menaruh
perhatian terhadap perang merebut Malaka, yang pada abad ke-16 akan menjadi kubu
pertahanan kuat bagi Portugis di Asia Tenggara. Perhatian itu juga ditujukan terhadap
laksamana armada yang masih muda dan gagah berani dari Jepara, yang ingin
merebut kota yang baru saja mereka taklukkan itu. Namun, sesudah episode ini, nama
Pate Unus hampir tidak disebut-sebut lagi dalam karya-karya tulisan Portugis. Pigafetta,
seorang Italia yang bekerja sebagai juru mudi dalam armada Magelhaens, menulis
seakan-akan lawan orang Portugis di Malaka adalah seorang raja Majapahit (!), yang
telah meninggal sebelum tahun 1522. (Pigafetta sendiri tidak pernah datang ke Jawa;
berita-berita yang didengarnya dari para pelaut di daerah-daerah Timur Jauh mungkin
saja banyak yang keliru dan tidak tepat).

Baik dalam cerita babad di Jawa Barat maupun yang di Jawa Timur dan Mataram,
nama Pate Unus tidak pernah disebut. Selain dari itu, baik Jepara maupun perang laut
melawan Malaka tidak dianggap penting dalam cerita babad Jawa selama perempat
pertama abad ke-16. Satu berita dari sumber Jawa, yang mungkin menyangkut episode
sejarah Jawa itu, ialah sebuah catatan pada tahun 1521 dalam Chronological Table
dalam History of Java (Raffles, History). Daftar tarikh kejadian itu berdasarkan buku
Babad Sangkala Jawa. Menurut catatan itu, konon pads tahun 1521 ada tiga orang raja
Jawa yang meninggal; tetapi sayang sekali, nama-nama dan kerajaan-kerajaannya
tidak disebutkan. Mungkin sekali Pate Unus adalah salah satu dari ketiga raja itu.

Mengingat bahwa, berdasarkan berita-berita para penulis Portugis, Pate Unus dari
Jepara adalah orang penting dalam sejarah Jawa, maka Rouffaer telah berusaha
menemukannya kembali dalam cerita tradisi Jawa. Malahan Rouffaer berani
mengajukan dugaan bahwa yang dimaksud dengan Pangeran Sabrang Lor dalam
cerita tradisi itu ialah raja Jepara yang oleh orang-orang Portugis diberi nama Pate
Unus. Menurut buku-buku cerita dan cerita babad dari Jawa Timur dan Mataram,
Pangeran Sabrang Lor ialah nama raja kedua di Demak. Dalam cerita tradisi Jawa
Barat ia dinamai Cu-Cu atau Sumangsang, dan dalam buku Pires, Suma Oriental, dan
buku-buku cerita Pangeran Sabrang Lor dan Pangeran Tranggana, raja ketiga di
Demak adalah kakak beradik.

Kesaksian musafir Portugis, yang sezaman dan mungkin telah pernah melihat baik
raja ketiga di Demak maupun raja Jepara, menimbulkan keberatan pada kami untuk
menerima bahwa Pate Rodin Sr. dan Pate Unus itu orang yang sama. (Rouffaer tidak




mengenal buku Suma Oriental ; waktu ia mengungkapkan dugaan tersebut). Memang
mungkin untuk menghubungkan nama Pangeran Sabrang Lor dalam Serat Kandha
dengan nama Pate Unus dalam cerita-cerita Portugis. Nama yang disebut pertama,
Pangeran "Sabrang-Lor" berarti: "dari seberang laut/ air, di sebelah utara"; menurut
orang-orang Portugis, kakek Pate Unus berasal dari Kalimantan Barat. Dengan kata-
kata "Seberang laut/air" mungkin juga dimaksud Kota Jepara, yang terletak di sebelah
utara Demak. Maka, hubungan antara nama Pangeran Sabrang-Lor tersebut dan Pate
Unus menjadi makin dekat.

Tidak ada yang penting yang dikisahkan cerita babad di Jawa Tengah tentang
Pangeran Sabrang-Lor. Tetapi cerita yang beredar di Jawa Barat mengisahkan
tindakan-tindakan Cu-Cu Sumangsang yang menurut orang-orang Portugis mungkin
dilakukan oleh Pate Unus atau ayahnya. Tindakan itu berupa perluasan kekuasaan ke
seberang laut (perlawatan-perlawatan Sumangsang ke Palembang) dan tindakan
kekerasan terhadap pemerintahan yang sudah lama berdiri (pembunuhan-pembunuhan
terhadap Lembu Sora dan Patih Jepara).

Mungkin sekali Tome Pires - yang hidup sezaman - cukup tepat menguraikan
peristiwa-peristiwa sampai kira-kira tahun 1515 dalam bukunya Suma Oriental. Tetapi
kelanjutan sejarahnya tidak dialaminya. Mungkin ia terlalu banyak menyoroti pribadi
Pate Unus, tokoh yang paling banyak dihubungi orang Portugis pada waktu itu. Dalam
cerita-cerita tradisi Jawa dari abad ke-17 dan ke-18, baik dari Jawa Timur dan Mataram
maupun dari Jawa Barat, telah terjadi kekacauan antara cerita-cerita mengenai raja-raja
Demak dan Jepara yang masih ada ikatan keluarga itu dan yang hidup dalam
dasawarsa-dasawarsa pertama abad ke-16. Rouffaer mengira, berdasarkan
pemberitaan Portugis, bahwa berkuasanya Pate Unus (dari Jepara) atas Demak
selama beberapa tahun itu masuk akal. Namun, cerita babad Jawa dari abad-abad
kemudian sama sekali melupakan pejuang muda yang gagah berani melawan
kekuasaan bangsa Portugis di Malaka. Ini mungkin juga disebabkan karena ia telah
meninggal dalam usia muda (dengan nama Pangeran Sabrang-Lor?).

Pertimbangan-pertimbangan yang dikemukakan dalam Bab-bab 11-2 sampai 11-6
mengarah kepada penyusunan daftar nama-nama penguasa pertama di Demak,
beserta tarikhnya, sebagai hipotesa kerja. Daftar ini dapat dibandingkan dengan daftar
nama, yang dikutip dari naskah-naskah Jawa dan Eropa, yang dicantumkan dalam Bab
11 - 2 .



1. Cikal-bakal dinasti, berkebangsaan asing ("Cina"), bernama Cek-Ko-Po, dalam
perempat terakhir abad ke-15.

2. Putra Cek-Ko-Po, bernama Cu-Cu, Sumangsang, dan Pate Rodin Sr. (blasteran
dari Badru'd-din atau Kamaru'd-din?), hidup sampai sekitar tahun 1504, semula




secara nominal masih di bawah kekuasaan seorang penguasa yang mewakili raja

Majapahit.

3. a. Anak (atau adik laki-laki) Cu-Cu, bernama Tranggana atau Ki Mas Palembang,
hidup hingga tahun 1546, menyatakan dirinya menjadi raja Islam dan sultan
yang berdaulat, la memperluas wilayah Demak ke barat dan ke timur, dan
menaklukkan ibu kota lama Majapahit (1527).

b. Ipar no. 3. a., raja Jepara, Pate Unus (Yunus?) atau diberi gelar Pangeran
Sabrang-Lor (?), melancarkan perang laut melawan orang-orang Portugis di
Malaka, dikalahkan (tahun 1512/1513); konon ia (agaknya) memerintah di
Demak mulai kira-kira tahun 1 51 8 hingga meninggalnya pada tahun 1 521 .

11-7 Raja-raja Demak sebagai pelindung agama Islam di Jawa Tengah

Bagian yang tertua dari Masjid Demak yang amat suci itu, yaitu pengimaman,
mungkin sudah dibangun pada perempat terakhir abad ke-15 (lihat Bab 1-7, dan catatan
no. 18). Jelaslah bahwa masjid tersebut telah meraih nama harum di Jawa Tengah
sebagai masjid agung dari kerajaan Islam yang pertama di negeri ini. Oleh sebab itu,
penting mengumpulkan keterangan yang menyangkut hubungan raja-raja Demak
dengan agama Islam dan golongan santri.

Jemaah beserta masjid yang mereka bangun sendiri merupakan permulaan
pengislaman Pulau Jawa.35 Jemaah ini diketahui oleh para imam, yang semula
mendapatkan kekuasaan dengan jalan memimpin salat wajib lima waktu. Kekuasaan
rohani para imam masjid ini sudah sejak zaman awal penyebaran agama Islam meluas
meliputi bidang kehidupan masyarakat: pada asasnya, agama Islam meluas meliputi
bidang kehidupan masyarakat: pada asasnya, agama Islam tidak mengakui adanya
perbedaan antara hal rohani dan hal duniawi. Suatu hal yang berarti, di Jawa para
imam masjid hampir selalu disebut "penghulu". Kata "penghulu" di tanah Melayu berarti
"kepala" pada umumnya, tanpa arti khusus di bidang rohani.

Dalam Hikayat Hasanuddin, sejarah singkat tentang raja-raja Banten, terdapat
suatu bagian yang seluruhnya mengisahkan kelima imam Masjid Demak. Pemberitaan
mereka dalam kronik Banten ini dapat dihubungkan dengan kenyataan bahwa
penyusunnya ternyata menaruh minat terhadap soal-soal kerohanian. Mungkin ia
sendiri termasuk kelompok santri. Dapatlah dimengerti jika baik Tome Pires, orang
Portugis itu, maupun penulis-penulis Belanda pada waktu-waktu kemudian, sedikit pun
tidak membuat catatan mengenai imam-imam masjid. Jadi, berita-berita Jawa tidak
dapat dibandingkan dengan berita-berita Barat. Kemungkinan pemberitaan-
pemberitaan tentang kelima imam Demak itu dapat dipercaya pada pokoknya



35 Sebelumnya telah dibicarakan (cat. 18) pusat-pusat kehidupan Islam lain sebagai pangkal penyebaran agama Islam ke
seluruh Jawa, yaitu sekolah-sekolah agama (pondok-pondok, pesantren-pesantren).



berdasarkan sifatnya sebagai kronik keluarga. Mungkin yang menjadi dasar
pemberitaan-pemberitaan tersebut ialah suatu silsilah tua yang autentik. Maka dari itu,
ada baiknya membicarakan berita-berita tentang imam-imam Demak dalam uraian
berikut ini sehubungan dengan sejarah dinasti Demak.

Imam pertama di Masjid Demak konon ialah Pangeran Bonang, putra Pangeran
Rahmat dari Ngampel Denta (Surabaya), la telah dipanggil oleh "Pangeran Ratu" di
Demak itu untuk memangku jabatan itu. Selang berapa lama ia telah meletakkan
jabatan itu untuk pergi, mula-mula ke Karang Kemuning, kemudian ke Bonang, dan
akhirnya ke Tuban; di tempat itu ia meninggal. Buku Sadjarah Dalem , suatu silsilah
raja-raja Mataram -Surakarta, menyusun urutan tempat kediaman tersebut secara lain:
Surabaya, Karang Kemuning, Tuban, Ngampel Denta, Demak, la juga diberi nama
Pangeran Makdum Ibrahim dan Sunan Wadat Anyakra Wati; menurut cerita ia hidup
membujang atau setidak-tidaknya tidak meninggalkan anak.36

Menurut Hikayat Hasanuddin, keempat imam Masjid Demak yang, berikut ini
semuanya masih berkerabat dengan putri Pangeran Rahmat dari Ngampel Denta, yang
diberi nama Nyai Gede Pancuran, sesuai dengan nama tempat tinggalnya yang
kemudian, la konon kawin dengan Pangeran Karang Kemuning, seorang alim ulama
dari "Atas Angin" dari Barat, mungkin orang Melayu atau orang yang berasal dari India
atau Arab, yang bernama Ibrahim. Karang Kemuning itu tempat kedudukan Aria Timur,
raja Jepara. "Pangeran Atas Angin" ini konon anak Pangeran Bonang. Pada akhir
hidupnya ia pergi ke Surabaya, tempat ia wafat dan dimakamkan di samping ayah
mertuanya, Pangeran Rahmat dari Ngampel Denta. Janda dan keluarganya pergi ke
Tuban, tempat tinggal saudaranya, Pangeran Bonang, la menetap di Pancuran. Sejak
itu ia diberi nama sesuai dengan tempat tersebut. Menurut cerita, ia mempunyai
mukjizat. Adipati Tuban pun sangat menghormatinya. Pada akhir hidupnya janda itu
kembali ke Surabaya, dan dimakamkan dekat ayah dan suaminya.

Menurut Hikayat Hasanuddin, imam kedua Masjid Demak ialah suami cucu Nyai
Gede Pancuran, la diberi nama Makdum Sampang. Ayahnya berasal dari Majapahit.
Makdum Sampang selama beberapa waktu tinggal di rumah ipar perempuannya, Nyai
Pembarep, juga cucu Nyai Gede Pancuran, dan janda Kalipah Husain, yang juga
seorang alim ulama dari "Sabrang". Konon, mereka bertempat tinggal di Undung (dekat
Kudus sekarang). Dari situ Makdum Sampang pindah berturut-turut ke Surabaya, ke
Tuban, dan ke Demak. Di tempat-tempat itu ia selalu memangku jabatan imam.
Kepergiannya dari Tuban itu disebabkan ia merasa sangat keberatan untuk bekerja di
bawah kekuasaan seorang adipati yang masih bersikap sebagai abdi maharaja
Majapahit yang "kafir" itu. Itulah sebabnya ia memenuhi panggilan "Pangeran Ratu"



36 Pangeran (atau Sunan) Bonang ialah satu di antara Sembilan Orang-orang Suci (Wali Songo), rasul-rasul dalam agama
Islam, yang telah dihormati oleh orang-orang beriman dari zaman lama di Jawa Tengah. Banyak legenda diceritakan
tentangnya (Pigeaud, Literature, jil. III, Indeks). Buku Sunan Bonang, secara tidak tepat oleh Dr. Schrieke (Schrieke, Bonang)-
dianggap sebagai karangan Sunan Bonang telah diterbitkan lagi oleh Dr. Drewes (Drewes, Admonitions).



Demak, untuk menjadi imam di masjid setempat. Setelah wafat dalam usia lanjut, konon
ia dimakamkan di sebelah barat masjid yang termasyhur itu.

Makdum Sampang sebagai imam diganti oleh anaknya, yang dalam Hikayat
Hasanuddin disebut Kiai Gedeng Pambayun ing Langgar. Tidak lama kemudian ia
bersama ibunya pindah ke Jepara, untuk menjadi imam di sana. Mereka berdua, dan
sesudah mereka juga beberapa sanak saudara lainnya, dimakamkan di sana, di
gunung keramat Danareja.37

Imam keempat Masjid Demak, menurut Hikayat Hasanuddin, konon seorang
saudara sepupu dari pihak ibu imam pendahulunya. Jelasnya: ia anak Nyai Pambarep,
yaitu ipar perempuan Makdum Sampang, la mendapat gelar Penghulu Rahmatullah dari
Undung. la dipanggil oleh adipati Sabrang Lor untuk memangku jabatan itu dan ia gugur
"dalam pertempuran", la dimakamkan dekat Masjid Demak, di samping pamannya
Makdum Sampang.38

Orang kelima pada daftar imam Masjid Demak yang disebut dalam Hikayat
Hasanuddin ialah orang yang mendapat julukan Pangeran Kudus, sesuai dengan
tempat tinggalnya kemudian, la juga terkenal dengan panggilan Pandita Rabani. Konon,
ia putra Pengulu Rahmatullah. Menurut hikayat ini, kiranya ia telah dipanggil oleh Syekh
Nurullah (yang kemudian akan menjadi Sunan Gunungjati dari Cirebon) untuk
memangku jabatan imam. Buku Sadjarah Dalem silsilah keturunan antara Sunan
Ngampel dan Sunan Kudus. Seharusnya ada lima keturunan, seperti yang disebutkan
oleh Hikayat ini. Sunan Kudus dianggap sebagai salah seorang moyang raja-raja
Mataram (menurut garis ibu).

Daftar lima imam Masjid Demak yang menurut Hikayat Hasanuddin telah
memangku jabatan selama pemerintahan tiga (atau empat) raja pertama kerajaan itu
(bandingkan Bab 11-6, akhir) adalah sebagai berikut.

1. Pangeran Bonang : sesudah tahun 1490 sampai tahun 1506/12 (?), dipanggil
oleh "ratu" Demak.

2. Makdum Sampang : tahun 1506/12 sampai kira-kira tahun 1515 (?), dipanggil
oleh "ratu" Demak.

3. Kiai Pambayun : ca. tahun 1515 sampai sebelum tahun 1521(7), pindah ke
Japara.



37 Memang kita tertarik untuk berkesimpulan bahwa pindahnya Imam Demak yang ketiga ke Jepara itu terjadi pada saat ketika
raja Jepara (mungkin Pate Unus menurut orang-orang Portugis, Adipati Sabrang Lor menurut ceritera tutur Jawa) mempunyai
kekuasaan juga di Demak. Karena raja itu meninggal pada tahun 1521, tentunya perpindahan itu terjadi sebelum tahun
tersebut.

38 Peperangan (melawan Majapahit) itu terjadi kira-kira pada tahun 1524 (chat Bab 11-10). Imam yang keempat ialah imam
pertama, yang diberi sebutan "pengulu", dengan istilah pinjaman dari bahasa Melayu yang sekarang lazim dipakai di Jawa.
Dapat diperkirakan, bahwa penggantian sebutan imam menjadi pengulu ini dapat dihubungkan dengan pergantian fungsi.
Dengan gelar pengulu itu mungkin raja hendak menambahkan bobot yang lebih nyata lagi pada kekuasaan sekuler yang
dimiliki kepala jemaah masjid. Rupanya Pengulu Rahmatullah memang benar-benar ikut bertempur di medan laga.
Rahmatullah agaknya merupakan nama anumerta: "Yang telah kembali ke Rahmat Allah".



4. Pengulu Rahmatullah : tahun 1524 (?) - ditetapkan oleh Syekh Nurullah,
yang kemudian menjadi Sunan Gunung jati.

Berdasarkan keterangan yang dikutip dari Hikayat Hasanuddin ini, dapat diambil
kesimpulan bahwa kedudukan imam-imam yang pertama itu amat tergantung pada
raja-raja Demak, pelindung mereka. Kemudian (mungkin waktu kekuasaan duniawi
mereka atas jemaah di sekitar Masjid makin bertambah besar) mereka bersikap agak
lebih bebas dan mempunyai hubungan dengan pemimpin-pemimpin rohani kota-kota
lain. Yang disebut paling akhir pada daftar kelima imam itu, menurut cerita tradisi Jawa,
memegang peranan penting dalam merebut kota raja Majapahit yang masih "kafir"
itu .39



11-8 Gelar Sultan Islam bagi Raja Demak yang ketiga; munculnya seorang

tokoh yang kemudian menjadi Sunan Gunungjati di Cirebon

Berita-berita Portugis yang sezaman mengenai kejadian ini sama sekali tidak ada.
Hal ini dapat dimengerti. Pemberitaan para penulis Portugis yang kemudian mengenai
Sunan Gunungjati (yang mereka beri nama Falatehan atau Tagaril) akan diuraikan
dalam sketsa sejarah Cirebon, dalam Bab VII. Dalam bab itu akan diceriterakan juga
tentang asal dan kehidupan orang yang "aneh" ini.

"Penobatan" raja Demak menjadi sultan itu diberitakan dalam Hikayat Hasanuddin
di Banten (hal. 169-170). Pangeran Bonang (pada tahun 1524?) kiranya telah
menggerakkan hati raja Demak untuk mengadakan kunjungan kepada Wali di Gunung
Jati, yang di dalam teks ini diberi nama Syekh Nurullah. Pada kesempatan ini Nurullah
menganugerahkan gelar dan nama Sultan Ahmad Abdu'l-Arifin kepada raja. Gelar
emperador (maharaja) yang oleh penulis Portugis, Mendez Pinto, diberikan kepada raja
Demak pada tahun 1546 itu merupakan pengungkapan betapa tinggi nilainya gelar
Islam itu.

Sebenarnya kunjungan raja Demak ke Cirebon dan ikut campurnya Pangeran
Bonang dalam perkara ini boleh dianggap kurang dapat dipercaya berdasarkan urutan
waktu (kronologi). Dapat dipahami bahwa Syekh Nurullah (yang kemudian menjadi
Sunan Gunungjati) datang di Demak dan mendapat pengaruh di kalangan keluarga raja
yang baru beberapa puluh tahun memeluk agama Islam. Menurut cerita Jawa, Syekh
Nurullah telah pergi ke Tanah Suci Mekkah; hal itu merupakan keistimewaan,
mengingat begitu buruknya perhubungan pada waktu itu. Kalau berita ini benar, di kota
suci itu ia tentu mendengar bahwa Sultan Turki, Sultan Salim I Akbar, pada tahun 1517



Pangeran Kudus ini dalam sejarah Jawa Tengah pada pertengahan pertama abad ke-16 telah memainkan peranan yang
cukup penting (lihat Bab 5). la juga termasuk Wali Songo, seperti sanak keluarganya yang lebih tua, yaitu Sunan Ngampel
Denta dan Sunan Bonang, yang dihormati oleh orang-orang beriman zaman lama di Jawa Tengah. Sudah jelas bahwa
Musyawarat orang-orang suci menurut cerita legenda ini, yang dihadiri oleh mereka semua, sukar kiranya dapat sungguh-
sungguh terjadi. Dugaan ini wajar, karena antara kedua tokoh historis Sunan Ngampel Denta dan Sunan Kudus terdapat jarak
waktu beberapa generasi (dari pertengahan abad ke-1 5 sampai dekade-dekade pertama abad ke-16).



telah merebut Mesir, dan mengangkat dirinya menjadi Khalifah. Meningkatnya
pemusatan kekuasaan dalam dunia Islam irii kiranya telah menyebabkan Syekh
Nurullah - setelah kembali di Nusantara, dan karena terpengaruh oleh internasionalisme
Islam - menganjurkan kepada raja Demak untuk bertingkah laku sebagai raja Islam
benar-benar. Gelar dan nama bahasa Arab itu kiranya dapat dianggap sebagai sahnya
niat untuk menjadikan Demak ibu kota kerajaan lslam.40

Bisa diduga bahwa masjid suci di Demak mendapat kedudukan yang penting dalam
rencana tersebut. Bukankah imam keempat itu, yang akan ikut bertempur dalam perang
melawan Majapahit yang masih "kafir", telah dipanggil oleh Syekh Nurullah dari
Sumatera itu (atau oleh pengaruhnya) untuk memangku jabatan "penghulu" (gelar
Melayu!) masyarakat Masjid Demak?



11-9 Hubungan antara kerajaan Islam Demak dan kerajaan kuno Majapahit yang
"kafir"; legenda dan sejarah

Berita Jawa tentang masa akhir kerajaan tua itu simpang siur dan berbau dongeng.
Berita tersebut terdapat dalam buku-buku cerita dan cerita babad dari abad ke-17 dan
ke-18, paling sedikit dua abad sesudah kejadian-kejadian itu berlangsung. Tidak bisa
diperoleh buku-buku sejarah Jawa, yang bersudut pandang "kafir", yang bertepatan
atau hampir bertepatan waktu dengan kejadiannya, yang dengan panjang lebar
mengisahkan peristiwa-peristiwa selama satu setengah abad terakhir berdirinya



40 Menurut cerita tutur yang bersifat sejarah tentang raja-raja Melayu ( Sajarah Melayu , Bab II), raja Malaka yang ketiga telah
menerima gelar dan nama Sultan Muhammad Shah dari Sayid Abdu'l Aziz dari Jedah. Tampilnya orang Arab terkemuka ini
dapat dibandingkan dengan apa yang dikisahkan oleh cerita tutur Jawa tentang Syekh Nuruddin dan raja Demak. Ada
keanehan bahwa menurut berita seorang Portugis (Barros, Da Asia), "Raja Jepara" telah merelakan dirinya "diislamkan" oleh
Palatehan. Ini mungkin dapat diartikan bahwa raja Demak telah diakui dan diumumkan sebagai sultan dan raja Islam yang
sebenarnya oleh Sunan Gunungjati.

Dalam sejarah dinasti Jawa yang lebih muda, diketahui bahwa beberapa raja telah meminta atau menerima bantuan atau
persetujuan ulama terkemuka guna memperoleh gelar sultan. Raja Pajang bersama dengan raja Demak diakui sebagai sultan
oleh Sunan Gunungjati. Cerita yang sukar dipercaya ini tercantum dalam riwayat singkat raja-raja Cirebon, yang pada tahun
1684 disusun oleh Panglima Jacob Couper (yang dapat berbahasa Jawa) untuk keperluan Pemerintah Tinggi di Betawi. Cerita
serupa itu telah dicantumkan oleh Ds. Valentijn dalam karyanya yang terkenal yang bersifat ensiklopedi itu (Valentijn, Oud en
Nieuw, jil. IV, hlm. 69). Antara pemerintahan raja Pajang dan pemerintahan Sultan Demak yang pertama terdapat jarak waktu
hampir setengah abad. Yang mungkin lebih besar kebenarannya ialah cerita (Meinsma, Babad, hlm. 121) bahwa raja Pajang
menerima gelar sultan itu (1581 M.) dari Sunan Giri (di Gresik). Yang dapat dipercaya pula ialah berita-berita bahwa Syerif di
Mekkah yang pada waktu itu memegang kekuasaan, pada tahun 1638 dengan perantaraan surat telah mengakui raja Banten
dan pada tahun 1641 mengakui raja Mataram sebagai sultan. Raja Mataram sejak itu disebut Sultan Agung. Diketahui juga
adanya kejadian-kejadian mengenai raja-raja atau para calon raja, yang minta bantuan tokoh-tokoh agama sebagai penengah
dalam perselisihan keluarga mereka. Sunan Giri tersebut di atas rupanya telah bertindak sebagai penengah antara raja
Surabaya dan Panembahan Senapati Mataram; Panembahan Senapati telah mendengar ramalan bahwa keturunannya akan
menjadi maharaja di seluruh Jawa. Dengan disaksikan oleh Panglima Couper tersebut di atas, pada tahun 1680, Sunan Giri
telah menolak permintaan bantuan Mangkurat II dari Mataram dan menjatuhkan pilihannya pada Pangeran Puger; dan
Pangeran Puger kemudian menjadi raja Mataram. Dalam hubungan ini Couper bahkan menganggapnya sebagai suatu
pengurapan 'menjadi raja'. Tetapi upacara serupa itu, seperti upacara naik tahta yang berlaku bagi raja-raja Eropa, sepanjang
diketahui orang, di Jawa tidak pernah dilakukan terhadap raja-raja Islam.
Akhirnya diketahui adanya surat Jawa dari tahun 1708 (terjemahan ke dalam bahasa Belanda terdapat dalam buku Bataviaas
Inkomend Briefboek, .1709, jil. VIII), yang menyatakan anggapan penulis surat itu tentang raja-raja Mataram dahulu, seolah-
olah mereka itu "ditetapkan sebagai raja oleh sahabat-sahabat Tuhan, para wali tua itu, dengan persetujuan dari Mekkah".
Kiranya dapat dipertimbangkan, apakah pengaruh yang cukup besar dari, para pemimpin rohani terhadap putusan-putusan
politik dan penggantian raja-raja Jawa ini merupakan sisa-sisa kekuasaan, yang dimiliki para pendeta brahmana maupun para
rohaniwan lain pada zaman Hindu di Jawa, (sebelum zaman Islam) untuk dapat bertindak terhadap kaum awam, bahkan juga
terhadap raja.



kerajaan "kafir" yang penghabisan di Jawa Timur (yang mungkin runtuh pada tahun
1527). Penutup kronik Jawa kuno, Pararaton, Kitab Raja-raja yang terdiri dari daftar
tahun peristiwa tak banyak memberi petunjuk. 41

Dalam bagian ini mengenai kerajaan Islam Demak cukup disebutkan bahwa buku-
buku cerita ( Serat Kandha) dan cerita babad yang kemudian bersifat Islam, selama
masa akhir berdirinya kerajaan "kafir" Majapahit menonjolkan beberapa tokoh dalam
suasana cerita legenda saja. Dalam cerita tutur Islam, raja-raja Majapahit bernama
Brawijaya; disebutkan adanya beberapa Brawijaya selama beberapa generasi 'berturut-
turut. Perdana Menteri Majapahit, patih raja, dalam legenda-legenda itu bernama Udara
atau Madura. Nama ini muncul juga dalam ceiita "Damarwulan" yang berasal dari
zaman permulaan Islam. 42

Yang lebih penting untuk kepastian sejarah ialah pemberitaan-pemberitaan musafir
Portugis, Tome Pires. Pada dasawarsa kedua abad ke-16, waktu ia mengunjungi Jawa,
kerajaan tua itu masih ada. Ibu kotanya dinamakan Dayo, dan rajanya diberi nama
Batara Vigiaja. Menurut Pires, raja ini tunduk pada Fiso-Rey a Capitam Mor. Guste Pate
yang dahulu juga dmamakan Pate Amdura atau Pate Andura. Guste pate ini ayah
mertua Raja dan juga ayah mertua Pate Madura. Anak laki-lakinya memerintah suatu
daerah, Gamda. Kakek Guste Pate dahulu sudah menjadi tokoh penting di Keraton
Majapahit.

Menurut Tome Pires, Guste Pate ini telah berkali-kali berperang melawan raja-raja
Islam di Jepara, Demak, dan Tidunang (Tedunan). Kemenangan orang-orang Islam dan
runtuhnya kota-raja yang tua itu, tidak dialami lagi oleh musafir Portugis itu; ia telah
meninggalkan Jawa. Nama-nama yang disebutnya dalam pemberitaan-pemberitaan
tentang kerajaan tua itu kebanyakan mudah dikenal. Batara Vigiaja itu sama dengan
Brawijaya dalam cerita tutur Jawa, dan Amdura adalah Udara atau Mahudara, patih
yang legendaris. Gamda, daerah yang dikuasai putra Guste Pate, kiranya dapat
dihubungkan dengan Gajah Mada, nama perdana menteri yang tersohor dari abad ke-
14. Gelar Guste dapat diartikan "gusti patih".43 Yang aneh ialah bahwa nama
Majapahit, dalam bentuk apa pun, tidak terdapat dalam buku Tome Pires, Surna
Oriental. Nama Dayo ialah satu-satunya nama yang dipakai untuk menyebut ibu kota
tua itu. Tetapi pemberitaan mengenai kerajaan tua itu, yang dimuat dalam buku



44 Mundurnya kekuasaan raja-raja Majapahit di Nusantara pada abad ke-15 merupakan pokok isi sebuah tinjauan ilmiah Dr. De
Graaf (Graaf, "Tome Pires").

42 Tentang Kisah Damarwulan, lihat cat. 9 sebelumnya. Ikhtisar singkat mengenai cerita-cerita legenda dalam pelbagai buku-
buku cerita dan cerita babad tentang raja-raja Brawijaya di Majapahit terdapat dalam Pigeaud, Literature , jil. III, di bawah kata
"Majapahit”.

43 Berita Tome Pires tentang Guste dan keluarganya serta daerahnya "Gamda" akan ditinjau lebih lanjut dalam Bab-bab 12-17,
yang membicarakan Jawa Timur.



Portugis tersebut, menutup segala kemungkinan timbulnya keraguan-keraguan: pasti
Majapahit yang harum namanya itulah yang dimaksud.44



11-10 Direbutnya kota kerajaan kuno Majapahit oleh orang Islam pada tahun

1527; legenda dan sejarah

Tidak mengherankan bahwa jatuhnya kota kerajaan tua yang "kafir" itu dianggap
sebagai titik batik dalam sejarah, menurut buku-buku cerita ( serat kandha) dan cerita
babad yang bersifat Islam, la merupakan permulaan zaman baru. Menurut cerita, tahun
kejadian peristiwa itu ialah tahun Jawa 1400 (tahun 1478 M.).45

Legenda-legenda Jawa mengenai direbutnya Majapahit oleh orang Islam dapat
dibagi menjadi dua kelompok:

1. Cerita-cerita yang menunjukkan segala pujian kepada "para alim" Islam, dan

terutama kepada para ulama dari Kudus.

2. Cerita-cerita yang menyanjung Raden Patah, raja Demak, sebagai pahlawan.

Yang sangat mengecewakan ialah tidak adanya berita-berita sezaman tulisan orang
Portugis yang dapat memberikan kejelasan pada peristiwa ini. Jadi, mau tak mau, kita
harus membandingkan cerita-cerita Jawa itu, satu dengan yang lain, untuk kemudian
mengambil kesimpulan yang dapat dipercaya tentang kejadian-kejadian yang
sebenarnya.

Cerita-cerita yang termasuk kelompok pertama itulah yang paling lengkap. Cerita-
cerita itu terdapat dalam buku-buku cerita Jawa Timur dan Jawa Tengah; boleh jadi ada
beberapa bagian di antaranya yang telah disusun pada abad ke-17. Dalam buku-buku
cerita ( serat kandha) itu tampak dengan jelas sekali peranan para sunan dari Kudus,



44 Mungkin keluarga raja Majapahit telah terpecah menjadi dua cabang pada abad ke-14. Satu cabang disebut dengan

mengingat akan Kediri, kota kerajaan lama, yang hampir seabad sebelum Majapahit sudah sangat penting kedudukannya.
Mungkin ibu kota Majapahit mempunyai bagian kota atau ''anak” kota tempat tinggal "Pangeran Kediri” hingga namanya
disesuaikan dengan nama pangeran itu (Pigeaud, Java, jil. IV, Bab 9). Adanya tempat "Daha" (= Kediri) di dekat kota lama
Majapahit dapat dibaca dalam suatu naskah Jawa Kuno yang memberitakan adanya jalur jalan antara Majapahit dan
Pasuruan yang melewati "Daha" (Berg, Traditie , hlm. 23). Kota Kediri sekarang, yang terletak agak jauh di sebelah barat
Majapahit, dan Pasuruan di sebelah timurnya. Dapat diperkirakan bahwa sekitar tahun 1500, yakni periode yang dibicarakan
oleh Tome Pires, kekuasaan keluarga raja cabang Kediri begitu besar, sehingga seluruh kota kerajaan itu disebut "Daha",
sesuai dengan nama keluarga raja itu; "Daha" berarti Kediri.

Tome Pires menamakan Pakuwan, kota Kerajaan Pajajaran di Jawa Barat, juga Dayo (lihat Bab VIII-1). Dayeuh ialah kata
Sunda, yang artinya ibu kota. Orang mungkin akan mencari-cari hubungan antara kata dayeuh ini dan nama kota Daha di
Jawa Timur. Suatu usaha yang patut dipuji untuk memantapkan pengetahuan kita tentang Majapahit pada akhir kejayaannya
telah dilakukan oleh Dr. Noorduyn dalam karangannya "Majapahit in the fifteenth Century" (Noorduyn, "Majapahit").

45 Mungkin sudah pada abad ke-17 di Jawa Tengah 14001. (1478 M.) telah diakui oleh para sarjana Jawa sebagai saat
runtuhnya Majapahit dengan maksud memenuhi keinginan agar terdapat tata tertib dalam sejarah negeri mereka. Menurut
pandangan mereka, pada 1400 J. Majapahit harus menyerahkan kedudukannya kepada Demak; pada 1500 J. Pajang
menyerahkan kedudukannya kepada Mataram; dan pada 1600 J. Mataram menyerahkan kedudukannya kepada Kartasura.
Keinginan akan perlunya tata tertib dalam sejarah ini ada hubungannya dengan perasaan akan adanya Ketertiban Agung
Alam Semesta, yang menjadi dasar jiwa keagamaan Jawa maupun pandangan falsafahnya. Menurut kenyataannya,
Majapahit masih tetap berdiri sampai dasawarsa ketiga abad ke-16. Prasasti bertanggal 1512 M, yang ada di bangunan sua di
Gunung Penanggungan (salah satu dari "gunung-gunung keramat" sekitar Majapahit), menunjukkan bahwa cara
penyembahan "kafir" tetap bertahan sampai pada abad ke-16 (Van Romondt, Penanggungan).



ayah dan anaknya, dalam pertempuran merebut kota kerajaan kuno Majapahit yang
"kafir" itu. Karena sangat panjangnya cerita-cerita itu dan karena pemberitaannya cukup
kongkret, maka cerita-cerita kelompok pertama itu tampaknya lebih dapat dipercaya
daripada kelompok kedua. Dalam sketsa sejarah Kudus yang dimuat pada Bab V buku
ini, cerita-cerita tutur mengenai perebutan Majapahit dan kepahlawanan para pejuang
suci agama Islam akan dibicarakan dengan agak mendalam.

Cerita-cerita yang tergolong kelompok kedua, dengan Raden Patah dari Demak
sebagai tokoh utama, dimuat dalam cerita babad dari Jawa Tengah, yang berisi
sejarah-sejarah keluarga raja Mataram. Cerita-ceritanya lebih ringkas daripada yang
termasuk kelompok pertama, dan bercorak legenda. Banyak perhatian ditujukan pada
pengaruh alam gaib. Menurut Meinsma (Meinsma, Babad, hal. 45, dst.) Brawijaya raja
Majapahit itu ayah Raden Patah, raja Demak. Brawijaya telah memperingatkan Raden
Patah akan kewajibannya untuk taat terhadap raja lewat Adipati Terung, saudara tiri
Raden Patah dari pihak ibu. Tetapi peringatan ini tidak berhasil. Adipati Terung malah
menggabungkan diri pada umat Islam, yang berkumpul di Bintara-Demak. Dari situ
mereka bersama-sama melakukan serangan terhadap Majapahit: penguasa-penguasa
di Madura, dan di Surabaya, Arya Teja dari Tuban dan Sunan Giri, dan juga wali-wali
(lainnya) dan kelompok-kelompok "orang alim" berbondong-bondong menggabungkan
diri. Tanpa menemui perlawanan yang berarti umat Islam mengepung kota Kerajaan
Majapahit; dan tanpa pertempuran Raden Patah dapat menggantikan kedudukan
ayahnya di singgasana kerajaan. Brawijaya wafat dan masuk surga. Sekembalinya di
Bintara-Demak, Sunan Ngampel Denta, yang tertua di antara para wali, menentukan
Raden Patah hendaknya menjadi penguasa seluruh Jawa sebagai pengganti ayahnya.
Tetapi Sunan Giri seharusnya memegang pimpinan tertinggi lebih dahulu selama 40
hari, masa interregnum untuk memusnahkan segala bekas kekafiran yang ditinggalkan.
Sebagai maharaja seluruh Jawa, raja Demak akan memperoleh nama Senapati Jimbun
Ngabdu'r-Rahman Panembahan Palembang Sayidin Panata' Gama.

Demikian menurut cerita babad; sifat yang mengarah kepada corak legendaris dan
dinasti pada cerita tersebut kentara sekali. Tetapi yang sangat menarik perhatian ialah
bahwa dalam cerita-cerita babad pun orang-orang alim Islam dan para imam
disebutkan sebagai pembantu yang giat dalam menghantam kubu pertahanan terakhir
"kekafiran". Hikayat Hasanuddin Banten, yang - kerap kali - sangat ringkas dalam
pemberitaannya mengenai pertempuran melawan Majapahit, juga menyebut raja
Demak sebagai seorang maulana Baghdad dan waliyu'liahi.

Apabila cerita-cerita Jawa mengenai jatuhnya Majapahit dibandingkan yang satu
dengan yang lain, bisa disimpulkan ada dua hal yang telah memungkinkan pengerahan
tenaga bersama yang besar dan hebat, yang mengakibatkan kekalahan angkatan
perang kerajaan "kafir" itu. Pertama, keimanan kelompok-kelompok alim ulama Islam,
yakni golongan menengah, dipimpin oleh para pemuka yang semula merupakan imam-




imam di masjid; kedua, cita-cita politis yang mengarah ke perluasan wilayah kekuasaan
dan kemerdekaan kerajaan-kerajaan Islam muda di Jawa Tengah. Masuk akal bahwa
Penguasa Islam di Demak tidak berniat bertempur melawan tuannya yang "kafir" itu
(yang mungkin pula tidak menghalang-halangi maksud itu) seandainya ia tidak dihasut
oleh para pemuka kelompok orang-orang alim. Raja-raja Demak sendiri berasal dari
kalangan orang alim. Para alim ulama di Kudus keturunan imam-imam atau penghulu-
penghulu dari Masjid Demak yang keramat itu.

Sejarah berjalan terus, dan di Jawa Tengah tampaknya kekuasaan para penghulu
dan alim ulama lainnya makin berkurang dibanding dengan para penguasa duniawi.
Maka dari itu, masuk akal kalau dalam abad ke-17 dan ke-18 pujian terhadap
kemenangan agama Islam atas Majapahit yang "kafir" itu hampir sepenuhnya
ditumpahkan kepada jasa pahlawan-raja yang legendaris, Raden Patah dari Demak.

Oleh karena keterangan yang lebih benar tidak ada, para sejarawan bangsa Eropa
(Raffles, Hageman, Veth) juga masih beranggapan bahwa benar tahun jatuhnya
Majapahit adalah tahun Jawa 1400 (1478 M.) atau mendekati kebenaran. Orang
mengira, jatuhnya Majapahit dan munculnya Demak mempunyai hubungan akibat yang
erat, sehingga kedua peristiwa secara kronologis terjadi dalam tahun yang sama.
Rouffaer ialah orang pertama yang berdasarkan perkiraan menetapkan jatuhnya
Majapahit pada abad ke-16, yaitu sekitar tahun 1520. Setelah Rouffaer itu, Krom
menjelaskan bahwa tahun itu pun masih terlalu dini.

Dalam laporan Portugis mengenai perjalanan ke Kepulauan Maluku yang disusun
oleh Loaisa pada tahun 1535 (Navarrete, Collecion, jil. II, hal. 245) diberitakan, bahwa
di Jawa terdapat baik raja-raja yang masih "kafir" maupun raja-raja yang sudah masuk
Islam. Yang terbesar di antaranya ialah raja Demak, yang terus-menerus memerangi
orang-orang Portugis. Dari pemberitaan itu dapat diambil kesimpulan bahwa pada
tahun 1535 Majapahit sudah tidak ada lagi, atau setidak-tidaknya bukan lagi merupakan
kekuasaan politik yang berarti.

Tahun kejadian yang paling mendekati kebenaran tentang jatuhnya kota kerajaan
tua itu ialah tahun 1527 M. Pada tahun itu atau sekitar tahun itulah Kediri konon jatuh.
Itu menurut daftar tahun kejadian Jawa ( Babad Sangkala), yang memberitakan
penaklukan daerah yang dilakukan oleh raja Demak. Di atas ini (Bab 11-10 dan cat. 40)
dinyatakan sebagai suatu kemungkinan bahwa dalam berita-berita sekitar tahun 1500,
yang dimaksud dengan Daha-Kediri itu mungkin Majapahit. Nama Majapahit tidak
dicantumkan dalam kronik tersebut, padahal jatuhnya kota tersebut semestinya tercatat
juga.

Tahun 1527 merupakan waktu yang semakin mendekati ketepatan, kalau hal
berikut dipertimbangkan. Pada tahun 1528 panglima perang Portugis di Malaka
menerima beberapa utusan raja Panarukan (di ujung timur Jawa), yang ingin
mengadakan perjanjian perdamaian dan persahabatan dengannya. (Barros, Da Asia,




Dekade IV, Buku I, Bab 17). Sudah lebih dari satu abad Panarukan merupakan daerah
taklukan Majapahit. Karena dalam berita ini tidak disebutkan adanya seorang maharaja,
dapat diambil kesimpulan bahwa Panarukan sudah menjadi merdeka, sebab Majapahit
telah direbut oleh orang Islam. Mungkin raja Panarukan (masih belum beragama)
bermaksud minta bantuan orang Portugis dalam menghadapi ancaman serangan dari
orang Islam di Jawa Tengah. (Serangan ini memang terjadi pada tahun 1546; raja
Demak gugur sebelum sampai di Panarukan, mungkin sebagai akibat peperangan itu).

Suatu cerita dari Madura yang menyatakan bahwa pada tahun Jawa 1450 (1528 M.)
keluarga raja Madura telah menganut agama Islam (lihat Bab XIII-2), juga sangat
menarik perhatian sehubungan dengan yang diuraikan di atas. Sesudah jatuhnya kota
kerajaan tua Majapahit itu, jalan untuk perluasan daerah Islam di Jawa Timur menjadi
terbuka.

Trangganalah yang menjadi raja Demak, waktu tercapai kemenangan gemilang
atas dunia "kekafiran". Sejak itu ia berhak menyebut dirinya raja Islam yang tidak perlu
lagi takluk kepada orang yang tidak beragama. Berita bahwa ia sebagai sultan telah
diakui oleh seorang tokoh utama Islam seperti Syekh Nurullah itu boleh dipercaya.

Dapat diterima bahwa dalam pikiran Sultan Tranggana dan kerabat Keraton Demak
pada bagian pertama abad ke-16 terdapat hubungan antara mencapai gelar Islam yang
tinggi itu, panggilan agama untuk memperluas daerah Islam, dan cita-cita dinasti untuk
mendapat pengakuan sebagai pengganti kedudukan raja-raja "kafir" Majapahit yang
sah, yang menguasai sebagian besar Jawa Timur dan Jawa Tengah.



11-11 Meluasnya daerah Raja Demak ke barat, Pasir

Berdasarkan cerita-cerita tutur Jawa dari Cirebon, lebih-lebih dari buku sejarah
Banten, dapat diambil kesimpulan bahwa ibu kota Islam Demak, telah menjadi titik tolak
perjuangan pada dasawarsa-dasawarsa pertama abad ke-16, untuk menyebarkan
agama Islam, bahasa, dan kebudayaan Jawa di sepanjang pantai utara Jawa Barat.
Tindakan Syekh Nurullah tersebut di atas yang kemudian diberi gelar Sunan
Gunungjati, dan juga tindakan anaknya, Hasanuddin, yang kelak menjadi raja Islam
pertama di Banten, ternyata sangat penting dalam usaha meluaskan daerah pengaruh
raja-raja Islam dari Demak ini. Dalam Bab VII dan VIII akan dilukiskan lahirnya kerajaan
kerajaan .Islam baru.

Cerita tutur Jawa tentang sejarah Lembah Serayu-Atas di Banyumas, yaitu Babad
Pasir (dalam Bab 11-5 sudah disinggung), mengisahkan bahwa putra dan pengganti raja
Islam pertama di Pasir, Senapati, Mangkubumi telah murtad. Maka, kekuasaan Demak-
Islam dipulihkan kembali dengan ekspedisi militer, yang dikirim Sultan Demak.
Pemimpin-pemimpin "kafir" yang bernama Carang Andul dan Binatang Karya (nama-
nama ini masih terus hidup dalam cerita-cerita rakyat setempat) gugur dalam



pertempuran melawan penyerbu-penyerbu itu, dan raja Pasir muda yang murtad itu lalu
melarikan diri ke Bocor (daerah Kebumen; di situ keturunannya kemudian mungkin
masih lama menjadi tuan tanah). Seorang anggota garis keturunan lain dari keluarga
raja itu diserahi kekuasaan pemerintahan di Pasir.

Agaknya besar kemungkinan bahwa cerita tutur itu mengisahkan sejarah dengan
tepat, mengingat adanya perincian keadaan setempat. Tindakan bersenjata yang
dilakukan oleh orang-orang Jawa Tengah, untuk memulihkan atau memantapkan
kekuasaan Sultan, dapat dianggap salah satu tindakan kekuasaan maharaja Islam itu,
seperti juga dilakukannya di Jawa Timur pada bagian pertama abad ke-16. Tetapi harus
diakui bahwa sifat kronologi sejarah Pasir ini tidak menentu. Babad Pasir ini suatu cerita
tutur yang berwujud legenda, tanpa tahun-tahun kejadian.46



11-12 Meluasnya daerah Raja Demak ke timur

Keterangan mengenai perluasan ini dapat dikutip dari daftar tahun peristiwa Jawa
{babad sangkala). Pemberitaan pada daftar ini sering terlalu ringkas, dan nama-nama
yang disebutkan di dalamnya kadang-kadang sukar ditempatkan dengan tepat. Hanya
dalam beberapa hal tahun-tahun kejadian dalam babad sangkala dapat dicocokkan
dengan membanding-bandingkannya dengan berita Portugis yang sezaman. Karena
tahun-tahun kejadian itu jika diperhatikan secara sendiri-sendiri bukannya tidak dapat
dipercaya, atau bukan rekaan belaka (dengan maksud-maksud tertentu), maka tahun-
tahun itu layak kita sebutkan di sini.47 Tahun-tahun kejadian dalam cerita-cerita babad
yang dicantumkan menurut tarikh Jawa-lslam dalam karangan ini dijadikan tarikh
Masehi semua.

Pertempuran untuk merebut kota kerajaan kuno, Majapahit, yang digambarkan
dalam Bab 11-10 (dan dalam Bab IV-1- sejarah Kudus -akan diuraikan lebih lanjut)
mungkin berlangsung dari tahun 1525 sampai tahun 1527. Dalam babad sangkala kota
kerajaan "kafir".yang’ kuno itu disebut "Kediri" (dan dalam buku Tome Pires disebut
"Dayo"); tetapi hampir tidak mungkin diragukan lagi bahwa yang dimaksudkan adalah
Majapahit, dekat Mojowarno sekarang ini.

Pada tahun 1527, kabarnya Tuban di Pantai Utara juga dikuasai tentara raja
Demak. Dalam Bab X akan dimuat sketsa sejarah bandar penting ini. Para penguasa di



46 Hampir 150 tahun kemudian, seorang petualang Islam dari Makassar, yang menamakan diri Raja Namrud, telah mendirikan
benteng di Slinga, dekat Purbolinggo di Banyumas, tempat ia mempertahankan diri selama beberapa waktu terhadap
serangan orang-orang Jawa dari Mataram dan serangan pasukan-pasukan Kompeni (VOC). Tempat ini diberi nama Mesir.
Nama ini mungkin, kecuali ada hubungannya dengan kefanatikan jiwa Islam Raja Namrud, juga telah berkaitan dengan Pasir,
kerajaan tua Banyumas asli, yang telah mempertahankan tradisi lama untuk menentang penjajahan orang-orang Jawa
Tengah, sejak zaman Demak (riwayat Yang Dipertuan di Bocor), zaman Pajang (ekspedisi terhadap Wirasaba di Banyumas);
lihat: Graaf, "Kadjoran".

47 Dalam karangan De Graaf (Graaf, "Tome Pires") keterangan-keterangan dari babad-babad sangkala Jawa dan berita-berita
Portugis telah kita banding-bandingkan sebaik mungkin.



Tuban, sekalipun sudah beralih ke agama Islam, agaknya sampai saat terakhir masih
bersahabat dengan maharaja "kafir" itu.

Pada tahun 1528 Wirasari sudah diduduki. Letak tempat ini tidak diketahui dengan
pasti (lihat Bab 111-4, Ki Mas Sari, adipati Demak).

Pada tahun 1529 raja Demak bersama tentaranya menyerang Gagelang. Gagelang
ini boleh disamakan dengan Madiun sekarang.

Pada tahun 1530 Mendangkungan sudah diduduki. Nama ini mengingatkan kita
pada nama Mendang Kamulan, di Blora, yaitu suatu tempat yang dalam cerita-cerita
mitos Jawa Tengah sering disebut sebagai tempat asal keturunan raja-raja Jawa
purba.48

Pada tahun 1531 Surabaya tunduk pada kekuasaan maharaja. Ngampel Denta,
dewasa ini termasuk wilayah Kota Surabaya, pada tahun 1531 itu telah lama beragama
Islam.

Pada tahun 1535 Pasuruan telah direbut atau diduduki.

Pada tahun 1541 dan 1542 para penguasa di Lamongan (di sebelah barat Gresik),
Blitar, dan Wirasaba (di daerah aliran Sungai Brantas) telah mengakui kekuasaan
maharaja.

Pada tahun 1543 gunung keramat Penanggungan di sebelah timur Majapahit telah
diduduki atau direbut. Ada petunjuk-petunjuk (berdasarkan sisa-sisa bangunan yang
telah ditemukan) bahwa beberapa kelompok orang religius di lereng-lereng gunung,
sampai abad ke-16, masih melakukan kebaktian "kafir" (lihat cat. 41).

Pada tahun 1544 konon Mamenang telah direbut. Mamenang adalah nama kuno
untuk Kerajaan Kediri di daerah aliran Brantas tengah. Nama Desa Menang, dekat Kota
Kediri sekarang, mengingatkan kita pada hal itu.

Pada tahun 1545 Sengguruh telah tunduk pada kekuasaan maharaja. Sengguruh
adalah nama daerah di bagian hulu Sungai Brantas; di daerah inilah terletak Kota
Malang sekarang. Salah satu bagian Kota Malang sekarang masih bernama
Sengguruh. Menurut cerita tutur Jawa, di Sengguruh inilah terjadi pertempuran terakhir
melawan tentara Islam oleh para pengikut atau keluarga patih Majapahit yang terakhir
yang belum masuk Islam. Mengenai soal ini terdapat kesesuaian antara buku-buku
cerita ( serat kandha ), Babad sangkala dan cerita tutur Jawa (juga yang lokal).49



48 Dalam Pigeaud, Literature (jil. III, di bawah kata "Medang" dan "Mendang") disebutkan segala bahan keterangan yang ada
dalam buku-buku cerita Jawa yang berkaitan dengan tanah asal menurut mitos. Mendangkungan juga merupakan nama wuku
yang ke-20 ( wuku adalah minggu yang mempunyai 7 hari; satu "tahun" Jawa terdiri dari 30 wuku). Tentang arti nama-nama 30
minggu/wuku itu belum ada keterangan memadai. Ada kemungkinan arti nama-nama tersebut ada hubungannya dengan
siklus pertumbuhan padi dan mitos padi.

49 Legenda-legenda tentang Sengguruh dan Gribig telah tercatat dalam naskah Jawa, Codex LOr no. 3035, (Pigeaud, Literature,
jil. III, Indeks; lihat juga Bab XI-4 dan cat. 186).



Pada tahun 1546, menurut babad sangkala , terjadi pertempuran merebut
Blambangan. Pada tahun 1546 Sultan Tranggana dari Demak gugur, mungkin akibat
kegagalan dalam operasi militer melawan Panarukan. Blambangan ialah nama daerah
di ujung timur Jawa sejak zaman Majapahit berabad-abad sesudahnya.

Pemberitaan dalam daftar tahun peristiwa Jawa, yang tampaknya bukan tidak dapat
dipercaya, dalam beberapa hal masih bisa ditambah dengan cerita-cerita babad. Dalam
Babad Tanah Djawi (Meinsma, Babad, hal. 187) diceritakan, bahwa Jaka Tingkir
(seorang prajurit yang mengabdi raja Demak, yang kemudian menjadi raja Pajang)
telah mengangkat Pangeran Timur, putra raja Demak, sebagai bupati di Madiun. Hal itu
dapat memberi petunjuk bahwa antara Demak dan Madiun ada hubungan. Menurut
cerita setempat, di Setana (dekat Ngrambe) para bupati Ponorogo itu keturunan Batara
Katong dan Kiai Watu Aji, yang makamnya berada di tempat itu dikelilingi oleh makam-
makam keturunan mereka. Mungkin kedua moyang ini dahulu panglima Demak, yang
dikirim ke Madiun untuk menundukkan para kiai agung "kafir" di daerah itu pada
kekuasaan maharaja Islam. 50

Yang kurang penting bagi sejarawan, yang mencari peristiwa-peristiwa yang serba
pasti, ialah cerita-cerita dalam Babad Kadhiri, yang (menurut penulisnya)
menggambarkan gagalnya usaha Sunan Bonang untuk mengislamkan Kediri. 51 Dalam
melakukan serangan terhadap "kaum jahiliah" dan melancarkan dakwah Islam, Sunan
Bonang berpangkalan di Singkal, suatu tempat di tepi Sungai Brantas. Pada tahun 1 678
para pemimpin laskar Belanda-Jawa, yang melancarkan serangan terhadap
"pemberontak" Trunajaya, telah menemukan masjid di Singkal, yang mereka gunakan
sebagai gudang mesiu. Rupanya, masjid tersebut merupakan bangunan batu yang
cukup besar. Adanya masjid yang cukup penting di Singkal pada abad ke-17
menyebabkan legenda yang mengisahkan tempat itu sebagai pusat propaganda agama
Islam pada permulaan abad ke-16 menjadi agak lebih dapat dipercaya.52

Pada paruh pertama abad ke-16 Madura juga sudah digabungkan pada daerah
Islam. Sketsa sejarah Madura pada abad ke-16 dan ke-17 akan menyusul dalam Bab
XIII.

Dapat dimengerti bahwa, sesudah kota kerajaan kuno Majapahit direbut, maharaja
Islam di Demak ingin menguasai Jawa Timur dan ujung timur Jawa, yang sejak dahulu
merupakan daerah-daerah terpenting dalam kerajaan itu. Menurut daftar tahun
peristiwa Jawa {babad sangkala), dalam hal ini agaknya Sultan Demak hampir berhasil
secara tuntas. Blambangan, bagian Jawa yang paling timur, masih tetap bertahan dan
melawan.



50 Legenda-legenda dari Madiun telah dicatat oleh J.D.V. (J.D.V., "Madioen" dan oleh Adam (Adam, "Madioen").

51 Apa yang disebut "Babad Kadhiri" telah dibicarakan oleh Prof. Drewes (Drewes, "Struggle").

52 Ekspedisi (gabungan) Belanda-Jawa terhadap Kediri pada tahun 1678 merupakan pokok-isi buku De expeditie van Anthonio
Hurdf(Graaf, Hurdt ).



Perlu dicatat di sini bahwa cerita tutur Jawa ini tidak sedikit pun menyinggung soal
direbutnya atau didudukinya Gresik-Giri. Mungkin sekali tempat tinggal Sunan Giri yang
suci itu sangat dihormati, jadi tidak diserang; bukankah moyang keluarga raja-raja Islam
yang berasal dari Cina itu, telah datang dari Gresik ke Demak? Dalam Bab XI nanti
akan dilukiskan sejarah Gresik-Giri.



11-13 Kekuasaan Raja Islam di Demak di daerah seberang laut pada paruh

pertama abad ke-16

Menetapnya orang-orang Portugis di Malaka pada tahun 1511 dan kekalahan
perang di laut yang diderita oleh angkatan laut Jepara pada tahun 1512-1513, telah
merugikan kekuasaan raja-raja di kota-kota pantai Jawa terhadap daerah-daerah
seberang di Sumatera dan Kalimantan; begitulah perkiraan orang. Sungguh
mengecewakan bahwa sampai sekarang sedikit saja dapat ditemukan berita-berita
yang jelas, yang menyangkut sejarah zaman tersebut. Tetapi, mungkin juga pada abad
ke-16 hubungan antara Jawa Timur dan Palembang masih tetap berlangsung, dalam
bentuk seperti yang telah ada pada zaman maharaja-maharaja "kafir" di Majapahit. Bab
XVIII buku ini membahas sejarah Palembang.

Mengenai hubungan antara Demak dan pantai selatan Kalimantan, Kronik
Banjarmasin mempunyai cerita-cerita legendaris yang pantas diberitakan di sini.53
Menurut cerita tutur Banjar, kekuasaan maharaja Islam di Demak telah tertanam di
Banjarmasin dengan kekuatan tentara yang untuk keperluan itu telah dikirim
berdasarkan permintaan salah seorang calon pengganti raja. Mereka datang untuk
bertindak sebagai penengah dalam sengketa dalam kalangan keluarga raja. Calon
pewaris mahkota yang didukung oleh rakyat Jawa masuk agama Islam. Kemudian, dari
seorang ulama bangsa Arab ia menerima nama Islam. Selama maharaja Islam masih
hidup, raja Banjar ini setiap tahun mengirim seorang utusan membawa upeti. Waktu
kekuasaan beralih ke tangan raja Pajang di Jawa Tengah, penghormatan itu dihentikan.

Besar kemungkinan cerita tutur Banjar ini benar. Kuatnya pengaruh kebudayaan
Pesisir Jawa Tengah yang tertanam di Kalimantan Selatan terbukti antara lain dari
ungkapan-ungkapan setempat yang banyak bercampur dengan bahasa Jawa, dan juga
dari seni panggung rakyat setempat.54 Hubungan laut antara Banjar dan pantai utara
Jawa sepanjang tahun dapat dilangsungkan dengan kapal layar, baik di musim
kemarau maupun di musim hujan. Selama di bandar-bandar di pantai utara Jawa masih



53 Hikayat ini dibicarakan oleh Cense (Cause, Bandjarmasin), dan kemudian diterbitkan dan diterjemahkan lengkap oleh Ras
(Ras, Bandjar).

54 Bukti pengaruh kebudayaan Jawa di Kalimantan Selatan jelas ternyata dari tulisan-tulisan dalam bahasa Jawa pada balok-
balok kayu yang menjadi bagian dari suatu gedung di Martapura, tempat kediaman seorang raja Banjar. Tulisan-tulisan
prasasti tersebut (Cohen Stuart, "Martapura") ternyata merupakan baris-baris sajak (tembang) dari Kisah Islam Ahmad
Muhammad dalam bahasa Jawa Pesisir (Pigeaud, Literature , jil. I, hlm. 225).



terdapat kekuasaan Islam yang kuat, orang Jawa tanpa banyak kesulitan dapat
memperlihatkan pengaruhnya di daerah Seberang.



11-14 Campur tangan Raja Demak di Jawa Tengah sebelah selatan pada paruh

pertama abad ke-16, Tembayat dan Pengging

Baik daftar tahun peristiwa Jawa maupun buku sejarah lainnya tidak ada yang
mengungkapkan tindakan kekerasan maharaja Demak terhadap daerah-daerah yang
berdekatan yaitu Pajang, Pengging, dan Mataram, daerah-daerah yang dalam buku ini
tercakup dalam satu nama: Jawa Tengah sebelah selatan Pegunungan Merapi-
Merbabu.

Pada abad ke-17 daerah-daerah itu masuk Kerajaan Mataram dan kemudian
daerah-daerah ini disebut De Vorstenlanden (Daerah Raja-Raja Jawa Tengah).
Perkembangan politik Pajang dan Mataram akan diuraikan dalam Bab XIX dan XX
berikut ini.

Diislamkannya daerah-daerah ini merupakan pokok dalam legenda-legenda orang
suci Islam, yang tokoh utamanya ialah Wali Tembayat. Tembayat ini letaknya di
sebelah selatan Klaten. Makamnya yang ada di situ menjadi tempat ziarah bagi orang-
orang saleh di daerah-daerah sekitarnya. Sunan Tembayat atau Ki Pandan arang,
begitulah nama julukannya, tidak termasuk para Wali Sanga yang menurut legenda
mengadakan musyawarah di Masjid Demak yang keramat itu. Kota-kota yang
diperkirakan menjadi tempat tinggal Sembilan Wali itu, atau tempat mereka meninggal,
hampir tanpa kecuali, terletak di daerah Pesisir. Meskipun begitu, berdasarkan
pentingnya Tembayat sebagai tempat ziarah - sudah sejak abad ke-17 - dapat diakui
bahwa legenda tersebut mempunyai inti kebenaran.55 Tahun-tahun peristiwa Jawa,
yang diukir pada batu-batu bangunan beberapa gedung di tempat permakaman
keramat itu, menunjukkan bahwa pada tahun 1566 raja Pajang, Adiwijaya, dan pada
tahun 1633 Sultan Agung dari Mataram, telah memberikan sumbangan untuk
memperluas dan memperindah Tembayat.

Menurut legenda suci (yang di sini hanya disebutkan beberapa bagian saja) tokoh
yang kemudian menjadi Sunan Tembayat itu termasuk keturunan para bupati
Semarang (yang pada abad ke-15 dan ke-16 belum begitu penting sebagai kota
pelabuhan, belum seperti sesudah mengambil alih kedudukan Jepara). Dari pihak
ibunya ia masih mempunyai hubungan keluarga dengan Keraton Demak. Karena
terpengaruh oleh seorang suci (disebut-sebut nama Sunan Kalijaga), ia konon telah
mengundurkan diri dari dunia ramai, dengan maksud bersama istrinya
menyelenggarakan hidup berkelana mencari kebenaran. Sesudah mengalami



55 Legenda-legenda tentang Ki Pandan Arang, yaitu Sunan Tembayat atau Bayat, telah diuraikan oleh Dr. Rinkes (Rinkes,
"Heiligen”); lihat juga Pigeaud, Literature, jil. III, di bawah 'Tembayat”.



petualangan, ia bekerja pada seorang wanita pedagang beras, di Wedi (dekat Klaten).
Akhirnya, karena ia terus-menerus merasa lebih tertarik pada kehidupan rohani, ia lalu
menetap di dekat Tembayat sebagai "guru". Daerah pegunungan yang gersang itu, di
tepi pegunungan kapur yang memanjang sejalan dengan pantai selatan Jawa, agaknya
telah dihubung-hubungkannya dengan Jabal Kat, suatu pegunungan pada perbatasan
bumi permukiman manusia, yang disebut dalam legenda-legenda Islam ( Jabal Qaf). Di
Tembayat, konon orang suci ini masih hidup 25 tahun dan berjuang menyebarkan
agama sebelum ia meninggal. Menurut buku-buku cerita Jawa, yang dikutip oleh
Rinkes, orang yang kelak menjadi Sunan Tembayat itu, pada tahun 1512 menyerahkan
pimpinan pemerintahan Semarang kepada adik laki-lakinya, agar ia sendiri dapat
membaktikan seluruh hidupnya demi kepentingan agama.

Sedikit kepastian tentang kebenaran cerita-cerita tutur Jawa ini dapat ditemukan
dalam pemberitaan Tome Pires mengenai Pate Mamet, penguasa di Semarang, yaitu
ayah mertua Pate Rodin Jr., raja Demak. Itu membuktikan bahwa keturunan-keturunan
yang memerintah di Demak dan Semarang memang mempunyai hubungan keluarga,
cerita tutur tentang Sunan Tembayat yang berasal dari Semarang itu sudah ada pada
abad ke-17; hal itu diberitakan dalam surat yang ditulis pada tahun 1677 oleh seorang
panembahan dari Kajoran (keturunan ulama-ulama yang masih kerabat keturunan
Tembayat). 56

Perlu diperhatikan bahwa dalam cerita tutur Jawa tidak disinggung-singgung
adanya bantuan maharaja Islam di Demak kepada sanak keluarganya yang telah
bersusah payah menyebarkan agama Islam di pedalaman sebelah selatan. Menurut
satu cerita Jawa, raja Demak bahkan mengungkapkan rasa tidak senangnya, karena
orang suci baru itu telah bertindak mengambil kekuasaan sendiri. Oleh karena hal itulah
Sunan Tembayat lalu membangun masjidnya di tempat yang letaknya lebih rendah
daripada yang direncanakan semula. Tidak adanya simpati raja Demak terhadap
kerabatnya itu agak aneh apabila orang ingat akan cerita Banyumas mengenai masuk
Islamnya raja Pasir (lihat Bab 11-11) dengan perantaraan seorang ustad, Syekh Makdum
yang telah diutus oleh raja itu.57

Menurut cerita tutur Jawa, yang tertulis dalam buku-buku cerita dan cerita babad,
daerah di sebelah selatan dan tenggara Gunung Merapi pada abad ke-15 dan



56 Surat dari Panembahan telah dibicarakan dalam Graaf, "Kadjoran".

57 Legenda-legenda tentang Sunan Tembayat tidak memberitakan sesuatu tentang hubungan macam apa pun antara dia dan
penguasa-penguasa daerah atau dengan raja-raja di tanah pedalaman di sebelah selatan. Dapat diperkirakan bahwa pada
paruh pertama abad ke-16 daerah tempat Sunan Tembayat bekerja tidak mempunyai arti ekonomi yang penting. Karena itu,
daerah ini tidak mendapat perhatian dari penguasa daerah (seperti penguasa-penguasa di Pengging, Tingkir, Butuh, dan
Ngerang; lihat Bab XIX-4 dan cat. 309), dan juga tidak dari maharaja di Demak. Sangat besar kemungkinan, Jawa Tengah
sebelah selatan, setelah mengalami zaman kemajuan besar pada abad-abad sekitar tahun 1000, kemudian mundur di bidang
ekonomi dan politik karena hal-hal yang belum dapat diketahui dengan jelas. Mungkin Panembahan Mataram yang datang
kemudian dapat dianggap sebagai perintis, yang membangun kembali perkampungan-perkampungan di daerah-daerah yang
lama tidak lagi didiami orang, sehingga akhirnya menjadi daerah yang makmur. Sebaliknya, menurut cerita tutur Banyumas,
raja di Pasir yang telah rela diislamkan berasal dari keturunan penguasa setempat yang amat disegani dan telah lama sekali
berkuasa di daerah itu dan yang membanggakan diri karena nenek moyangnya berasal dari alam mitos.



permulaan abad ke-16 termasuk wilayah raja Pengging. Reruntuhan bangunan yang
ditemukan pada tahun 1941 di tempat yang sekarang masih bernama Pengging, dan
suatu makam yang dihormati - yakni makam Raja Andayaningrat - adalah bukti-bukti
bahwa cerita tutur ini benar.

Raja itu, yang menurut sejarah memang pernah ada; dalam cerita-cerita Jawa
Tengah diberi sifat-sifat seorang pahlawan mitis. Kemungkinan ia seorang bangsawan
Keraton yang kemudian menjadi menantu maharaja "yang tidak beragama" di
Majapahit.58 Dalam cerita-cerita, semua putranya mendapat nama muluk-muluk yang
dihubungkan dengan kata kebo (kerbau). Anaknya yang sulung, Kebo Kanigara, hidup
sebagai pendeta "kafir" di pegunungan dan mayatnya dibakar setelah ia meninggal.
Anaknya yang bungsu, Kebo Kenanga, menggantikan ayahnya sebagai raja Pengging.
la konon menjadi murid seorang wali yang sangat tersohor, yaitu Syekh Siti Jenar atau
Syekh Lemah Abang yang murtad. Menurut legenda-legenda orang suci, oleh Majelis
Wali Sanga di Masjid Demak Syekh Siti Jenar dijatuhi hukuman mati, dibakar sebagai
seorang penyebar ajaran yang menyalahi agama Islam. Karena Kebo Kenanga tetap
membangkang tidak mau datang memberikan penghormatan kepada maharaja Islam di
Demak, akhirnya ia dibunuh di Pengging oleh Sunan Kudus, yang diutus oleh maharaja
Demak untuk maksud itu. Penguasa-penguasa di Tingkir, Ngerang, dan Butuh - yang
sebelumnya bersekutu dengan Pengging - waktu melihat datangnya Sunan Kudus
bersama para pengikutnya dari Demak, menyatakan tunduk kepada maharaja Islam di
Demak.

Sayang, tidak ada berita-berita yang dapat dianggap lebih obyektif (misalnya dari
penulis-penulis Portugis atau Belanda), yang dapat dipandang sebagai penegas isi
cerita-cerita Jawa yang bersifat legenda itu. Jadi, hanya kemungkinan yang terdapat
dalam cerita itu dapat dipertimbangkan. Lepas dari latar belakangnya yang berbau
mitos, tampaknya tidaklah mustahil bahwa sekitar tahun 1500 Pengging bukan lagi
kerajaan yang tidak berarti di pedalaman, yang raja-rajanya merasa mempunyai ikatan
dengan zaman Jahiliah melalui hubungan tradisi dan keluarga. Tindakan Sunan Kudus
sebagai pendekar yang mempertahankan kemurnian agama Islam ini sesuai dengan
apa yang diberitakan dalam cerita-cerita lain mengenai para penguasa di Kudus.
Namun, mengherankan juga bahwa penaklukan Pengging itu tidak dicantumkan
sebagai kemenangan maharaja Demak dalam daftar tahun kejadian.



11-15 Pertempuran di ujung timur Pulau Jawa pada tahun 1546 dan wafatnya
Sultan Tranggana, sultan Demak



58 Keterangan-keterangan mengenai tokoh-tokoh legenda, yang tampil dalam cerita-cerita Jawa tentang Pengging dan Pajang
dapat dicari melalui Indeks dalam Pigeaud, Literature. Lihat juga ikhtisar sejarah Pajang dalam Bab XIX buku ini, dan catatan-
catatan 300-310.



Sesudah jatuhnya kota kerajaan tua Majapahit pada tahun 1527, demikian
perkiraan kita, para raja taklukan maharaja "kafir" yang ada di ujung timur Jawa-lah
yang paling lama bertahan melawan kekuasaan Islam yang terus mendesak itu. Cerita
tutur Jawa yang mengisahkan bahwa Brawijaya yang terakhir di Majapahit, sesudah
kehilangan ibu kotanya menyingkir ke timur, agaknya banyak mengandung kebenaran.
Demikian pula besar kemungkinan bahwa perlawanan penduduk Jawa Timur yang
"kafir" melawan ekspansionisme umat Islam Jawa Tengah mendapat bantuan dari Bali
yang berdekatan letaknya.

Sejak abad ke-14, di bagian paling timur dari ujung timur Jawa terdapat dua ibu
kota; Panarukan dan Blambangan.59 Boleh jadi Blambangan itu semula nama daerah
di sebelah selatan Pegunungan Ijen, yang sekarang sesuai dengan ibu kotanya
dinamakan Banyuwangi. Panarukan, di pantai utara, konon suatu bandar yang cukup
penting. Dapat dimengerti bahwa maharaja Islam di Demak ingin menyempurnakan
penaklukan kerajaan "kafir" yang sudah tua itu dengan menduduki ujung timur Jawa
juga.

Menurut daftar tarikh Jawa, perang terjadi pada tahun 1968 J. (1546 M.), bahkan
dalam tahun itu petebutan Blambangan berhasil. Tetapi wafatnya Sultan tidak
diberitakan dalam daftar-daftar tahun peristiwa itu, dan juga tidak dalam buku-buku
cerita {serat kandha) dan cerita babad.60

Tetapi musafir Portugis, Fernandez Mendez Pinto, dalam bukunya (Pinto,
Peregrinagao, Bab 172, dan seterusnya) telah melukiskan secara romantis apa yang
telah terjadi menurut pandangannya, la bercerita tentang pertempuran besar di darat
dan suatu ekspedisi di laut oleh emperador Pangueyran dari Demak, ke Pasuruan,
yang terhenti karena Sultan terbunuh, sebelum kota itu dapat diduduki. Menurut dia,
tentara Jawa Tengah itu kemudian mundur. Di Demak terjadi pula pertempuran antara
para calon pengganti raja; dalam kekacauan itu Kota Demak hancur. Akhirnya terpilih
juga seorang raja baru, yakni Pate Sudayo, penguasa di Surabaya.

Cerita ini dalam berbagai hal perlu diragukan. Menurut daftar-daftar tarikh,
Pasuruan ini pada tahun 1535 sudah diduduki oleh tentara Demak. Boleh jadi nama
Pasuruan dan Panarukan telah dikelirukan oleh penulis Portugis itu. Jumlah prajurit dan
kapal perang yang luar biasa besarnya seperti yang diberitakannya, mustahil kiranya.



59 Panarukan dan Blambangan telah disebutkan dalam Nagara Kertagama (Pigeaud, Java, jil. V, Indeks; juga Bab XVI dan XVII
buku ini). Tempat-tempat tersebut telah disinggahi oleh pelaut-pelaut Eropa yang pertama datang mengunjungi Nusantara.
Baru pada tahun 1777 Blambangan kehilangan kemerdekaan untuk selamanya, waktu laskar gabungan Madura-Jawa Timur
dan Belanda mengusir orang-orang Bali dari Banyuwangi.

60 Dapat diperkirakan bahwa daftar-daftar tahun peristiwa Jawa dan buku-buku cerita Jawa, yang masih dapat kita manfaatkan
sekarang ini, sebenarnya hasil pengolahan apa yang dapat disebut catatan harian atau kronik keraton dari zaman Sultan
Agung sendiri. Ikhtisar tentang kejadian-kejadian penting ini tidak diteruskan lagi setelah raja meninggal karena waktu itu
mulai masa yang penuh kekacauan.



Mengenai raja Surabaya, yang menggantikan raja di Demak, tidak disebut-sebut dalam
cerita-cerita tutur Jawa.61

Namun, perlu juga diperhatikan bahwa, menurut daftar tahun peristiwa, perang di
ujung timur Jawa pada tahun 1546 merupakan peristiwa bersenjata yang terakhir bagi
Sultan Demak, dan sesudah tahun 1546 di Jawa Tengah memang mulai masa
kekacauan; terjadi perang saudara antara para penguasa. Walaupun ada kecurigaan
yang beralasan terhadap Fernandez Pinto yang penuh khayalan dan romantis itu (pada
tahun 1546 ia tidak ada di Jawa) masih juga dapat diakui bahwa ekspedisi ke ujung
timur Jawa itu karena suatu hal fatal bagi Sultan Tranggana sehingga ia meninggal
dalam pertempuran atau tidak lama sesudah itu. 62 Dengan itu berakhirlah usaha
perluasan kekuasaan pusat keislaman baru di Jawa Tengah itu terhadap semua daerah
yang sebelumnya mengakui raja Majapahit sebagai penguasa tertingginya.



11-16 Politik dan peradaban kerajaan Islam Demak pada abad ke-16

Pemberitaan-pemberitaan yang dapat dipercaya dan yang agak luas mengenai
sistem pemerintahan, para pejabat kerajaan, dan Keraton Demak dalam abad ke-16
boleh dikatakan tidak terdapat dalam karya-karya tulisan Jawa dan Portugis mengenai
zaman itu. Yang berikut ini berdasarkan beberapa catatan lepas, umumnya keterangan
tentang tokoh-tokoh yang agak berarti dalam pelbagai cerita dan selanjutnya
berdasarkan perkiraan belaka.

Menurut cerita tutur Jawa, yang dikuatkan dalam buku-buku cerita dan cerita babad
pada abad ke-17 dan abab-abad berikutnya, kerajaan Islam Demak merupakan lanjutan
Kerajaan Majapahit yang "kafir" itu. Dalam cerita-cerita selanjutnya (yang tidak dapat
dipercaya) Raden Patah, raja yang legendaris itu, bahkan dianggap seolah-olah putra
maharaja "kafir" yang terakhir. Ternyata bagi para penulis Jawa pada abad ke-17 dan
abad-abad sesudahnya, perbedaan agama (antara kafir dan Islam) tidak begitu penting
dibanding dengan kesesuaian dalam susunan pemerintahan. Padahal, penulis-penulis
ini orang-orang Islam; malahan mungkin banyak di antara mereka termasuk "golongan
orang alim". Karena itulah mereka banyak menaruh perhatian pada legenda-legenda
tentang orang suci.



61 Kekurangtelitian Peregrinacao (karya Pinto), hingga karenanya tidak dapat dipercaya, antara lain telah disoroti oleh Jacques
Boulenger ( Les Voyages, hlm. 29) dalam pendahuluan karyanya yang berupa terjemahan karangan Pinto (Pinto,
Peregrinacao) yang diperpendek; R.A. Kern (Kern, "Verbreiding") telah berhasil meyakinkan kita bahwa Pinto telah menukar
Panarukan dengan Pasuruan. Pembetulan kesalahan ini telah membuat laporan yang disusunnya tentang kejadian-kejadian
itu menjadi mudah dimengerti, sekalipun tidak sepenuhnya dapat diakui kebenarannya.

62 Di samping Masjid Demak, ditunjukkan tiga makam raja Demak, tanpa nama dan tanpa tahun. Ini sering terjadi pada makam-
makam tua. Satu makam yang lebih panjang dari lainnya, kiranya makam Raden Patah (Brumund, Indiana). Soedjana
Tirtakoesoema, yang sekitar tahun 1930 menjadi juru bahasa Jawa di Yogyakarta, telah mendengar bahwa makam Raden
Tranggana terdapat di dalam cungkup di makam itu; bukan di luar, bersama makam-makam tua. Pemberitaan-pemberitaan
para juru kunci mengenai makam-makam "keramat” sering kurang teliti; bagi mereka sifat kesucian keseluruhannya demikian
menonjol, sehingga perhatian mereka pada makam-makamnya satu demi satu kurang sekali.



Masuk akal sekali bahwa pendapat Jawa ini banyak benarnya. Raja-raja Jawa Islam
di kerajaan-kerajaan kecil sepanjang pantai utara Jawa telah bertahun-tahun hidup
sebagai raja taklukan - begitulah perkiraan orang - di bawah kekuasaan maharaja
"kafir", sebelum raja Demak merasa sebagai raja Islam merdeka dan memberontak
terhadap "kekafiran". Tidak diragukan lagi bahwa sudah sejak abad ke-14 orang-orang
Islam tidak asing lagi di kota Kerajaan Majapahit dan di bandar Bubat. Cerita-cerita
Jawa, yang memberitakan adanya "kunjungan menghadap raja" ke Keraton Majapahit
sebagai kewajiban tiap tahun, juga bagi raja-raja bawahan beragama Islam,
mengandung kebenaran juga. Dengan melakukan "kunjungan menghadap raja" secara
teratur itulah raja taklukan menyatakan kesetiaannya; sekaligus dengan jalan demikian
ia tetap menjalin hubungan dengan para pejabat Keraton Majapahit, terutama dengan
Patih. Waktu raja Demak menjadi raja Islam merdeka dan menjadi sultan, tidak ada
jalan lain baginya - begitu perkiraan orang - selain meniru tata cara yang sudah dikenal
baik dalam hal pemerintahan negara dan upacara keraton.63

Bahwa banyak bagian dari peradaban lama, sebelum zaman Islam telah diambil alih
oleh keraton-keraton Jawa Islam di Jawa Tengah, terbukti jelas sekali dari kesusastraan
Jawa pada zaman itu.64 Raja Demak Senapati Jimbun disebut sebagai penyusun suatu
himpunan undang-undang dan peraturan di bidang pelaksanaan hukum, yang diberi
nama Jawa Kuno: Salokantara. Naskah-naskah Jawa kuno tentang pemerintahan dan
pegawai-pegawai raja (Wadu Aji) ternyata telah dikenal juga dalam karangan-karangan
selanjutnya dalam versi Jawa Tengah. Keraton Demak dan keraton-keraton Islam abad
ke-16lainnya di Jawa Timur dan Jawa Tengah pasti telah mengetahui naskah-naskah
tersebut. Melalui perantaraan mereka, bahan itu telah dikenal di Jawa Tengah bagian
selatan pada abad ke-17 dan sesudahnya.

Di keraton-keraton Jawa, juga di zaman pra-lslam, patih raja menduduki tempat
yang penting. Beberapa cerita babad memuat penggambaran singkat mengenai para
patih raja-raja Demak (Meinsma, Babad, hal. 62). Mereka itu mungkin para penguasa di
Wana Salam (di selatan Demak, di tepi Sungai Tuntang), dan merupakan keturunan
seorang hamba setia dari moyang raja-raja yang datang dari "atas angin" (jadi, mungkin
seorang asing dari seberang lautan, seperti majikannya). 65 Dalam satu babad (Babad
Tanah Djawi, jil. III, hal. 14) Patih Demak diberi nama Mangkurat.



63 Kelestarian upacara-upacara di keraton kerajaan sejak zaman Majapahit pada abad ke-14, sampai pada abad ke-20 di
keraton-keraton Surakarta dan Yogyakarta, lebih-lebih yang berkenaan dengan "garebeg-garebeg" setengah tahunan, telah
dibicarakan oleh Dr. Pigeaud (Pigeaud, Java , jil. IV, "The Court”). Dapatlah diterima bahwa "garebeg-garebeg", dua upacara
besar Islam yang bertepatan dengan berakhirnya bulan Puasa dan peringatan hari kelahiran Nabi Muhammad, di keraton-
keraton disamakan saja dengan upacara-upacara setengah tahunan yang semula bersifat "kafir" dan yang pada abad ke-14 di
Majapahit sudah menjadi titik menentukan tiap tahun. Keraton Demak diduga menjadi tempat peralihan berlakunya upacara
setengah tahunan itu dari Majapahit ke keraton-keraton Jawa Tengah pada abad ke-17 dan sesudahnya.

64 Mengenai peralihan kesusastraan Jawa kuno ini ke dalam pustaka Islam di Pesisir dan kemudian ke dalam Pustaka Mataram,
telah dikemukakan ulasan-ulasan oleh Dr. Pigeaud (Pigeaud, Literature, jil. I, hal. 134 dan 158).

65 Dalam uraian mengenai ekspedisi Hurdt pada tahun 1678 (Graaf, Hurdt ) dikisahkan terjadinya pertemuan dengan seorang
"imam tua" dari Wana Salam, yang disebut Tuwan Bangbang. la terkenal karena kesuciannya. Ada kemungkinan bahwa ia



Di zaman pra-lslam, keluarga raja sebelumnya, sekelompok pemimpin rohani
terkemuka mengambil alih kedudukan di keraton dan dalam pemerintahan. Mereka itu
berkali-kali disebut, dengan gelar dan namanya, dalam kata pendahuluan amanat-
amanat raja yang ditulis pada lembaran kuningan, yang tersimpan sampai kini.
Beberapa di antara pemimpin rohani itu pernah menjadi hakim pada mahkamah agung
kerajaan; mereka disebut dharmadhyaksa dan kertopapath. Dalam kitab-kitab hukum
dari zaman Demak, misalnya Salokantara karangan Senapati Jimbun, mereka itu
disebut jeksa. Kata ini rupanya berasal dari dharmadhyaksa. Tentu raja-raja Islam di
Demak mengambil alih lembaga mahkamah agung kerajaan itu dari Majapahit "kafir"
pendahulu mereka. Pengadilan pradata, yang sampai akhir abad ke-19 terdapat di De
Vorstenlanden (Daerah Raja-Raja Jawa Tengah) sebagai mahkamah agung kerajaan,
dapat dipandang sebagai suatu lembaga yang berasal dari zaman pra-lslam.66

Dapat dimengerti bahwa di Demak para jeksa (yang tentunya beragama Islam,
seperti semua pegawai negeri lainnya) tidak mempunyai kekuasaan rohani yang sama
seperti para dharmadhyaksa "kaftr" di Majapahit; kekuasaan itu mereka punyai karena
memiliki pentahbisan dalam masyarakat Syiwa dan Budha. Dalam pemerintahan
negara Islam di Demak sudah seharusnya disediakan tempat bagi hukum Islam, yaitu
fiqh. Menurut teorinya, seharusnya fiqh itu di negara-negara Islam mempunyai
kedudukan tertinggi; tetapi umum mengetahui bahwa keadaan demikian itu boleh
dikatakan tidak pernah ada di mana pun. Di Jawa hukum adat dan hukum peradilan
yang bercorak "Hindu" masih bertahan di samping hukum Islam. Fiqh hanya terbatas
pada hukum perkawinan dan yang bersangkutan dengan itu. Juga segala perkara yang
dalam arti sempitnya termasuk bidang ibadat tentunya dikuasai oleh fiqh.

Sebagai ahli dan penegak hukum fiqh (= fakih) di Demak yang beragama Islam itu,
sudah tentu bertindak seorang kiai dari kalangan alim ulama. Jabatan pemangku
hukum syariat dan fungsi pemimpin masjid (imam), sudah sejak permulaan zaman
Islam di Jawa berhubungan erat. Gelar "pangulu" (kepala), yang sudah dipakai oleh
imam-imam di Demak, mungkin suatu bukti betapa besarnya kekuasaan yang mereka
peroleh, juga di bidang hukum. Mungkin sekali nama Sunan Kalijaga, yang menurut



berasal dari keturunan para patih Demak dan bahwa ia juru kunci makam-makam mereka. Sebelum zaman Islam, Bangbang
atau Wangbang itu suatu gelar bagi seorang terkemuka di bidang rohani.

M Para dharmadhyaksa pada piagam-piagam dalam bahasa Jawa kuno memakai nama-nama pelantikan Sanskerta dan di
samping itu juga nama-nama gelar yang aneh, yang asal dan artinya tidak diketahui. Yang menarik ialah beberapa nama gelar
yang tidak jelas itu masih juga terdapat dalam cerita-cerita zaman Islam. Jaba Leka ternyata disebutkan dalam cerita babad
Jawa Tengah (Meinsma, Babad, hlm. 66) sebagai wong tapa, orang di bidang keagamaan, dari Dukuh Cal Pitu di kaki
Gunung Lawu, dan berasal dari suatu keturunan Majapahit. Kiranya ia dahulu ayah Ki Mas Manca, yang mula-mula berguru
pada buyut di Banyubiru, kemudian menjadi pengikut dan kelak menjadi patih Jaka Tingkir, Sultan Pajang, dengan nama gelar
Tumenggung Mancanegara. Sejarah keluarga raja Pajang yang aneh dan bersifat legenda itu akan dibicarakan dalam Bab
XIX. Terus munculnya nama-nama gelar yang aneh dan serba, tidak jelas itu sampai zaman Islam menimbulkan dugaan
bahwa setidak-tidaknya beberapa di antaranya berakar pada latar belakang peradaban Jawa kuno asli (Pigeaud, Java, jil. IV,
hlm. 368: "Purwadigama"; dan hlm. 402: "Ferry Charter"). Hubungan yang dalam piagam Jawa kuno itu diletakkan antara
nama-nama gelar ini dan fungsi kehakiman para dharmadhyaksa kiranya dapat dijelaskan mungkin apabila kita menganggap
bahwa para pemakai nama-nama ini pada zaman kuno dahulu kiranya telah memangku jabatan-jabatan penting dalam
hubungan kesukuan tertentu. Pada zaman "penghinduan" tanah Jawa kiranya para pemangku jabatan "kuno asli" ini telah
dapat diintegrasikan dalam tata susunan rumah tangga, kerajaan dan tata susunan peradilannya.



legenda merupakan orang terpenting di antara para wali dan pemimpin majelis di
Masjid Demak yang suci itu, ada hubungannya dengan kata "kali"; dalam bahasa Arab
kadhi. Biasanya nama itu dianggap berasal dari sebuah sungai kecil, Kali Jaga, di
Cirebon. Di beberapa ibu kota (pernah di Pesisir) jabatan hakim kepala Islam (kali,
kadhi) tetap terpisah (atau dipisahkan) dari jabatan imam. Seperti halnya di Majapahit
"kafir", boleh jadi kekuatan militer raja-raja Demak sebagian besar berdasarkan para
prajurit yang terdiri dari para pemuda sukarela dari kalangan tuan tanah dan para petani
bebas.67 Legenda tentang Jaka Tingkir, yang kemudian menjadi raja di Pajang,
memperlihatkan bagaimana seorang pemuda dengan jalan masuk dinas pasukan
tentara di ibu kota, akhirnya mencapai pangkat tertinggi. Pasukan Tamtama, yang
dimasuki Jaka Tingkir, sudah ada di Keraton Majapahit, dan sampai abad ke-20 ini
masih tetap ada "prajurit Tamtama" di keraton raja-raja di Jawa Tengah, Surakarta dan
Yogyakarta. Tetap dipakainya nama kuno ini untuk suatu kelompok prajurit merupakan
salah satu contoh betapa kuat naluri orang Jawa untuk mempertahankan peninggalan
di bidang budaya.68

Pada zaman Demak kefanatikan orang-orang yang baru saja memeluk agama
Islam dan jiwa kepahlawanan tradisional umat Islam telah mendorong orang-orang
yang semula termasuk "masyarakat alim" -yaitu para perajin dan pedagang di
lingkungan masjid ibu kota dan desa - bergabung menjadi kelompok-kelompok
bersenjata dengan tujuan mempertahankan agama yang benar dan memperluas
daerah agama Islam. Dapat diakui bahwa itulah yang merupakan latar belakang
terbentuknya kelompok "penghulu bersenjata", seperti diberitakan dalam Serat Kandha
(hal. 337-339) dan dalam beberapa cerita babad. Pejuang-pejuang agama yang penuh
semangat itulah yang menurut cerita, di bawah pimpinan yang dipertuan di Kudus (ia
sendiri keturunan penghulu) telah secara aktif ikut serta dalam perang suci yang
menyebabkan jatuhnya ibu kota "kafir" Majapahit untuk selama-lamanya.69

Masuk akal jika ada dugaan bahwa kelompok pegawai keraton yang setengah
militer setengah religius itu (di keraton-keraton Jawa Tengah sejak abad ke-17 dikenal
dengan nama Suranata) adalah peninggalan suatu kelompok "orang-orang alim" yang



67 Organisasi ketentaraan raja-raja Jawa sebelum zaman Islam telah dibicarakan dalam Pigeaud, Java, jil. IV, "the Court", hlm.
532 dst.

68 Yang umum diketahui ialah bahwa (juga pada kebudayaan-kebudayaan lain) ilmu perang, yang erat hubungannya dengan
keraton, mempunyai sifat yang konvensional dan kolot.

69 Bukan tempatnya di sini untuk mengadakan tinjauan lebih lanjut terhadap gejala-gejala lokal dari fanatisme Islam, yang
mungkin sering terjadi sepanjang sejarah di Jawa. Gerakan Darul Islam masih jelas membekas dalam ingatan semua orang,
yang telah mengalami tahun-tahun huru-hara sesudah berakhirnya Perang Dunia Kedua. Pada umumnya pemerintah sah
raja-raja Jawa dan pemerintah di Betawi/Jakarta selalu berusaha segera mengakhiri gerakan-gerakan rakyat yang tidak
terkendalikan ini; yang merupakan bahaya bagi stabilitas politik. Tidak diketahui apakah raja-raja Demak juga telah merasa
terpaksa bertindak dengan kekerasan terhadap "penghulu-penghulu bersenjata" yang sebelum perang membantu mereka
dalam menjatuhkan Majapahit (lihat juga cat. 100).



dipersenjatai dan berasal dari golongan menengah di kota-kota. Mereka telah berhasil
merebut tempat yang paling dekat dengan raja.70

Pada paruh kedua abad ke-17, lama sesudah keluarga raja Demak terpaksa
menyerahkan segala kekuasaannya kepada raja-raja Mataram, kekuasaan di Demak
dipegang oleh seorang tumenggung Suranata. Hal itu antara lain tertulis dalam uraian
berbahasa Belanda tentang ekspedisi di bawah pimpinan Hurdt pada tahun 1678
(Graaf, Hurdt). Orang-orang Belanda mengira bahwa ia harus dipandang sebagai
"pangeran pewaris" (putra mahkota). Mungkin juga tumenggung itu mengambil
namanya dari Suranata, satu golongan prajurit yang telah ada pada zaman
gemilangnya Demak, seabad yang lalu. Nyatanya di Kudus juga terdapat sebuah
masjid kecil Suranata (lihat cat. 103) di dekat reruntuhan keraton dahulu. Dalam
Sadjarah Dalem, silsilah keturunan keluarga raja Mataram (Padmasoesastra, hal. 262)
disebutkan bahwa Ratu Podang, putri kedua Ratu Wandan (saudara perempuan Sultan
Agung di Mataram yang giat dan cerdas itu, dan kawin dengan Pangeran Pekik,
Pangeran Surabaya yang terakhir) telah dikawinkan dengan seorang tumenggung di
Mataram. Oleh seorang pamannya yang sangat berkuasa, yaitu Sultan Agung, ia
diangkat sebagai bupati di Demak dengan nama Tumenggung Suranata. Konon,
makamnya terletak di Kroya. Mungkin inilah orangnya, atau mungkin ayahnya yang
dimaksud dengan Tumenggung Suranata dari tahun 1678 (lihat juga Bab 111-4,
penutup).

Tentang susunan tempat kediaman raja-raja, keraton, dan pembangunan kota-kota
di Jawa dalam abad ke-16, hanya sedikit yang kita ketahui. Dapat diterima bahwa para
raja Islam di Demak, raja-raja sezamannya dan para pengganti mereka di kerajaan-
kerajaan Islam lainnya mengikuti contoh ibu kota kerajaan Majapahit yang terkenal itu.
Menurut cerita, ada bagian-bagian gedung yang dipindahkan dari Majapahit ke Demak
dan Kudus, dan ada seorang ahli bangunan Majapahit, Ki Sepet, yang bekerja untuk
raja-raja Demak dan Cirebon.

Tempat kediaman maharaja Majapahit dalam abad ke-14 dilukiskan dalam buku
Nagara Kertagama (Pigeaud, Java, jil. V, denah I dan II). Persamaan dalam pola dasar
antara tempat kediaman maharaja itu dan keraton-keraton dewasa ini di ibu kota
kerajaan-kerajaan Jawa Tengah bagian selatan, Surakarta dan Yogyakarta, memang
sangat mencolok. Persamaan itu membuat kita mengakui bahwa raja-raja Mataram
pada permulaan abad ke-17 telah mencontoh keraton-keraton Demak dan Pajang, yang
pada abad ke-16 telah dibangun menurut pola dasar Keraton Majapahit pada abad ke-
14 atau ke-15. Besar kemungkinan, perbandingan dan ukuran bagian-bagian gedung-
gedung itu telah berubah dalam waktu beberapa abad. Boleh jadi keraton-keraton di
Daerah Raja-Raja Jawa Tengah ( De Vorstentanden) itu lebih luas dari keraton-keraton



70 Mr. L.W.C van den Berg (Berg, "Geestelijkheid") telah melukiskan tempat para suranata di keraton-keraton Surakarta dan
Yogyakarta. Mereka mempunyai masjid sendiri, berdekatan dengan pusat kompleks keraton, dan (di Surakarta) mempunyai
penghulu sendiri. Van den Berg menamakan mereka ulama-ulama keraton. Lihat juga cat. 103.



sebelumnya. Sayang, kerusakan-kerusakan hebat yang diakibatkan oleh perang pada
abad-abad ke-17 dan ke-18, dan yang disebabkan pula oleh tata kota modern pada
abad ke-19, peninggalan tempat-tempat kediaman raja-raja di kota-kota Pesisir Jawa
hampir hilang sama sekali. Hanya penyelidikan tanah dan penggalian-penggalian oleh
dinas purbakala yang sanggup menampilkan pola dasarnya kembali.

Menurut uraian-uraian para pengunjung Portugis dan Belanda yang pertama,
kebanyakan kota-kota pelabuhan Jawa pada abad ke-16 dan pada permulaan abad ke-
17 diperkuat dengan kubu-kubu pertahanan, pagar-pagar bertiang atau tembok.
Demikian diceritakan tentang kota-kota Demak, Jepara, Cirebon, Banten, Pati, Tuban,
Sidayu, Gresik, Surabaya, Aros Baya, Wirasaba, dan Pasuruan. Sebagian dari kubu-
kubu itu baru dibuat sesudah pertengahan abad ke-16, atau diperbaiki dan diperluas.
Tidak ada petunjuk-petunjuk yang jelas bahwa pada abad ke-14, selama pemerintahan
raja-raja "kafir" di Majapahit, kota-kota di Jawa telah dikelilingi oleh kubu-kubu
pertahanan perang yang kuat. Jika pada abad ke-15, lebih-lebih pada abad ke-16,
terjadi pertambahan peralatan perang di Jawa, hal itu disebabkan mengendurnya
keamanan dan bertambahnya bahaya serangan dari pedalaman. Perlawanan orang-
orang alim dan raja-raja Islam melawan Majapahit, dan kekeruhan di Demak sesudah
meninggalnya Sultan Tranggana, mungkin telah menimbulkan kekacauan dan
bentrokan-bentrokan di semua wilayah. Tentang hal itu tidak ada berita yang sampai
kepada kita.

Bertambahnya bangunan-bangunan militer di Demak dan ibu kota lainnya di Jawa
pada abad ke-16, kecuali karena keperluan yang sangat mendesak, disebabkan juga
oleh pengaruh tradisi kepahlawanan Islam dan contoh-contoh yang dilihat di kota-kota
Islam di luar negeri. Mungkin juga golongan menengah Islam yang bertempat tinggal di
perkampungan sekitar masjid besar merasa perlu mengamankan kepentingan materi
mereka dan membantu Perlindungan Agama, yaitu raja, membangun kubu pertahanan
militer.71_

Peranan penting Masjid Demak sebagai pusat peribadatan kerajaan Islam pertama
di Jawa, dan kedudukannya di hati orang-orang beriman pada abad ke-16 dan
sesudahnya, telah dibicarakan lebih dahulu (Bab 1-7 dan 11-7). Terdapatnya jemaah
yang sangat berpengaruh dan dapat mengadakan hubungan dengan pusat-pusat Islam
internasional di luar negeri (di Tanah Suci, dan bila perlu, dengan Khalifat Turki)
mungkin merupakan hal yang membedakan pemerintahan negara Keraton Majapahit
"kafir" lama itu dengan Kesultanan Demak yang masih muda.

Bagian-bagian penting peradaban Jawa Islam yang sekarang, seperti wayang
orang, wayang topeng, gamelan, tembang macapat, dan pembuatan keris, kelihatannya



71 Dengan asumsi bahwa berita-berita tentang menetapnya orang-orang Cina Islam di kota-kola pelabuhan Jawa pada abad ke-
15 itu benar, dapat diperkirakan bahwa kota-kota besar di Cina merupakan contoh yang juga mendorong raja-raja Islam yang
pertama (yang mungkin mempunyai sepercik darah Cina juga) membuat tembok pengeliling kota.



sejak abad ke-17 oleh hikayat-hikayat kebudayaan Jawa dipandang sebagai hasil
penemuan para wali, orang-orang suci Islam, yang hidup sezaman dengan Kesultanan
(Demak). Cerita-cerita itu bahkan menganggap jenis-jenis wayang tertentu ada
kaitannya dengan beberapa orang suci, sebagai penemunya. Namun, pasti kesenian
tersebut sudah mendapat kedudukan penting dalam peradaban Jawa sebelum Islam,
kemungkinan berhubungan dengan ibadat. Pada waktu abad ke-15 dan ke-16 di
kebanyakan daerah di Jawa tata cara "kafir" harus diganti dengan upacara keagamaan
Islam, seni seperti wayang dan gamelan itu telah kehilangan sifat sakralnya. Sifatnya
lalu menjadi "sekuler". Sekularisasi dari yang dahulunya memiliki unsur-unsur "kafir"
merupakan awal perkembangan ungkapan seni yang terkenal di Jawa Islam dewasa ini.
Sejak abad ke-17, cerita-cerita Jawa berpendapat bahwa beralihnya Pulau Jawa ke
agama Islam adalah berkat semangat dakwah Islam para wali. Oleh karena
pengislaman itu membawa serta sekularisasi dalam kesenian, maka sekularisasi itu,
yaitu permulaan perkembangan kesenian Jawa "modern", untuk masa itu, merupakan
jasa orang-orang suci itu juga.

Sampai seberapa jauh ungkapan-ungkapan kesenian, seperti jenis-jenis wayang
dan tembang tertentu, dapat dikaitkan dengan para wali, seperti Sunan Kalijaga, Sunan
Kudus, dan Sunan Giri, masih perlu diselidiki kebenarannya. Pokoknya abad ke-16 itu
ternyata sangat penting bagi perkembangan seni Jawa Islam sekarang ini, yang lahir
dari contoh-contoh yang lebih tua, yang "kafir" dan sakral.72

Perkembangan sastra Jawa, yang pada waktu itu dikatakan "modern", juga
mendapat pengaruh dari proses sekularisasi karya-karya sastra yang dahulu keramat
dan sejarah suci dari zaman kuno. Peradaban , Pesisir", yang berpusat di bandar-
bandar pantai utara dan pantai timur Jawa, mungkin pada mulanya - pada abad ke-15 -
tidak semata-mata bersifat Islam. Tetapi kejayaannya pada abad ke-16 dan ke-17
dengan jelas menunjukkan hubungan dengan meluasnya agama lslam.73

Keruntuhan yang cepat dari Kesultanan Demak yang masih muda itu, dan kerajaan-
kerajaan lain sepanjang pantai utara Jawa pada abad ke-16 dan ke-17 beserta
muncuinya Kerajaan Mataram di pedalaman pada satu pihak, ditambah dengan
munculnya Betawi yang asing dan tidak-lslam itu pada pihak lain, menyebabkan cara
berpikir yang bersifat internasional dari kaum beragama dan para penguasa duniawi



72 Dalam kesusastraan Jawa Islam dapat ditunjukkan adanya hubungan antara para wali dan wayang. Di antara suluk-suluk itu,
yaitu nyanyian-nyanyian mistik Islam yang dianggap sebagai karya beberapa ulama dari abad ke-16, ada yang menempatkan
wayang dan dalangnya pada pusat perhatiannya (Pigeaud, Java, jil. III, hlm. 396, "Suluk II"). Persamaan nama (Suluk) antara
nyanyian-nyanyian mistik dan irama lagu dalang dalam pertunjukan wayang mungkin juga bukan tanpa arti. Suatu, persamaan
yang mengumpamakan Tuhan sebagai dalang yang menggerakkan boneka wayang sangat digemari untuk dipakai dalam
wejangan-wejangan mistik Jawa pada zaman dahulu. Cerita tutur Jawa, yang mengatakan bahwa para wali agaknya telah
memanfaatkan wayang agar agama Islam mudah merasuk ke dalam masyarakat Jawa, dengan demikian ternyata tidak
seaneh seperti kesan semula. Baiklah kita ajukan juga suatu cerita legenda, yang mengisahkan bahwa yang kelak menjadi
Sultan Pajang itu dilahirkan pada waktu di rumah ayahnya diadakan pertunjukan wayang-beber, dan bahwa ayah ini menjadi
penganut guru mistik heterodoks, yaitu Syekh Lemah Abang (hhat Bab XIX-4, dan cat. 309).

73 Perkembangan peradaban Pesisir di Jawa telah dibicarakan Dr. Pigeaud (Pigeaud, Literature, jil.l, hlm. 134 dst., dan hlm. 212
dst).



makin lama makin melemah di Jawa. Pada abad ke-18, di Jawa Tengah sebelah
selatan, lebih-lebih di Surakarta, mulai tampak kegiatan renaissance di bidang sastra
dan peradaban Jawa dari zaman sebelum Islam, yang sangat mengagung-agungkan
"zaman kuno" dan Majapahit yang "kafir" itu. Sejak itu sampai zaman modern ini,
"Majapahit" di Jawa, dan di Indonesia, merupakan tonggak keagungan ketatanegaraan
dan kebudayaan kuno. Kesultanan Islam di Demak, yang hanya sebentar mengalami
masa jayanya, dalam kenangan-kebudayaan orang-orang Jawa dari kalangan atas,
terdesak ke pojok.74



74 Renaissance di Surakarta dalam kesusastraan lama, yang telah berkembang pada abad ke-18, telah diuraikan Dr. Pigeaud
(Pigeaud, Literature, jil. I, hlm. 235).



Bab 3



Mundur dan Runtuhnya Kesultanan Demak pada
Pertengahan Abad ke-16



111-1 Sumber-sumber penulisan sejarah kehidupan raja-raja Demak yang

terakhir

Berita-berita Portugis yang menyangkut zaman ini, yang dimuat dalam buku
Peregrinacao karangan Mendez Pinto (Pinto, Peregrinacao ) dan satu dua pemberitaan
lain, agak ringkas atau tidak dapat dipercaya. Cerita babad dan buku-buku cerita Jawa
Tengah dalam paruh kedua abad ke-16, sesudah meninggalnya Sultan Tranggana
yang perkasa itu di Demak, mengisahkan sering terjadinya perang dinasti, yang
berakhir dengan munculnya Sultan Pajang. Para penulis Jawa di Keraton Mataram
pada abad ke-17 dan ke-18 menganggap masa pendek Kejayaan dinasti Pajang
sebagai masa peralihan dari zaman Demak ke zaman keluarga raja Jawa Tengah
bagian selatan.

Ada dua peninggalan silsilah keluarga raja di Demak, yang dapat memberi
gambaran yang jelas mengenai hubungan-hubungan kekeluargaan. Silsilah pertama
berdasarkan buku 'Cerita tentang keturunan raja di Jawa' {Verhaal wegens de afkomst
des konings van Java).. Silsilah ini tentu mula-mula disusun dalam bahasa Jawa oleh
atau atas perintah Pangeran Purbaya putra Sultan Agung dari Banten, waktu ia
terpaksa tinggal lama di Betawi (tahun 1684 sampai 1732). Karya tulis tersebut jatuh ke
tangan Joan van Hoorn yang kemudian menjadi gubernur jenderal (tahun 1704-1709).
Atas perintahnya tulisan itu diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda. Pada tahun 1867
tulisan itu □ sebagai warisan Joan van Hoorn □ dimasukkan dalam kumpulan naskah-
naskah tulisan Barat milik KLTLV (Hoorn, Notitien ). Naskah Jawa ini dari awal abad ke-
18 merupakan dasar bagi penyusunan silsilah berikut ini.

Anehnya, karya tulisan Jawa Barat ini tidak memberitakan apapun tentang adanya
hubungan kekeluargaan antara raja-raja Demak dan raja Pajang; sedangkan dalam
tambo Mataram ada keterangan tentang hubungan tersebut.




Silsilah kedua berdasarkan Hikayat Hasanuddin dari Banten (Edel, Hasanuddin)
cabang keturunan Demak yang ada di Banten ditambahkan di sini demi jelasnya
gambaran yang menyeluruh.




Jelaslah bahwa kedua silsilah dapat dibandingkan. Banyak tokoh yang disebutkan
di situ akan dibicarakan dalam bagian-bagian yang berikut ini.



111-2 Raja Demak keempat, Susuhunan Prawata, lagenda dan sejarah

Menurut Mendez Pinto (Pinto, Peregrinacao), meninggalnya Sultan Demak,
Tranggana, secara mendadak dalam ekspedisi melawan Pasuruan (Panarukan) di
ujung timur Jawa pada tahun 1546, telah mengakibatkan timbulnya kekacauan dan
pertempuran antara para calon pengganti raja. Ibu kota Demak hancur karenanya.
Pinto mengabarkan adanya pertempuran antara Yang Dipertuan di Cirebon dan
"Laksamana" di "Panarukan" (yang dimaksud tentunya Pasuruan). Kedelapan raja yang
berhak memilih raja baru (pengganti Sultan Tranggana) akhirnya mengambil keputusan
untuk meninggalkan Demak dan kembali saja. Pembesar-pembesar kerajaan yang
masih tinggal, tanpa setahu "kelompok delapan" itu, pergi ke Jepara; di situ Yang



Dipertuan di Surabaya, "Pate Sudayo", terpilih untuk mengisi jabatan sebagai Sultan
Demak. "Pate Sudayo" ini berkedudukan di "Pisammanes", yang jauhnya dua betas jam
perjalanan dari Demak. Dalam jangka waktu sembilan hari ia muncul di Demak dengan
membawa bala tentara yang sangat besar, la mulai memulihkan ketertiban dengan
menggunakan kekejaman dan pertumpahan darah. Pada waktu itulah Mendez
meninggalkan Jawa. Jadi, dalam bukunya Peregrinacao ia tidak memberitakan
bagaimana penggantian raja itu akhirnya dapat diatur.

Cerita-cerita penulis Portugis ini, yang secara mencolok dihiasi dengan pemberitaan
mengenai jumlah prajurit dan kapal yang luar biasa besarnya, sama sekali tidak
dikuatkan kebenarannya oleh cerita-cerita babad Jawa (tidak seperti pemberitaan-
pemberitaan Tome Pires, yang benar-benar dikuatkan oleh cerita-cerita babad Jawa).
Tidak mustahil kalau Mendez Pinto, seperti halnya mengenai Pasuruan dan Panarukan,
mengacaukan nama-nama geografis itu karena tidak mengenalnya. Mungkin seorang
penguasa dari Jawa Timur (Surabaya, Sidayu (?), Pasuruan), dalam kekacauan yang
terjadi sesudah meninggalnya Sultan Tranggana pada tahun 1546, telah berusaha
merebut kekuasaan di Demak (sehingga pusat kepentingan politik Jawa akan
berpindah lagi dari Jawa Tengah ke Jawa Timur). Tetapi ini tidak berhasil sama sekali.
Cerita-cerita Jawa tidak mengungkapkan hat ini. Tetapi pemberitaan Mendez Pinto
memang penting bahwa sebagai akibat kekacauan di Demak, wibawa Jepara - kota
pelabuhannya - secara politis naik, sehingga putusan yang penting telah ditetapkan di
situ. Sejarah Jepara akan dibicarakan dalam Bab VI.

Menurut semua cerita babad di Jawa Tengah, Sultan Tranggana di Demak diganti
oleh Susuhunan Prawata, yang diberi nama sesuai dengan nama gunang (Gunung
Prawata), tidak jauh dari ibu kota yang lama, yang menjadi tempat tinggalnya. Tempat
kediaman ini (dalam pengasingan sukarela), dan gelar Susuhunan yang dalam bentuk
singkatnya - Sunan - juga dipakai oleh orang-orang suci Islam seperti Kalijaga, memberi
petunjuk bahwa kekuasaan raja ini pertama-tama bersumber pada kewibawaannya
sebagai pelindung agama. Nama pribadi "Susuhunan dari Gunung" itu agaknya tidak
dikenal. Dalam Serat Kandha yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda
{Serat Kandha, hat. 439), mengenai dia diberitakan bahwa "volgens eijgen verkiezing
Priai Moenkim ofte eeti Heilige soesoehoenan van Prawata" (karena pilihannya
sendirilah ia telah menjadi Priayi Munkim atau Susuhunan Suci di Prawata).75 Masuk
akal bahwa selama masa pergolakan politik dan sesudahnya - yang mulai timbul di
Demak sesudah mangkatnya Sultan - kekuasaan rohani seorang keturunan tingkat



75 "Munkim" dapat dihubungkan dengan mukim, suatu istilah yang berasal dari bahasa Arab (muqim), yang menurut hukum
agama Islam (fiqih) berarti menetap/bertempat tinggal secara tetap (sebagai anggota jemaah masjid setempat). Kata itu di
Aceh biasa dipakai dalam bahasa resmi perkantoran untuk menunjukkan pengertian masyarakat-haminte teritorial (Snouck
Hurgronje, Achenese, jil. I, him. 80; Juynboll, Handleiding, hlm. 70). Menurut ilmu bahasa, kata mukim ada hubungannya
dengan kaum (kata Arab qawn), yang dalam bahasa Jawa biasa dipakai dalam arti "masyarakat alim", yang tinggal dekat
masjid. Di Jawa, dalam desa yang tidak ada masjidnya, kata "kaum " bahkan dapat berarti satu orang, yaitu "pejabat
keagamaan desa", yang mewakili golongan Islam dalam pemerintahan desa. Tetapi Sunan Prawata dalam beberapa teks
Jawa ternyata juga disebut Sunan Mukmin, yang berarti Orang Beriman yang Sejati (Arab: mu'min).



tinggi keluarga raja yang lama itu sajalah yang merupakan satu-satunya jaminan untuk
mengembalikan ketertiban dalam batas tertentu. Dapat diduga bahwa Susuhunan di
Prawata telah mencari dan mendapat juga bantuan dari "masyarakat orang alim", yang
telah menganggap Masjid Demak yang suci itu sebagai pusatnya, yaitu masjid yang
telah didirikan dan dikelola oleh keluarga raja Demak.

Daerah yang dijadikan tempat tinggal Susuhunan, yaitu Prawata, memang terkenal,
dan sudah sejak abad ke-1 9 diselidiki oleh sarjana-sarjana Belanda. Menurut salah satu
Serat Kandha (Codex LOr, No. 6379, jil. 9), konon, Prawata telah didirikan oleh Sultan
Tranggana sebagai taman sari, tempat menikmati kesegaran dan keindahan. 76

Silsilah-silsilah yang dicantumkan pada Bab 111-1 tidak menyebut Susuhunan
Prawata. Mungkin ia harus dianggap sama orangnya dengan putra kedua Sultan
Tranggana, yang dipanggil Pangeran Ratu (Sang Raja).

Pertempuran berdarah antara para calon pengganti raja, yang -katanya J
disaksikan sendiri oleh Mend6z Pinto, muncul dalam babac Jawa Tengah dalam bentuk
kisah mengenai serangkaian pembunuhan Menurut cerita-cerita babad dan buku-buku
cerita ( serat kandha) sesudah meninggalnya Sultan Tranggana, saudara laki-lakinya,
Pangeran Seda Lepen, telah dibunuh atas perintah Susuhunan Prawata. Abdi-abdi
pangeran tua itu kemudian membunuh orang yang telah mengakhiri nyawa majikannya
itu ( Babad Tanah Djawi, jil. IV, hal. 12 dan Serat Kandha, Codex LOr, No. 6379, jil. 9).
Seda Lepen meninggal d sungai adalah nama pangeran itu, yang diberikan sesudah ia
meninggal; pembunuhan itu agaknya dilakukan dekat jembatan sungai. Tidak
diberitakan alasan Susuhunan Prawata menyuruh membunuh pamannya. Dapatlah
diduga bahwa pamannya itu pun calon pengganti raja. Pada silsilah yang disajikan di



76 Uraian tentang Prawata terdapat dalam karangan Veth, "Nalezingen". Uraian itu berdasarkan pada penyelidikan J. Knebel,
kontrolir Kudus yang juga telah menyusun lampiran pada Rapporten mengenai daerah tersebut. Menurut Knebel, pada paruh
kedua abad ke-1 9 di Undakan, suatu desa dekat Prawata, beberapa orang kebayan (anggota pemerintah desa bawahan)
masih mempertahankan kebiasaan mengenakan kuluk (tutup kepala berbentuk kemcut), dengan tubuh bagian atas terbuka,
karena mereka menganggap dirinya sebagai abdi raja Demak. Brumund juga menguraikan lagi tentang Prawata (Brumund,
Hindoeisme). Di situ dilihatnya sebidang tanah yang oleh penduduk setempat disebut Sitinggil dan - dekat Garuda - kolam
berisi kura-kura besar-besar berwarna belang, yang diberi makan seperti binatang keramat. Kolam kura-kura dekat Garuda itu
juga pernah diberitakan oleh Domis (Domis, Aanteekeningen, bagian ke-3, hlm. 13), dan oleh Cornets de Groot Sr. (Comets
de Groot, "Grissee", hlm. 231), yang menamakan tempat itu Sendang Garuda atau Saniet. Sultan Demak rupanya berkali-kali
berziarah ke tempat tersebut.

Kesucian Prawata juga terbukti dari suatu kenyataan bahwa di situ pada tahun 1680, pada akhir perang pergantian
kekuasaan lima tahun di Jawa, telah terjadi pergolakan rakyat. Seorang wanita mengangkat dirinya sebagai "Ratu Tanah
Jawa" dan mengirim lima utusan yang mengenakan pakaian rohaniwan (papeclederen) datang pada panglima tentara
Belanda Couper untuk "memberi peringatan" kepadanya. Sunan Mangkurat II di Kartasura, setelah diberi tahu oleh Couper,
memberi perintah untuk membunuh "orang-orang gelandangan" itu dan menghancurkan "keraton baru di Prawata"
(Daghregister, berita bertanggal 11 November 1680).

Di Godong atau Gogodong, 7 atau 8 kilometer dari Prawata, terdapat gua dalam bukit batu karang yang mempunyai dua jalan
keluar, dan yang menurut cerita tutur juga dianggap keramat oleh Keraton Demak. Pada tahun 1678 Antonio Hurdt (Graaft,
Hurdr, hlm. 90), dalam ekspedisi dari Japara ke Kediri telah melewati Gogodong, dan ternyata "ada dua gua dalam batu
karang, yang bertemu di bagian dalam, keduanya cukup lebar dan dari sini mengalir air yang sangat jernih, yang berasal dari
pancuran mata air, dan yang diminum juga oleh Susuhunan dan opsiropsir kami". Diceritakan kapadanya bahwa "seorang
sultan dari Demak, yang sangat besar nafsunya untuk memerintah dan ingin menguasai pemerintahan di Majapahit, telah
bertapa di situ, madraga, empat puluh hari dengan berpuasa dan berdoa, agar dikuasainya seluruh wilayah Jawa." Menurut
Knebel (Rapporten) di dekat Prawata masih ada tempat-tempat "keramat" lagi, yang menurut cerita tutur dahulu pernah
ditempati Susuhunan yang dihormati itu. Di Kampung Swanagaran bahkan disimpan tempolong 'peludahan', yang dahulu
dipakai Susuhunan sebagai benda wasiat.



atas ini, Lepen (boleh jadi singkatat dari Seda Lepen) ialah kakak Pangeran Ratu (yang
boleh disamakan dengan Susuhunan Prawata), dan bukan pamannya. Tidak mudah
untuk menyimpulkan apa yang benar-benar telah terjadi. Serat Kandha (Codex LOr, No.
6379) menyebut yang terbunuh itu dengan nama: Pangeran Saba Kingking. Konon ia
ayah Aria Panangsang, yang pada gilirannya membalas dendam dengan pembunuhan
juga.77

Sama sekali tidak ada berita yang dimuat dalam babad Jawa mengenai
pemerintahan Susuhunan Prawata. Tetapi ada surat Portugis yang ditulis oleh Manuel
Pinto (bukan Fern. Mendtsz Pinto yang telah disebut di atas), ditujukan kepada Uskup
Besar di Goa, bertanggal 7 Desember 1548, dan dikirim dari Malaka. Ternyata
penulisnya singgah di Jawa dalam perjalanan pulang dari Sulawesi Selatan kembali ke
Barat, dan mengadakan pembicaraan dengan raja. Menurut tanggalnya, mungkin raja
itu Susuhunan Prawata.78

Manuel Pinto antara lain memberitakan, raja Jawa itu sedang berusaha
mengislamkan seluruh Pulau Jawa. Raja berkata, bila usaha ini berhasil, ia akan
menjadi segundo turco, maksudnya: menjadi sultan Turki yang kedua, setaraf dengan
Suleiman I, Sang Pencinta Kemewahan (1520-1566). la mengira akan dapat dengan
mudah menjatuhkan Malaka dengan menutup jalur-jalur pengiriman beras dari Jawa, la
berkata juga bahwa sedang mempertimbangkan untuk mengirimkan ekspedisi ke
Sulawesi Selatan dengan maksud menaklukkan dan mengislamkan daerah itu. Manuel
Pinto berusaha supaya raja membuang pikiran tersebut karena khawatir kalau-kalau
ekspedisi tentara Jawa akan merugikan Pastor Vicente Viegas yang pada waktu itu
juga sedang berusaha memperkenalkan agama Kristen di Sulawesi Selatan.

Dari berita-berita Manuel Pinto, dapat ditarik kesimpulan bahwa raja Jawa itu
mengetahui sedikit mengenai perkembangan politik di Eropa. Pada tahun 1547 Sultan
Suleiman I telah mengkonsolidasikan kedudukannya di daerah-daerah Hungaria
dengan mengadakan perjanjian dengan Kaisar Karel V. la seorang pahlawan agama
Islam. Dr.Crucq telah berusaha (Crucq, "Kanon", hal. 362) membuktikan bahwa pada
pertengahan abad ke-16 di Keraton Demak hidup seorang Portugis yang murtad,
berasal dari Algarvia (bagian Portugis yang paling selatan), terkenal dengan nama Coje
Geinal (mungkin saja Khoja Zainu'l-Abidin), yang kerjanya membuat meriam untuk raja.



77 Kisah romantis mengenai kematian raja Demak yang keempat telah dibicarakan oleh Brandes dalam suatu pembicaraan
tentang Aria Panangsang. Mengenai Ratu Kalinyamat dari Jepara, yang telah mengucapkan kaul untuk tetap tidak memakai
pakaian selama belum diadakan pembalasan terhadap pembunuh suaminya, yaitu Aria Panangsang, telah ditulis sebuah
karangan oleh Dr. D.A. Rinkes (Rinkes, Genoveva,). (Lihat Bab VI tentang Jepara).

78 Surat Portugis yang ditulis oleh Manuel Pinto telah diterbitkan oleh P. Delplace (Delplace, Selectae). Buku tersebut sebagian
diterjemahkan, dan sebagian lagi dijadikan ringkasan dalam tinjauan ilmiah C. Wessels (Wessels, "Wat staat"). Untuk studi
mengenai sejarah Demak tersebut digunakan salinan surat yang berada di perpustakaan Istana Ajuda di Lisabon.



Dapat ditarik kesimpulan bahwa orang inilah yang banyak memperluas pengetahuan
Keraton Demak tentang Eropa dan penyebaran agama Islam. 79

Boleh jadi raja Demak yang keempat ini telah menganggap dirinya penguasa yang
berhak penuh atas kerajaan Islam itu dan sebagai pelindung agama Islam, sedangkan
kekuasaan pemerintahan sebenarnya sudah beralih ke tangan orang lain. Pertumbuhan
kekuasaan raja-raja Islam yang setengah merdeka di Jawa Barat (Cirebon dan Banten)
dan di Jawa Timur (Surabaya dan Gresik-Giri) dimulai pada pertengahan abad ke-16;
begitulah anggapan orang. Agaknya Susuhunan Prawata tidak kuasa mengubah situasi
yang demikian itu. Sejarah kerajaan -kerajaan yang lebih kecil akan dibicarakan dalam
bab-bab berikut.

Tidak ada berita-berita Portugis atau berita-berita Eropa lain mengenai akhir
pemerintahan raja Demak ini. Sebaliknya, cerita-cerita dalam babad dan tambo Jawa
Tengah memuat cerita romantis tentang pembunuhan Susuhunan Prawata. Konon, ia
bersama istrinya telah dibunuh atas perintah atau oleh kemenakannya sendiri, Aria
Panangsang, sebagai balas dendam atas kematian ayah Aria Panangsang, yang
beberapa waktu sebelumnya dibunuh atas perintah Susuhunan Prawata. Aria
Panangsang ialah raja bawahan di Jipang-Panolan (letaknya cukup jauh di sebelah
timur Demak), la jugalah yang mengusahakan kematian Pangeran Kalinyamat, yang
karena perkawinan masih mempunyai hubungan keluarga dengan raja Demak. Bahkan
ia merencanakan pembunuhan terhadap Jaka Tingkir, yang kelak akan menjadi Sultan
Pajang. Janda Pangeran Kalinyamat yang terbunuh itu kelak banyak dikenal sebagai
Ratu Kalinyamat. Konon dengan tindakannya yang tepat telah dapat menggerakkan
hati Jaka Tingkir untuk memerangi Aria Panangsang dari Jipang dengan tentara
Pajangnya. Jipang ditundukkan, dan Aria Panangsang gugur. Demikianlah berakhir
keluarga raja Demak cabang Jipang, dan mulailah Pajang memegang kekuasaan
tunggal. Maka, berdirilah kerajaan pedalaman yang pertama di Jawa Tengah sebelah
selatan, yang kemudian berkembang menjadi kekuasaan politik besar selama berabad-
abad. Para penulis sejarah pada abad ke-17 dan ke-18 memandang Pajang sebagai
pelopor Kerajaan Mataram. Sejarah Jepara-Kalinyamat, sejarah Jipang-Panolan, dan
sejarah Pajang masing-masing akan dibicarakan dalam Bab-Bab VI, IX, dan XIX (lihat
juga cat. 73).

Sungguh suatu hal yang menarik perhatian bahwa silsilah yang berdasarkan
naskah-naskah Jawa Barat, seperti tercantum di atas (Bab 111-1), tidak memberikan
petunjuk-petunjuk yang jelas yang dapat menguatkan kebenaran cerita-cerita babad.
Pada silsilah itu terdapat satu orang pangeran Jipang, yang dikisahkan sebagai adik



79 Sejak permulaan abad ke-16, para raja di Nusantara sangat mendambakan memiliki meriam. Meriam-meriam itu, kecuali
dipakai sebagai senjata, juga dianggap sebagai tanda kekuasaan raja. Penelitian Crucq tentang asal meriam-meriam tua di
Jawa penting bagi penulisan sejarah (Crucq, "Kanon"). Sarjana-sarjana Jawa juga merasa tertarik pada asal meriam-meriam
tua itu (yang tentunya mempunyai nama panggilan masing-masing). Dalam beberapa cerita rakyat tentang sejarah lama
kerajaan-kerajaan Jawa yang bersifat legenda, meriam-meriam itu mempunyai kedudukan penting (Pigeaud, Literature, jil. III,
di bawah "Cannon"; jugacat.137).



laki-laki Pangeran Ratu, yang boleh dianggap sama dengan Susuhunan Prawata dalam
cerita babad di Jawa Tengah. Nama Aria Panangsang tidak terdapat dalam silsilah
tersebut. Kenyataan ini mendorong kita untuk berhati-hati sebelum gambaran keadaan
yang serba romantis dalam babad itu kita terima sebagai kebenaran historis.

Menurut Babad Giyanti (Yasadipura, Babad, jil. IV, hal. 43), baik Susuhunan
Prawata maupun musuhnya, Aria Panangsang, menemui ajalnya pada tahun 1549 M.
(tahun Jawa 1471). Tahun 1549 sebagai tahun kematian Susuhunan Prawata - raja
Demak yang keempat dan terakhir sebagai raja merdeka - tampaknya dapat dipercaya,
karena dua tahun kemudian Ratu Putri di Jepara, Ratu Kalinyamat, dengan kapal-
kapalnya telah ikut serta mengadakan ekspedisi penting melawan Malaka. Ini terbukti
dari berita-berita Portugis. Dapat dimengerti bahwa ia merasa aman pada waktu itu di
kotanya, Jepara, karena kemenangan sekutunya, Sultan Pajang, telah mengakhiri
kekalutan-kekalutan Demak di lingkungan dekatnya.

Pemerintahan pendek Susuhunan Prawata dari Demak (1546-1549) merupakan
antiklimaks terhadap masa kejayaan raja yang mendahulainya, Sultan Tranggana, yang
sebagai raja Islam telah memerintah sebagian besar Pulau Jawa. Jatuhnya kekuasaan
Demak sesudah tahun 1546 tampaknya tidak terlalu banyak mencemarkan wibawa-
religius masjid sucinya dan keturunan Sultan. Masjid tersebut dalam abad-abad
berikutnya masih menjadi pusat bagi orang-orang alim di Jawa Tengah, dan keturunan
raja-raja Demak masih lama diperlakukan dengan hormat dan rasa segan di keraton
raja-raja Jawa yang lain. Orang-orang Portugis - yang berjumpa dengan seorang
pangeran Demak di tempat pengasingannya di Keraton Banten - menghormati
pangeran itu sebagal wakil keturunan "kaisar-kaisar" di Jawa. Gelar Susuhunan dan
tempat tinggal di "gunung" (Prawata), yang kita ketahui dari raja merdeka yang terakhir,
dapat dianggap sebagai petunjuk bahwa waktu ia masih hidup pun wibawa religius
Demak lebih penting daripada kekuasaan politiknya.'80



80 Kapan mulai dipakainya gelar-gelar susuhunan, sunan, sinuhun, dan kasuhun belum dapat dipastikan. Gelar-gelar sinuhun
dan kasuhun terdapat dalam naskah-naskah yang tidak berasal dari kalangan Islam, sebagai gelar dari Kekuasaan Gaib, yang
berkuasa di Selatan, di Samudra (Pigeaud, Literature, jil. II, di bawah "Sinuhun", "Kasuhun"). Ini menjadi petunjuk bahwa kata-
kata ini dari zaman dahulu kala sudah berjiwa religius. Sunan telah menjadi gelar yang lazim diperuntukkan bagi Orang-orang
Suci di Jawa. Belum pasti apakah gelar susuhunan itu oleh raja Demak yang terakhir itu sendiri sudah dipakai. Jika belum,
alasannya mungkin kekuasaannya tidak cukup besar untuk memakai gelar itu. Pertimbangan ini juga berlaku bagi keturunan-
keturunannya yang menyebut dia sebagai Susuhunan Prawata.

Agak ganjil bahwa raja Mataram yang ketiga, yang terkenal sebagai Sultan Agung, sejak tahun 1624 memakai gelar
susuhunan, sebelum ia berhak memakai gelar sultan. Kebanyakan raja dari keluarga-raja Mataram di Jawa Tengah meniru
beliau dan menamakan diri susuhunan. Pembuatan "sitinggil" yaitu "tanah yang ditinggikan" (serambi yang lebih tinggi dari
tanah sekitarnya, tempat duduk raja), sebagai singgasana, agar pandangan raja dapat meliputi seluruh alun-alun keraton,
mungkin dapat dihubungkan dengan gelar susuhunan ini ("Yang Dijunjung Tinggi"; lihat Grad, Sultan Agung, hlm. 108-110,
dan hlm. 127-131).

Hal yang menarik perhatian juga ialah adanya kesesuaian nama gelar Susuhunan Prawata yang dipakai oleh raja Demak
terakhir yang "alim" dengan gelar Sunan Gunung Jati ("Orang Suci di Gunungjati") yang dipakai oleh cikal bakal keluarga raja
Cirebon, dan dengan gelar Sunan Giri ("Orang Suci di Gunung") yang dipakai "imam raja" di Giri-Gresik. Kiranya mustahil
kesesuaian ini bersifat kebetulan belaka. Lebih masuk akal perkiraan bahwa pada pertengahan abad ke-16 para penguasa
Islam, yang sejak waktu yang belum lama (tidak lebih dari satu abad) telah mencapai kebesaran dan kedudukan yang tinggi,
mulai beranggapan bahwa tempat tinggal atau istana kebesaran di atas tempat yang berketinggian itu sudah merupakan
kebiasaan dan berkaitan dengan kekuasaan mereka, yang berdasarkan agama itu. Peradaban Jawa sebelum zaman Islam
telah mengenal bangunan-bangunan keramat di atas gunung, candi-candi di lereng-lereng gunung bagi dewa-dewa, dan



Mungkin sekali pada pertengahan abad ke-16 perdagangan di laut sebagian besar
sudah pindah dari Demak ke Jepara, karena selat dangkal yang merupakan jalan
masuk ke Demak sudah tertutup oleh endapan lumpur. Pada paruh kedua abad ke-16
dan pada abad ke-17 Jepara merupakan kota pelabuhan Jawa Tengah yang terpenting.



111-3 Runtuhnya kekuasaan pemerintahan Demak

Oleh karena tidak ada berita-berita, khususnya karya tulis Portugis atau karya
Eropa lain yang dapat dikaitkan pada zaman sesudah meninggalnya Susuhunan
Prawata pada tahun 1549, uraian berikut ini berdasarkan cerita sejarah Jawa Tengah
saja. Kemenangan raja (-taklukan) Pajang, Jaka Tingkir, atas raja (-taklukan) Jipang,
Aria Panangsang, pembunuh raja Demak yang terakhir, menurut cerita-cerita babad,
telah mengangkat penguasa Pajang langsung ke jenjang kekuasaan tertinggi di Jawa
Tengah, la telah mengubah tempat kediamannya di pedalaman Jawa Tengah sebelah
selatan menjadi ibu kota keraton suatu kerajaan pedalaman di Jawa. Para raja yang
lebih tua di daerah-daerah pantai sepanjang pantai utara (Pesisir), dan para penguasa
di Jawa Tengah dan Jawa Timur, rupa-rupanya dengan segera mengakui dia sebagai
raja tertinggi (maharaja). Ibu kota lama, Demak, kemudian menjadi ibu kota daerah,
yang diperintah oleh seorang penguasa yang tunduk pada raja Pajang. 81 Keadaan
demikian tidak berubah sampai ketika kekuasaan politik di pedalaman pada akhir abad
ke-16 pindah dari Pajang ke Mataram.

Namun, gambaran keadaan yang demikian itu tampaknya terlalu sederhana. Para
penulis cerita babad di Jawa Tengah dari abad ke-17 dan ke-18 cenderung membesar-
besarkan kekuasaan raja-raja di kerajaan-kerajaan pedalaman Pajang dan Mataram,
dengan mengorbankan kedudukan daerah-daerah para raja yang mendahului mereka,
yaitu kerajaan-kerajaan Pesisir. Sebenarnya kekuasaan Ratu Putri di Kalinyamat-
Jepara sangat besar di daerah-daerah sepanjang pantai utara sebelah barat, sampai di
Banten, hingga jauh dalam paruh kedua abad ke-16. Ini tertulis dalam babad-babad di
Citebon dan Banten (lihat Bab-bab VII dan VIII).

Lagi pula, terdapat pemberitaan seorang Portugis, De Couto (Couto, Da Asia , jil.
VIII, Bab 21), yang menyatakan bahwa untuk melaksanakan salah satu ekspedisinya
melawan Malaka yang dijajah Portugis, pada tahun 1564 raja Aceh yang gagah berani,



perkampungan-perkampungan (dengan tempat-tempat pendidikan) jemaah-jemaah suci di pegunungan (Pigeaud, Java, jil. IV,
hlm. 484 dst). Dapat dimengerti bahwa pembudayaan agama Islam di Pulau Jawa menambah majunya pembangunan
pembuatan "tempat-tempat keramat" pada abad ke-16. Peranan orang-orang suci di Jawa (yang anggota-anggotanya antara
lain Sunan Gunungjati dan Sunan Giri) bagi perkembangan peradaban Jawa pada abad ke-16 dan ke-17 telah dibicarakan
dalam Pigeaud, Literature, jil. I, hlm. 76 dst. dan 138 dst. Dapat diperkirakan bahwa tempat-tempat keramat Islam di Jawa,
seperti Gunung Jati, Prawata, Giri, dan Tembayat, dalam peradaban sebelum zaman Islam memang sudah merupakan
tempat-tempat yang dihormati orang. Jawaban atas pertanyaan ini baru akan dapat diberikan setelah diadakan penggalian-
penggalian kepurbakalaan.

81 Dalam Babad Mataram (Meinsma, Babad, hlm. 75) tertulis bahwa anak Sultan Demak yang kedua, yang bernama Sunan
Prawata, sesudah ayahnya meninggal, telah menggantinya sebagai pemegang kekuasaan di Kerajaan Demak ( jumeneng
amengku nagari Demak), dan bahwa ia hidup rukun dengan Adipati Pajang; keduanya menerima keadaan itu ( rukun kaliyan
sang adipad ing Pajang, sanri narimahipun).



'Ala'ad-Din Shah telah mengirim utusan untuk meminta bantuan dari 0 Rey de Dama,
Imperador do Java (Ratu Demak, maharaja Jawa). Tetapi menurut De Couto, raja
Demak ini menolak, karena ia tidak rela bila raja Aceh itu mencapai kemenangan atas
orang-orang Portugis, la khawatir kalau-kalau Aceh menjadi terlalu berkuasa dan
memasukkan Jawa ke dalam daerah pengaruhnya. Para utusan dari Aceh itu bahkan
dibunuh di Demak; hal ini tentu saja menutup segala kemungkinan terciptanya
persekutuan. Kejadian ini tentu dilihat oleh orang-orang Portugis sebagai "uluran tangan
surga" ( Obra Divina)-, karena itulah De Couto menyajikan berita ini secara panjang lebar.

Tidak ada alasan untuk menduga bahwa De Couto mengacaukan Demak dengan
Jepara, sebab Jepara sering juga disebutnya. Jadi, pada tahun 1564, kira-kira lima
belas tahun sesudah meninggalnya Susuhunan Prawata, di Demak masih ada seorang
"kaisar" yang kekuasaannya (tampaknya) cukup besar sehingga timbul pikiran pada
raja Aceh yang perkasa itu untuk mengusulkan suatu persekutuan. Siapa "kaisar" yang
dimaksud tidak dapat ditemukan dalam cerita-cerita babad Jawa. Kiranya ia dapat
digambarkan sebagai berikut: la semula seorang pemimpin rohani, seorang keturunan
keluarga raja Demak yang harum namanya, yang kekuasaannya lebih banyak
berdasarkan kewibawaan tradisionalnya sebagai pelindung agama Islam dan sebagai
panata'gama (pengatur agama) daripada berdasarkan kekuasaan politik.82 Kekuasaan
di Tanah Pesisir dalam perempat ketiga abad ke-16 ada di tangan Ratu Kalinyamat di
Jepara, la melindungi dan mengasuh kemenakan-kemenakannya, yaitu putra-putra
saudara-saudaranya yang terbunuh di Demak.

Dalam silsilah-silsilah keluarga raja Demak yang dicantumkan di atas (Bab 111-1)
disebutkan Pangeran Kediri sebagai anak laki-laki Pangeran Lepen. Pangeran ini -
disebut juga Pangeran Pangiri - agaknya menurut beberapa babad masih memegang
kekuasaan sekadarnya di Demak sesudah Susuhunan Prawata meninggal. Mungkin
dialah sang "kaisar" yang dimaksud dalam berita De Couto itu. Jadi, ia seorang
kemenakan Susuhunan Prawata dan Ratu Kalinyamat di Jepara, dan (menurut tradisi
Mataram) juga kemenakan Sultan Pajang.

Akhirnya ada juga pemberitaan cerita babad lain, yang menyangkut penggantian
Sultan Pajang yang meninggal pada tahun 1587, yang mungkin juga dapat
dihubungkan dengan raja Demak yang terakhir ini. Cerita itu mengisahkan bahwa
dalam periode kekacauan sesudah meninggalnya Sultan, raja Demak dengan sejumlah
prajurit (di antaranya terdapat budak-budak belian, orang-orang Bali, Bugis, dan
Makassar) juga telah muncul di Pajang dengan maksud melaksanakan hak dan
tuntutannya atas kekuasaan tertinggi sebagai raja. Tetapi prajurit-prajurit pengiringnya
segera dapat dicerai-beraikan oleh pengikut-pengikut bersenjata raja Mataram. Raja
Mataram ini, Panembahan Senapati, teman sekutu calon pengganti raja yang lain yaitu



82 Gelar "Pengatur Agama" (Panatagama) telah lama menjadi bagian tata nama sakral bagi raja-raja Jawa di Jawa Tengah.
Penting untuk diketahui kapan gelar itu dipakai untuk pertama kalinya. Mungkin Panatagama itu suatu terjemahan gelar Arab
yang bersifat keagamaan.



Pangeran Benawa, telah memperlakukan yang dipertuan di Demak yang teramat mulia
itu dengan sangat hormat, la memberi perintah supaya raja Demak (yang boleh jadi
sudah tua) diantarkan kembali ke Demak dengan tandu yang dikawal, dan dengan
kedua tangannya diikat dengan selendang sutera ( cinde ) saja. Dalam cerita babad
susuhunan Mataram (Meinsma, Babad hal. 170 dst.) raja Demak ini hanya disebut
adipati Demak. Rupanya, ia kawin dengan anak perempuan Sultan Pajang yang tertua
(lihat juga Bab XIX-7 dan cat. 330).

Apabila berita ini mempunyai dasar kebenaran, maka dapat diambil kesimpulan
bahwa pada tahun 1587 kekuasaan politik raja Demak sudah tidak berarti lagi,
sehingga lawannya dapat saja bersikap baik hati terhadapnya. Lagi pula, dapat
disimpulkan bahwa raja Demak terbukti besar juga kewibawaannya di pedalaman Jawa
Tengah dalam bidang agama terhadap penduduknya, yang ayah atau kakeknya baru
50 atau 75 tahun masuk agama Islam (berkat dakwah Sunan Tembayat).

Tidak diketahui arti nama Pangeran Kediri atau Pangiri, yang menurut cerita Jawa
Barat telah disandang oleh raja terakhir dari dinasti Demak. Tidak terlalu besar
kemungkinan nama tersebut ada kaitannya dengan daerah Kediri di tepi Sungai
Brantas di Jawa Timur. Namun, bila demikian halnya, pada zaman-zaman terakhir
Kesultanan Demak rupanya sudah menjadi kebiasaan, bahwa pangeran-pangeran
diberi nama gelar, yang mengandung tuntutan atas daerah yang jauh letaknya, seperti
lazimnya di Keraton Mataram (Pangeran Puger, Pangeran Singasari), jadi bukan
"kekuasaan" yang nyata atas daerah tersebut (lihat juga cat. 334).

Menurut sebuah tarikh Jawa, yang diolah Raffles ke dalam bukunya History of
Java, kiranya pada tahun 1588 - sesudah runtuhnya Demak - para pejabat tinggi
bersama rakyatnya telah pergi naik kapal. Bila pemberitaan ini benar, maka putra
Pangeran Kediri/Pangiri bersama para pengikutnya menyingkir karena takut akan
bertambahnya kekuasaan raja Mataram (yang tidak berhubungan keluarga dengan dia
seperti Sultan Pajang almarhum). Menurut silsilah-silsilah keluarga raja Demak tersebut
di atas, Pangeran Kediri mempunyai seorang putra, Pangeran Mas, yang juga disebut
Pangeran Juru(h). Pangeran Demak inilah yang dijumpai pedagang-pedagang Belanda,
yang pada tahun 1596 singgah di Banten (Eerste Schipvaert, hal. 429-430). Mereka
mendengar bahwa ayah pangeran itu dahulu telah memerintah seluruh Jawa, tetapi
karena tindakan raja-raja bawahannya, dipecat (Graaf, Senapati, hal. 98). Anaknya,
yang jatuh miskin karena perang, berangkat ke Malaka - jajahan Portugis - dan
kemudian (tahun 1596) ke Banten; di sana ia disambut dengan hormat oleh kerabatnya,
raja Banten. Haknya atas kekuasaan di Demak pada asasnya telah diakui, dan ia
menerima penghormatan sebagai bangsawan, sesuai dengan asal usulnya. Di Banten
ia tinggal dalam perumahan di luar kota. Kiranya lama juga ia tinggal di Jakarta (yang
pada waktu itu di bawah kekuasaan raja Banten).




Tidak mustahil bahwa cerita yang didengar oleh orang-orang Belanda mengenai
tinggalnya calon pengganti raja Demak di Malaka itu mengandung kebenaran. Pada
tahun 1587 Paulo de Lima, "Herculesnya bangsa Portugis", merebut Kota Johor.
Kemenangan orang-orang Portugis ini besar sekali pengaruhnya di Nusantara bagian
barat. Sultan Aceh menawarkan perjanjian perdamaian, dan pada tahun 1587 itu juga
muncullah perutusan Jawa di Malaka (de Couto, Da Asia, XII, hal. 624-627). Karena
salah paham, timbullah kesulitan, tetapi hubungan dengan orang-orang Jawa tetap
baik, dan pedagang-pedagang Jawa tetap menyinggahi Malaka. Dapat dimengerti kalau
calon pengganti raja Demak yang tidak bertanah itu pada tahun 1588 mengharapkan
bantuan dari Malaka guna menghadapi kekuasaan Mataram, yang dari tanah
pedalaman Jawa Tengah terus saja mendesak ke utara; Malaka yang dipilih, karena
penduduknya pelaut, yang pemimpinnya belum lama berselang mencapai kemenangan
besar. Tetapi dalam karya tulisan orang Portugis tidak terdapat berita tentang adanya
kontak antara Gubernur De Lima dan calon pengganti raja Demak.

Seorang wakil Inggris di Banten, Scott, telah memberitakan akhir kehidupan calon
pengganti raja Demak tersebut. Scott menyatakan, pada tahun 1604 ia mendengar
bahwa dalam perjalanan laut dari Banten ke tempat lain di pantai utara, Pangeran Mas
telah dibunuh oleh salah seorang putranya, la dimakamkan di permakaman Banten
"Palanangka" (seharusnya "Pangkalan Tangka"). Kejadian ini juga dicantumkan dalam
Sadjarah Banten (Djajadiningrat, Banten, hal. 150), dan dalam Hikayat Hasanuddin
(Edel, Hasanuddin, hal. 251-252). Menurut nama tempat peristirahatan terakhirnya di
tanah rantau itu, calon pengganti raja Demak tersebut di Banten dikenal sebagai Sultan
Pangkalan Tangka.

Berdasarkan sebuah berita dalam Eerste Schipvaert (jil. I, hal. 103) dapat diambil
kesimpulan bahwa pada tahun 1596 keluarga raja Demak masih mempunyai pengikut.
Di situ ada kata-kata; Dauma, waer den Keyser noch voor Coning ghekent wordt
Demak, tempat Kaisar masih diakui sebagai raja'. Yang dimaksud adalah Pangeran
Mas, yang di kalangan orang Belanda dikenal dari Banten. Menurut cerita babad-babad
di Jawa Tengah, pada tahun 1602-1604 timbul pemberontakan di Demak melawan
kekuasaan Mataram. Besar sekali kemungkinan bahwa calon pengganti raja Demak
pada tahun 1604 atau sekitarnya telah mempunyai rencana untuk berlayar dari Banten
ke Demak, untuk memimpin pengikut-pengikutnya. Apa yang menjadi alasan sampai ia
dibunuh itu, kiranya, tetap merupakan rahasia.

Silsilah-silsilah keluarga raja Demak yang disajikan di atas (Bab 111-1), kecuali
menyebutkan kedua putra calon raja, Pangeran Mas/ Pangeran Juru(h), juga
menyebutkan banyak anggota keluarga lain yang lebih muda. Lebih lanjut tidak ada
kabar tentang mereka. Boleh jadi mereka anggota keluarga-raja Banten.

Yang termasuk keturunan dan kerabat keturunan raja-raja Demak, yang di luar
tanah airnya berhasil mencapai kedudukan penting dalam kemelut politik abad ke-16




itu, ialah mereka yang disebut di atas; raja Jepara, raja Cirebon, raja Banten, dan raja
Pajang; dan selain itu juga para Yang Dipertuan di Jipang Panolan. Kita masih ingat
bahwa menurut cerita Jawa, Aria Panangsang telah memegang peranan - yang
berakibat buruk baginya - dalam peristiwa pembunuhan antarkeluarga di Demak pada
pertengahan abad ke-16. Para penguasa di Jipang ternyata masih mempunyai
hubungan keluarga dengan para penguasa di Matahun, yaitu suatu daerah yang -
seperti Pajang dan Mataram - semula termasuk "tanah mahkota" milik keluarga raja
Majapahit yang kuno dan "kafir" itu. Boleh jadi keturunan atau pengikut keluarga Jipang
pada abad ke-16 dan ke-17 telah menduduki tahta kerajaan di Palembang. Dalam bab-
bab berikut ini sejarah daerah-daerah tersebut akan diberikan perhatian masing-
masing.



111-4 Demak di bawah kekuasaan raja-raja Mataram

Setelah Panembahan Senapati sekitar tahun 1588 memegang tampuk
pemerintahan di Jawa Tengah sebelah selatan (lihat Bab XX-4), raja-raja Pati, Demak,
dan Grobogan dianggapnya sebagai sampun kareh 'sudah dikuasai'. Sekitar tahun
1589 mereka diperintah untuk bersama dengan dia dan prajurit-prajurit Mataram ikut ke
Jawa Timur, menaklukkan raja-raja Jawa Timur (Meinsma, Babad, hal. 182). Maksud
raja Mataram ini gagal, tampaknya terutama karena campur tangan Sunan Giri.
Panembahan Senapati terpaksa kembali ke Mataram dengan tangan hampa.

Mungkin sekali penguasa-penguasa Demak, Pati, dan Grobogan, yang pada tahun
1589 (menurut Babad itu) telah bersikap sebagai taklukan yang patuh itu, sama orang-
orangnya dengan mereka yang telah mengakui Sultan Pajang, yang sudah tua dan
meninggal pada tahun 1587, sebagai penguasa tertinggi. Jadi, agaknya Pangeran
Kediri di Demak, setelah mengalami penghinaan di Pajang sebelumnya, ternyata masih
berhasil memerintah tanah asalnya selama beberapa waktu. Bagaimana dan kapan
tepatnya pemerintahan (yang mungkin berupa pemerintahan semu saja) berakhir, tidak
ada kepastian (Graaf, Senapati, hal. 98).

Pada tahun 1591 konon Panembahan Senapati dari Mataram telah mulai berusaha
memperluas, kekuasaannya atas Kediri, dengan mencampuri sengketa antara para
calon yang ingin menduduki tahta kosong di kerajaan tua itu. Salah seorang dari calon-
calon itu, yang disebut Senapati Kediri, telah minta bantuan kepada Mataram, dan
Panembahan Senapati telah mengirimkan pasukan yang besar sekali untuk
membantunya, yang terdiri dari para bawahan beserta pengikut-pengikutnya (Meinsma,
Babad, hal. 199). Pimpinannya diserahkan kepada Pangeran Wiramenggala, salah
seorang putra raja Mataram yang tertua; ibunya dari keturunan Kajoran, dan ia sendiri
saudara kandung Pangeran Adipati Jayaraga, yang kelak akan menjadi bupati
Panaraga (Padmasoesastra, Sadjarah, hal. 121). Bupati-bupati Pajang, Demak, dan
Jagaraga (di daerah Madiun) diharuskan menggabungkan diri - bersama pengikut



mereka - pada ekspedisi ini. Hasil yang dicapai oleh penyerangan ini hanyalah bahwa
Senapati Kediri sekeluarga bersama pengikutnya ikut kembali ke Mataram (dan segera
di sana ia mencapai kedudukan penting di Keraton); namun Kediri sendiri tidak direbut.
Bupati Demak., yang dalam cerita ini bersama bupati-bupati lain disebut sebagai
bawahan seorang pangeran Mataram yang untuk pertama kali harus berusaha
mencapai keharuman nama dalam pertempuran, untuk disamakan dengan orang yang
disebut Pangeran Kediri, keturunan dari "dinasti kaisar" Demak. Besar kemungkinan
peranan keluarga raja Demak yang sudah tua itu sekitar tahun 1590 sudah berakhir
sama sekali di Jawa Tengah, dan daerah Demak sejak itu diperintah oleh seorang
bupati yang ditunjuk oleh raja Mataram.

Boleh jadi baru pada tahun 1595 orang-orang Demak memihak raja-raja Jawa
Timur, yang mulai melancarkan serangan terhadap Kerajaan Mataram yang belum
sempat berkonsolidasi diri. Serangan tersebut dapat dipatahkan, tetapi panglima
perang Mataram, Senapati Kediri yang sudah membelot ke Mataram itu, gugur dalam
pertempuran dekat Uter. Sehabis perang, Panembahan mengangkat Ki Mas Sari (dari
Wirasari, lihat Bab 11-12, salah satu daerah yang pertama-tama direbut oleh Sultan
Tranggana, pada tahun 1528?), sebagai adipati di Demak, (Meinsma, Babad, hal. 202),
rupanya karena pemimpin pemerintahan yang sebelumnya tidak memuaskan, atau
ternyata tidak dapat dipercaya (Graaf, Senapati, hal. 122).

Anak Panembahan Senapati yang menjadi penggantinya, dan kelak disebut juga
Seda-ing Krapyak, pada tahun 1601 telah mengangkat kakak sulungnya yang tidak
sekandung, Pangeran Puger, sebagai adipati Demak (Meinsma, Babad, hal. 202).83
Pangeran Puger tidak dapat berpuas hati dengan kedudukan di bawah kekuasaan adik
tirinya. Karena pengaruh Yang Dipertuan di Gending dan di Panjer (mungkin berasal
dari Jawa Timur), di Demak ia mengangkat senjata untuk tiba-tiba menyerang Mataram.
Mungkin sekali Pangeran Mas sekitar tahun 1604 ingin memanfaatkan gerakan anti-
Mataram di Demak ini dari Banten, untuk mendapatkan kedudukan kembali di tanah
asalnya, Jawa Tengah. Tetapi di dekat Tambak Uwos, Pangeran Puger dikalahkan dan
ditawan oleh prajurit-prajurit Mataram yang dipimpin oleh Raja sendiri. Sebagai
hukuman ia bersama sanak saudaranya, tetapi tanpa pengikut, diharuskan tinggal di
Kudus ( mernahake ing Kudus). Kekuasaan di Demak oleh raja diserahkan kepada
seorang prajurit yang berjasa ( lurah ganjur, kepala prajurit bertombak), Ki Gada
Mestaka, yang dengan nama Tumenggung Endranata menjadi bupati di Demak.



83 Menurut Sadjarah Dalem (Padmasoesastra, Sadjarah, hlm. 121) Pangeran Adipati Puger dari Demak adalah anak Nyai
Adisara. Mungkin Adisara ini nama tempat. Wanita istimewa ini, yang kiranya bukan termasuk keturunan terkemuka, menurut
cerita tutur (Meinsma, Babad , hlm. 186) memainkan peranan penting pada tahun 1590, waktu Panembahan Senapati merebut
Madiun. Nyai Adisara ini rupanya, atas perintah tuannya, Panembahan Senapati, telah menemui raja Madiun di kota
kedudukannya. Tergoda oleh kecantikan wanita itu, raja Madiun percaya pada tawaran tertulis Senapati (yang ternyata tipuan
belaka itu) bahwa ia (Senapati) akan takluk. Karenanya, raja Madiun membubarkan laskarnya. Akibatnya, Senapati dapat
menduduki Madiun. Pangeran Puger, yang pada tahun 1601 dijadikan Adipati Demak, mestinya paling lambat dilahirkan
sekitar tahun 1580. Nyai Adisara itu mungkin salah seorang abdi wanita yang bukan tergolong muda lagi di dalam keputrian
istana Panembahan Senapati Mataram. Menurut Sadjarah Dalem ia masih mempunyai anak perempuan, yang kawin dengan
seorang adipati: Tepasana, mungkin masih seorang kemenakan Senapati.



Tumenggung Endranata I di Demak ini pada tahun-tahun kemudian agaknya juga
tidak bebas dari pengaruh politik Pesisir yang berlawanan dengan kepentingan
Mataram di pedalaman. Pada tahun 1627 ia terlibat dalam pertempuran antara
penguasa di Pati, Pragola II, dan Sultan Agung, la dibunuh dengan keris sebagai
pengkhianat, atas perintah Sultan Agung (Graaf, Sultan Agung, hal.1 38-141).

Sesudah dia, masih ada lagi seorang tumenggung, Endranata II, yang menjadi
bupati di Demak. Tumenggung ini seorang pengikut setia Susuhunan Mangkurat II di
Kartasura, yang memerintah Jawa Tengah pada perempat terakhir abad ke-17. Pada
tahun 1678 disebutkan adanya Tumenggung Suranata di Demak (lihat Bab 11-16).

Sebagai pelabuhan laut agaknya Kota Demak sudah tidak berarti pada akhir abad
ke-16. Sebagai produsen beras dan hasil pertanian lain, daerah Demak masih lama
mempunyai kedudukan penting dalam ekonomi kerajaan raja-raja Mataram. Sampai
abad ke-19 di banyak daerah tanah Jawa rasa hormat pada Masjid Demak dan makam-
makam Kadilangu masih bertahan di antara kaum beriman; Kota Demak dipandang
sebagai tanah suci. Hal itulah yang terutama menyebabkan nama Demak dalam
sejarah Jawa tetap tidak terlupakan di samping nama Majapahit.




Bab 4



Sejarah Kerajaan-Kerajaan yang Lebih Kecil di Daerah-
Daerah Pesisir Utara Jawa Tengah pada Abad ke-16:
Pati dan Juwana



IV-1 Berita-berita kuno tentang Pati dan Juwana, legenda dan sejarah

Daerah ini, dengan Pati dan Juwana sebagai ibu kotanya, terletak dekat muara
timur sebuah selat tua, yang sejak dahulu memisahkan Pegunungan Muria di Jawa.
Demak dan Jepara terletak di sebelah barat muara ini. Mungkin dapat kita bandingkan
hubungan kedua kota-pelabuhan laut Jepara dan Juwana pada satu pihak, dengan
hubungan antara kedua kota tempat kedudukan raja Demak dan Pati pada pihak lain.
Hanya saja Juwana (atau kota pelabuhan di daerah itu, yang disebut Tome Pires
"Cajongam") menjadi kurang penting untuk perdagangan laut; berbeda dengan Jepara
yang memiliki teluk yang baik.

Jepara dan Juwana keduanya disebut sebagai daerah yang termasuk wilayah
Sandang Garba, "raja kaum pedagang" dalam cerita mitos, yang dikalahkan oleh
adiknya yang bungsu, Dandang Gendis, "raja kaum beragama", yang memerintah di
Koripan dan Jenggala (di delta Sungai Brantas). Kemenangan itu diraih atas bantuan
orang-orang Cina.84 Cerita Jawa ini agak bernilai, sebab dari cerita itu terbukti, Juwana
dahulu sudah dianggap sebagai kota pelabuhan yang agak penting.

Juwana konon disinggahi oleh Sahid, yang kemudian menjadi Sunan Kalijaga,
pada perjalanannya dari Pulo Pinang ke Demak, la tidak melanjutkan perjalanannya ke
ibu kota itu, tetapi singgah lebih dulu di Cirebon.85 Cerita ini juga memberi petunjuk
tentang Juwana sebagai pelabuhan yang agak penting.

Perlu disebutkan di sini adanya keanehan bahwa di Juwana apa yang biasa
disebut pasaran Jawa (sepekan terdiri dari lima hari: Legi-Pahing-Pon-Wage-Kliwon)
tidak dipakai. Ini baru ditetapkan pada abad ke-20.86 Tetapi sebenarnya terasa sangat
gegabah menerangkan hal yang menyimpang dari sistem yang sudah umum berlaku di
Jawa Tengah mengenai pasaran (yang ada hubungannya dengan gagasan-gagasan



84 Cerita tutur Jawa mengenai Sandang Garba dari Jepara dan Juwana telah dilukiskan dalam ikhtisar sebuah buku cerita dari
Jawa Tengah (Pigeaud, Literature, jil.ll, hlm. 359-360). Lihat juga cat. 108 mengenai sejarah Jepara yang bersifat legenda.
Juwana dan Jepara disebut bersama dalam Codex LOr no. 6686 (Pigeaud, Literature, jil.ll, hlm. 408).

85 Legenda Sunan Kalijaga telah dimuat dalam ikhtisar Serat Kandha, olahan Brandes (Brandes, Pararaton. hlm. 227).

86 Dr. H. Kraemer, dalam laporannya tentang perjalanan menjelajahi Jawa Tengah yang dilakukannya pada tahun 1923, telah
mencantumkan catatan mengenai tidak dipakainya minggu-pasaran di Juwana (Pigeaud, Literature, jil. III, hlm. 129).



pribumi-kuno tentang alam semesta-alam dewa), dengan berpangkal pada sejarah Pati
dan Juwana yang sangat tua itu.87



IV-2 Pati dan Juwana pada permulaan abad ke-16. Berita Tome Pires tentang

Cajongam

Tidaklah mengherankan bahwa antara kedua pasangan Demak-Jepara dan Pati-
Juwana timbul iri hati dan terjadi pertempuran pada masa lampau. Mungkin yang
menjadi pokok persoalannya pertama-tama ialah kepentingan masing-masing dalam
perdagangan, khususnya dalam penyaluran beras dari pedalaman, yang dijual kepada
orang-orang asing yang menyinggahi pelabuhan-pelabuhan itu.

Dalam cerita tutur sejarah di Jawa Tengah dan Jawa Timur terdapat berita tentang
masa jaya Kerajaan Pati yang berlangsung pendek pada permulaan abad ke-16. Di
alas (Bab 11-1 1) telah diberitakan bahwa raja yang baru saja masuk Islam di Pasir, yang
terletak di pedalaman di perbatasan Jawa dan tanah Sunda, yang mempunyai
kedudukan penting di keraton Sultan Tranggana, raja Demak yang ketiga, telah
memperistri seorang putri dari Pati. Mungkin ini terjadi setelah penguasa Pati
menyatakan tunduk pada raja Islam di Demak. Menurut daftar tahun peristiwa di Jawa
Tengah, Babad Sangkalaning Momana, konon di Pati pada tahun Jawa 1433 (151 1 M.)
telah diangkat seorang "bupati" yang bernama Kayu Bralit (oleh siapa, tidak diketahui).
Menurut daftar tahun peristiwa lain yang dapat dibandingkan (yang telah dimasukkan
dalam Chronological Table karangan Raffles), Adipati Kayu Bralit itu pada tahun 1518
telah gugur dalam peperangan. Perang pecah pada tahun itu untuk melawan Pati
(dilakukan oleh siapa, juga tidak diketahui). Menurut naskah ini, dengan kejadian
tersebut masa kemakmuran Kerajaan Pati telah berakhir.

Musafir Portugis Tome Pires, yang pada tahun 1513 mengunjungi pantai utara
Jawa, memberitakan bahwa daerah Cajongan atau Cajongam telah dihancurkan oleh
panglima pasukan raja "kafir" Majapahit. Menurut Pires, prajurit ini terkenal dengan
nama-gelar "guste Pate". Setelah kehancurannya, konon daerah Cajongam dibagi
antara tetangganya Rembang dan Tuban. Pate Rodin di Demak pun mengambil
sebagian daerah ini.

Sayang, letak Cajongam tidak dapat dipastikan. Nama itu terdapat pada peta-peta
Portugis lama. Mungkin sekali, tempat itu letaknya kira-kira di tempat Kota Juwana
sekarang.88 Tetapi berita Pires tentang bertetangganya Rembang dan Tuban (yang
lebih ke timur letaknya) tidak cocok dengan keadaan. Diperkirakan pada teks Pires ada
kesalahan.



87 Dugaan Ir. Moens (Moens, "Crivijaya", hlm. 354 dst.), bahwa kola pelabuhan Po Li, yang diberitakan dalam kronik Cina dapat
disamakan dengan Pati, masih harus menunggu saat pembenarannya.

88 Dr. Rouffaer (Rouffaer, "Pajang") telah menempatkan Cajongam, yang terdapat pada peta-peta Portugis, di lokasi daerah
Juwana sekarang.



Berdasarkan berita-berita pendek dan tidak lengkap ini, dihubungkan dengan tahun-
tahun pada daftar tahun peristiwa Jawa, kiranya dapat dibenarkan bahwa Kerajaan
Demak dalam dasawarsa pertama abad ke-10 telah berselisih hubungan raja-raja di
Pati (dan Juwana?), yang menguasai bagian timur jalur lalu lintas di sebelah selatan
Pegunungan Muria. Sekalipun berita Pires tentang serangan orang-orang Majapahit
yang "kafir" terhadap Cajongam itu berdasarkan kebenaran, dapat diduga bahwa
gerakan itu merupakan usaha (terakhir) untuk mempertahankan kekuasaan maharaja
"kafir" itu di sebelah barat laut kerajaannya.



IV-3 Sejarah Pati pada paruh kedua abad ke-16. Hubungannya dengan

Mataram, legenda dan sejarah

Dalam cerita sejarah di Jawa Tengah, para penguasa di Pati agak penting
kedudukannya. Pada abad-abad ke-16 dan ke-17 mereka terpaksa mengakui
kekuasaan tertinggi raja-raja Demak, Pajang, dan Mataram; tetapi daerah mereka, yang
secara ekonomis dan strategis mempunyai posisi cukup kuat, agaknya telah
memungkinkan mereka untuk sekali-sekali menanamkan pengaruh politik mereka
sampai di Jawa Tengah sebelah selatan. Pati dan Juwana dapat dianggap daerah-
daerah peralihan antara kerajaan tua Lasem, salah satu dari "tanah-tanah raja"
kerajaan Majapahit "kafir" pada abad ke-14, dan daerah-daerah di Jawa Tengah,
tempat kerajaan -kerajaan Islam setengah merdeka dan kemudian merdeka penuh,
terus berkembang pada abad ke-15 dan ke-16.

Menurut tambo di Mataram, pada paruh kedua abad ke-15 dan pada paruh pertama
abad ke-16 di daerah-daerah yang kelak bernama Grobogan dan Sokawati dan
sekitarnya, hidup pelbagai keturunan penguasa setempat, masih saling berhubungan
keluarga, yang seluruhnya merupakan lingkungan asal bagi timbulnya keluarga-
keluarga raja Pati dan Mataram kemudian. Seperti yang dapat diharapkan, cerita
Mataram lebih menaruh perhatian pada asal usul yang diperkirakan itu; Yang Dipertuan
Mataram yang pertama, Ki Gede Pamanahan, adalah cucu seorang penguasa di
Sesela yang legendaris itu. Sesela ini tergolong kota tua di daerah Grobogan. Dalam
cerita Mataram, raja Pati yang pertama bernama Ki Panjawi; ia seorang teman
seperjuangan Ki Gede Pamanahan. la termasuk keturunan para penguasa di Tarub,
keturunan raja "kafir" Majapahit yang beristrikan wanita dari Wandan, di seberang
lautan. Menurut cerita Mataram, Ki Panjawi, Ki Pamanahan, dan yang kelak menjadi
sultan Pajang, ketiga-tiganya pada masa mudanya mengabdi pada Keraton Demak
sebagai anggota korps Tamtama. Masuk korps militer ini agaknya dianggap
kehormatan istimewa, dan hanya diperuntukkan bagi pemuda-pemuda kerabat para
penguasa daerah.

Menurut cerita dinasti Mataram, ketiga pemuda itu bersama bertempur demi
kepentingan pengganti raja yang berhak, melawan Aria Panangsang dari Jipang yang



diliputi rasa tidak puas. Karena keluarga raja Demak sudah jatuh, mereka mendapat
kesempatan untuk memerdekakan dirinya masing-masing di daerah sendiri-sendiri. Ki
Panjawi dapat mengangkat dirinya menjadi raja di Pati pada pertengahan abad ke-
16.89

Jika diakui bahwa yang menjadi dasar cerita-cerita tutur ini ialah ingatan-ingatan
akan hubungan-hubungan keluarga yang dapat dipercaya, mengherankan sekali bahwa
justru Ki Panjawi yang dapat menetap di Pati. Daerah ini letaknya dekat daerah-daerah
Grobogan dan Sokawati. tempat-asal keturunannya sendiri dan keturunan Ki
Pamanahan. Letaknya tidak jauh dari Jipang, kerajaan Aria Panangsang, keturunan
keluarga raja Demak yang memberontak. Boleh jadi pada pertengahan abad ke-16
daerah Pati (bersama Juwana) itu, walaupun secara ekonomis tidak sama makmurnya
(lagi) dengan Demak (bersama Jepara), masih merupakan kerajaan penting yang
berkembang dengan baik juga, yang mengadakan hubungan dengan para penguasa di
daerah-daerah lebih ke timur, sepanjang pantai utara Jawa sampai Surabaya.90
Sebaliknya Mataram, terpencil di pedalaman, tempat Ki Pamanahan menetap pada
pertengahan abad ke-16, masih dalarn tingkat berkembang. Waktu cicit Ki Pamanahan,
yaitu Sultan Agung Mataram, pada paruh pertama abad ke-17 mencapai puncak
kekuasaan dan kebesaran, asal usul keturunannya terbawa naik namanya. Tetapi
dapat diduga bahwa pada abad ke-16 keluarga Ki Panjawi di Pati lebih tinggi
derajatnya, dan lebih banyak hubungannya dengan keturunan-keturunan penting lain,
daripada Ki Pamanahan di Mataram yang jauh di pelosok.

Pada paruh kedua abad ke-16, Sultan Pajang telah memegang kekuasaan tertinggi
di Jawa Tengah selama beberapa puluh tahun. Menurut cerita, para Yang Dipertuan di
Pati dan Mataram - yang seperti Sultan juga mengabdi di Demak dalarn korps Tamtama
- telah mengakui kekuasaan tertinggi Sultan Pajang itu. Antara Sultan Pajang dan Ki
Pamanahan sering terjadi cek-cok; tetapi tentang Ki Panjawi di Pati, tidak dikabarkan
adanya kesulitan dalam hubungannya dengan atasannya.

Berita tentang perkawinan putra Ki Panembahan, yang kelak bernama
Panembahan Senapati Mataram, dengan putri Ki Panjawi di Pati, dapat dipercaya,



89 Ikhtisar tentang cerita-cerita tutur sejarah di Jawa Tengah sebelah selatan, yang mengisahkan asal usul keluarga raja
Mataram, terdapat dalarn Brandes, Register, hlm. 3, 32, 36, 44, 59, 61, dan 69.

90 Yang perlu diperhatikan ialah bahwa nama Panjawi (mungkin sebuah nama tempat, yang belum diketahui lokasinya) juga
terdapat dalam nama gelar Retna Panjawi, menurut Sadjarah Dalem (Padmasoesastra, Sadjarah, hlm. 101) dipakai oleh anak
perempuan Aria Lembu Sura dari Surabaya, putri yang telah menjadi permaisuri raja Brawijaya ketiga di Majapahit. Aria
Lembu Sura dari Surabaya juga disebutkan pada daftar keturunan yang legendaris yang menyangkut keluarga raja Tuban dari
zaman Islam muda (keluarga Aria Teja, lihat Padmasoesastra, Sadjarah, hlm. 41 dan Bab Xll-1 buku ini). Andai kata cerita
keluarga ini dapat dipercaya, maka dapatlah diduga bahwa raja Surabaya ini (seorang bawahan Muslim?) kiranya hidup pada
abad ke-14. Nama gelar anak perempuannya, permaisuri raja Majapahit, Retna Panjawi, agaknya telah diberikan kepadanya
karena adanya hubungan keluarga antara para penguasa di Surabaya, Tuban, dan beberapa daerah-daerah milik raja kecil
yang lebih ke arah barat letaknya, di daerah Grobogan dan Sokawati. Nama Mas Jawi (Padmasoesastra, Sadjarah, hlm. 47)
mungkin juga terdapat dalarn nama tempat lama Panjawi itu. Mas Jawi ini kiranya anak seorang pangeran dari Kudus,
keturunan para pemimpin rohani di Kudus. Pada akhir abad ke-17, atau pada permulaan abad ke-18, kiranya ia telah menjadi
bupati di Pati dengan nama Suma Dipura, dan kelak ia menjadi moyang para bupati Kudus, yang berkali-kali telah berkaitan
perkawinan dengan keluarga raja Mataram.



mengingat cerita-cerita lainnya. Putri Pati ini kelak menjadi ibu Susuhunan Seda-ing-
Krapyak ('wafat di Krapyak') dan nenek Sultan Agung Mataram.

Pengganti Ki Panjawi, yang memerintah Pati pada perempat terakhir abad ke-16,
dalam tambo Jawa diberi nama Pragola. Pragola Pati ini adik ipar Senapati Mataram.
Menurut cerita, timbul permusuhan antara kedua ipar itu, waktu Senapati pada tahun
1590 mengusir Panembahan Mas - keturunan keluarga raja Demak dan ipar Sultan
Pajang yang telah meninggal - dari daerahnya Madiun. Secara paksa ia mengambil
anak perempuan Panembahan Mas sebagai istri mudanya. Pragola menganggap ini
sebagai suatu penghinaan terhadap saudara perempuannya, permaisuri pertama
Senapati, la memandang itu sebagai pengungkapan nafsu berkuasa yang berlebih-
lebihan, yang lama-kelamaan dapat membahayakan semua penguasa daerah di Jawa
Tengah, apabila mereka hendak mempertahankan sebagian kemerdekaan mereka.

Pada tahun-tahun 1598 dan 1599 prajurit-prajurit Mataram melancarkan serangan-
serangan terhadap Kota Tuban yang kukuh itu, mungkin dari daerah Madiun.
Serangan-serangan terhadap Tuban dapat dipatahkan; tetapi boleh jadi Raja Pragola di
Pati menganggap pertempuran-pertempuran ini juga sebagai serangan terhadap
kekuasaannya sendiri di daerah-daerah Pesisir. Pada tahun 1600 ia menggerakkan
angkatan bersenjatanya dalam jumlah yang besar dari Pati ke Mataram, untuk
memperkuat tuntutannya atas penguasaan terhadap tanah-tanah di sebelah utara
Pegunungan Kendeng. Menurut cerita Mataram, ia hanya sampai di Prambanan, pada
batas timur daerah inti Kerajaan Mataram; dengan kekerasan ia dipaksa kembali.

Senapati Mataram pada tahun 1601 mangkat di Jenar, Distrik Sragen yang
sekarang, yang termasuk daerah Sokawati. Tidak ada kepastian apakah Raja Pragola
masih hidup sepeninggal Senapati.91 (lihat juga Bab XX-7 akhir, dan cat. 384).

Putra Pragola yang pertama ini, untuk jelasnya kita sebut Pragola II, agaknya
selama pemerintahan pengganti Senapati, Susuhunan Seda-ing-Krapyak, dan juga
selama tahun-tahun permulaan pemerintahan cucunya, Sultan Agung (yang mulai
memegang tampuk pimpinan pada tahun 1613), bersikap bersahabat terhadap raja
Mataram yang terus bertambah kuasa. Tetapi pada tahun 1627 masih juga terjadi
perang secara terang-terangan. Dari berita-berita orang-orang Belanda yang hidup
sezaman, ternyata bahwa perang ini telah mengakhiri kemerdekaan dan kemakmuran
Pati. Menurut cerita Mataram, Raja Pragola II gugur. Putranya yang masih sangat muda
diungsikan oleh abdi yang setia ke Prawata, tempat kediaman Susuhunan Prawata



91 Dalam karangan Graaf, Senapati (hlm. 130) dibicarakan suatu keterangan pada daftar tahun peristiwa Jawa, yang
mengatakan bahwa pada tahun Jawa 1522 (1600 M.) ada "Adipati Mesir" yang telah meninggal pinejahan enjang. Dapat
diperkirakan bahwa pada abad ke-16, Kota Pati sedikit banyak telah disamakan dengan Mesir (Kairo) seperti Tajug-Ngudung
dengan Kudus (Yerusalem), Demak dengan Mekkah, dan Kadilangu dengan Medinah (tempat dimakamkannya Nabi
Muhammad saw). Pinejahan enjang, yaitu "terbunuh pada pagi hari", hampir tidak mempunyai arti apa-apa sebagai
pemberitaan pada daftar tahun peristiwa. Apabila pinejahan enjang dapat dibaca sebagai pinejahan endang 'terbunuh waktu
bertamu' atau sedang dalam perjalanan, maka pemberitaan ini kiranya dapat kita kaitkan dengan peristiwa kematian Raja
Pragola I dari Pati. Perlu dicatat, nama Mesir ini muncul beberapa kali; lihat cat. 42.



yang "suci" itu, raja merdeka terakhir dari keluarga raja Demak, yang dibunuh kira-kira
tiga perempat abad sebelumnya.92



92 Pahlawan wanita dalam kisah historis "Pranacitra" dari Surakarta pada abad ke-1 9, yang bernama Lara Mendut, rupa-rupanya
seorang wanita cantik dari Pati yang sesudah kota asalnya direbut oleh tentara Sultan Agung dari Mataram, dibawa oleh
panglima andalan Wiraguna sebagai bagian dari harta rampasan perang.



Bab 5



Sejarah Kerajaan-Kerajaan Kecil di Pantai Utara Jawa
Tengah pada Abad ke- 16: Kudus



V-1 Sejarah Kudus, Pangulu Rahmatu'llahi, saksi-imam

Pembicaraan sejarah Kudus memang sudah seharusnya ditempatkan di sini,
karena keturunan yang diberi julukan sesuai dengan nama kota kecil ini, selama
beberapa waktu -sebagai pemimpin agama - besar pengaruhnya terhadap jalannya
sejarah. Tetapi tidak lama kemudian peranan mereka berakhir. Kekuasaan mereka
berdasarkan pada wibawa rohani terhadap para jemaah orang alim. Pada suatu segi,
mereka dapat dibandingkan dengan raja-raja Cirebon dan Giri-Gresik, yang memulai
kegiatan mereka sebagai pemimpin agama, yang kemudian membentuk dinasti dan
berhasil meraih kekuasaan politik yang cukup besar. Pada segi lain mereka dapat
dibandingkan dengan para penguasa di Kajoran Tembayat di pedalaman, yang tidak
memperoleh kesempatan mewujudkan kekuasaan duniawi mereka, akibat
kebijaksanaan politik yang dilakukan raja-raja Mataram yang sangat berdekatan
letaknya itu.93 Pada Bab 11-7, dalam pembicaraan tentang wibawa sebagai pelindung
agama Islam yang telah diperoleh raja-raja Demak, telah diberitakan adanya daftar lima
imam masjid suci, yang dimuat dalam Hikayat Hasanuddin di Banten. Imam yang
kelima pada daftar itu adalah tokoh yang kemudian menjadi Sunan Kudus. Menurut
Hikayat Hasanuddin, dinasti para khatib di masjid suci di Demak berasal dari Pangeran
Rahmat dari Ngampel Denta (Surabaya) dan anak perempuannya, Nyai Gede
Pancuran; anak laki-lakinya, Sunan Bonang, konon adalah imam pertama. Dapat
diterima bahwa keluarga Ngampel semula berasal dari Campa di Hindia Belakang.

Kecuali karena kealiman dan semangat menyebarkan agama Islam di Jawa
Tengah, keluarga Kudus ini berjasa karena salah seorang anggotanya telah menjadi
pemuka yang telah mengorbankan hidupnya untuk berjihad melawan orang-orang kafir.
"Syahid" ini ialah imam keempat; dalam Hikayat Hasanuddin ia diberi julukan Penghulu
Rahmatullah di Undung atau Ngudung (mungkin sesuai dengan tempat tinggalnya).

Sejarah perjuangan orang-orang Islam Jawa Tengah melawan tentara maharaja
Majapahit "kafir" yang terakhir, yang mungkin sekali telah berakhir pada tahun 1527
dengan direbutnya kota kerajaan tua itu, sudah dibicarakan pada Bab 11-9 (tentang
hubungan antara kerajaan Islam Demak dan kerajaan "kafir" itu). Di situ dikemukakan
bahwa cerita-cerita Jawa yang paling dapat dipercaya mengenai zaman ini
menggambarkan bahwa yang paling banyak berjasa dalam mencapai kemenangan ini



93 Sejarah Kajoran telah dibicarakan dalam Grad, "Kadjoran".



ialah dua orang, seorang ayah dan anaknya; mereka pemimpin jemaah 'Orang Alim'
yang ikut serta dalam pertempuran itu.

Dalam buku-buku cerita Jawa Tengah dan Jawa Timur terdapat laporan-laporan
yang cukup panjang mengenai perang melawan Majapahit. Dalam buku Pararaton yang
diterbitkan oleh Dr. Brandes (Brandes, Pararaton, hal. 227-228) dimuat ikhtisar versi
yang panjang lebar. Sesudah meninggalnya wali yang tertua, Sunan Ngampel di
Surabaya, "para santri" memutuskan untuk mengakhiri kekuasaan tertinggi raja "kafir"
Majapahit, sekalipun Sunan Kalijaga menentangnya. Menurut dia, tidak pernah
Brawijaya menghalangi umat Islam. Raja Bintara/ Demak juga belum menghentikan
upeti (seba) ke Majapahit yang diwajibkan itu; ia masih merasa wajib menyatakan
ketaatannya. Berbondong-bondong "para santri" di bawah pimpinan Pangeran
Ngudung, imam Masjid Demak, dan 'pemimpin agama' lainnya bergerak untuk
menyerang. Bupati Terung (keluarga raja Demak, tetapi ia sendiri bukan Islam) konon
menghindarkan diri dari tugas yang telah dibebankan oleh maharaja kepadanya untuk
memerangi kaum pemberontak. Patih Majapahit, Gajah Mada, sendirilah yang pertama-
tama memukul mundur barisan orang-orang alim di Tuban.

Serangan yang kedua kiranya hanya dipimpin oleh Pangeran Ngudung; pemimpin
agama lainnya rupa-rupanya menetapkan hanya anggota-anggota keluarga yang lebih
muda untuk ikut bertempur. Kali ini barisan Majapahit dipimpin oleh para pembesar;
kecuali Gajah Mada, ikut bertempur juga Aria Gugur, putra mahkota Majapahit, panca
tanda Terung (yang pertama kali tidak hadir), Daya Ningrat (seorang raja bawahan dari
Pengging), dan adipati Klungkung di Bali. Tetapi ada juga putra-putra maharaja dan
keluarga lain, yang sudah masuk Islam; pangeran-pangeran ini konon tidak mau ikut
campur.

Pertempuran yang menentukan ini telah terjadi di daerah Wirasaba (kira-kira
Majagung sekarang), atau menurut versi lain, di tepi Sungai Sidayu. Dalam
pertempuran ini Daya Ningrat dari Pengging gugur; tetapi orang Islam terpaksa mundur,
waktu pemimpin pasukan mereka, Pangeran Ngudung, terbunuh oleh tusukan Adipati
Terung. Jubah Antakusuma, yang konon pernah dikenakan oleh Rasullullah itu dan
oleh ulama di Demak diterima dari angkasa, ternyata tidak bertuah. Jenazahnya
diangkut kembali ke Demak oleh pengikut-pengikutnya untuk dimakamkan di sana.

Cerita panjang lebar dan jelas diromantisir tentang Penghulu Rahmatullah,
pahlawan imam, terdapat dalam buku-buku cerita Jawa Tengah dan dalam bentuk
beberapa versi kecuali dalam naskah yang diringkaskan oleh Brandes, juga dalam
Serat Kandha yang diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda ( Serat Kandha, hal. 322,
dst.). Cerita tutur Jawa Barat yang terdapat dalam Babad Banten dan Babad Cerbon
tidak sepanjang itu, tetapi di dalamnya diberikan kematian pemuka agama itu.

Dalam Sadjarah Banten kejadian di Jawa Timur ini dilukiskan sebagai peristiwa
yang bertepatan waktu dengan perkawinan seorang putri Demak dengan seorang




anggota keturunan pemimpin agama yang baru muncul di Cirebon. Penulis Banten ini
mengira bahwa perkawinan ini terjadi antara Hasanuddin, Sultan Banten yang pertama
putra raja Cirebon pertama, dan putri Sultan Tranggana dari Demak. Tetapi perkawinan
ini menurut Hoesein Djajadiningrat (Djajadiningrat, Banten, hal. 115), baru terjadi pada
tahun 1552, bertahun-tahun sesudah jatuhnya Majapahit. Mungkin juga dalam berita
Banten itu perkawinan Hasanuddin dikelirukan dengan perkawinan ayahnya, Sunan
Gunungjati dari Cirebon, dengan saudara perempuan raja Demak. Menurut cerita tutur
Jawa Barat, perkawinan ini dilangsungkan kira-kira pada tahun 1524. Apabila pesta
perkawinan di Keraton Demak ini memang sama tahun kejadiannya dengan
pertempuran di Jawa Timur, yang mengakibatkan kematian Penghulu Rahmatu'llahi,
maka perang para pejuang Islam demi agama melawan tentara maharaja itu
berlangsung bertahun-tahun sebelum berakhir pada tahun 1527 dengan direbutnya
Majapahit dan hilangnya Brawijaya yang terakhir.



V-2 Berdirinya Kota Kudus, "kota suci"

Menurut Hikayat Hasanuddin di Banten, imam keempat di Masjid Demak yang
gugur di medan laga itu diganti oleh anaknya yang ditetapkan dalam jabatannya oleh
Syekh Nurullah, yang kelak terkenal sebagai Sunan Gunungjati di Cirebon. Ini tidak
mustahil, apabila kita pahami bahwa Sunan Gunungjati justru pada waktu yang sama
telah menjadi ipar raja di Demak, hingga dalam kedudukan yang demikian itu ia dapat
menyatakan pengaruhnya.

Penghulu muda di Demak inilah, menurut cerita tutur di Jawa Tengah, yang
akhirnya dapat merebut kota kerajaan tua, Majapahit, la mencapai hasil gemilang itu
terutama karena kekuatan gaibnya. Cerita yang bukan-bukan yang dimuat dalam buku-
buku cerita Jawa Tengah inj menimbulkan dugaan bahwa kemudian orang sudah tidak
ingat lagi akan fakta-fakta pertempuran-pertempuran itu sendiri karena memperhatikan
kemenangan saja.94



94 Menurut cerita tutur setempat di Sengguruh, suatu daerah di sebelah selatan Malang, sesudah kota Kerajaan Majapahit
direbut oleh orang-orang Islam, kiranya seorang anak laki-laki Patih Majapahit, Raden Pramana, masih dapat bertahan untuk
beberapa waktu di daerah pegunungan yang terpencit itu. Dalam buku-buku cerita di Jawa Tengah (serat kandha) ternyata
Sengguruh, (Pa-)malang, dan Patih Gajah Mada (nama tradisional bagi para pemimpin pemerintahan pada zaman Majapahit
akhir, dalam cerita tutur Jawa) disebut-sebut juga dalam hubungan ini. Akhirnya Raden Pramana terpaksa menyingkir juga,
karena datangnya serangan oleh laskar Sultan Demak (Pigeaud, Literature, jil. II, hlm. 61). Menurut satu cerita tutur Jawa,
kiranya Brawijaya yang terakhir beserta penghuni keratonnya telah menyingkir ke Klungkung di Bali Selatan. Raja bawahan
Bali di Klungkung itu agaknya (anak) menantunya; ia telah ikut berperang juga melawan orang-orang Islam. Sesudah
mengalami kekalahan, raja Bali itu mengantarkan ayah mertuanya ke Bali. Cerita-cerita tutur Bali yang historis tidak
memberitakan peristiwa ini. Pada paruh pertama abad ke-16, Gelgel merupakan kerajaan terpenting di Bali Selatan. Baru
sesudah tahun 1687 Klungkung menjadi tempat kedudukan para dewa agung (Berg, "Traditie" dan Berg, "Gusti"). Jatuhnya
Gelgel pada tahun 1687 dibenarkan oleh berita kontemporer dalam Daghregister. Mengingat hal itu, dapat diambil kesimpulan
bahwa nama Klungkung baru sesudah tahun 1687 muncul dalam buku-buku cerita Jawa. Lain daripada itu, tidak adanya
pemberitaan-pemberitaan cerita-cerita tutur Bali tentang nasib Brawijaya dengan keluarganya sesudah jatuhnya Majapahit
cocok benar dengan berita Tome Pires tentang tidak berartinya maharaja "kafir" itu pada dasawarsa pertama abad ke-16, dan
sesuai juga dengan cerita-cerita tutur, yang termuat pula dalam naskah-naskah Jawa, yang mengatakan bahwa Brawijaya
musnah, "hilang" begitu saja. Sebaliknya, Gajah Mada sangat terkenal dalam cerita tutur Bali.



Cerita tutur Jawa tersebut menampilkan banyak raja dari seluruh daerah, bahkan
dari Palembang, dan semua "ulama". Sunan Giri konon telah memainkan peranan
istimewa dengan keris ajaibnya. Cerita-cerita itu boleh dianggap pancaran daya angan-
angan generasi penerus. Cerita-cerita itu juga bertentangan urutan waktunya; para
sunan, dari Giri misalnya, baru mendapat kekuasaan dan kedudukan tinggi pada paruh
kedua abad ke-16. Namun, mungkin sekali, raja Demak, setelah melihat bahwa
serangan-serangan "para santri" yang penuh semangat tempur di Jawa Timur itu
menggoyahkan kekuasaan maharaja Majapahit, ingin mengambil manfaat dari situasi
untuk memperkaya diri dan memperluas wilayahnya.95

Dalam uraian di atas (Bab 11-12) telah diberitakan, mungkin raja Islam itu sesudah
jatuhnya ibu kota lama menanamkan kekuasaannya di bagian terbesar Jawa Timur dan
Madura. Mungkin karena pengaruh Sunan Gunungjati, iparnya, pada waktu itu juga ia
memakai gelar sultan (lihat Bab 11-9).

Kemungkinan bahwa berkat sukses yang telah dicapainya dalam medan
peperangan, kekuasaan penghulu Demak, yang pada waktu itu agaknya masih muda,
menanjak sekali. Cerita-cerita Jawa tentang kebesaran dan tindakan-tindakan Sultan
Kudus harus dianggap cerita tentang dia sendiri. Namanya disebut dalam Sadjarah
Dalem, silsilah keturunan nenek moyang raja-raja Surakarta dari abad ke-19,
berdasarkan sumber keterangan lama yang dapat dipercaya, la dianggap layak
dicantumkan dalam buku itu, karena seorang putri keturunannya diperistri oleh
Susuhunan Paku Buwana III di Surakarta (1749-1788). Sunan Kudus sendiri konon
telah memperistri putri Kiai Gede Kali Podang (lebih lanjut tidak dikenal), putri bupati
Terung yang sudah ditaklukkan dan telah masuk Islam (sebelumnya sudah disebutkan),
dan putri Adipati Kanduruwan (mungkin masih kerabat Sultan Demak); karena itulah ia
mempunyai hubungan darah dengan kalangan bangsawan pada zamannya.96



95 Meskipun cerita-cerita Jawa tidak secara tegas memberitakan adanya harta yang melimpah-limpah yang ditemukan di
Majapahit, boleh diduga bahwa harapan untuk dapat merampas isi istana-istana kerajaan dan tempat-tempat suci "kafir” di
dalam kota kerajaan lama atau di sekitarnya merupakan satu di antara beberapa daya dorong, baik bagi barisan-barisan
orang-orang alim maupun bagi para raja, untuk mengadakan serangkaian serangan. Majapahit bukan satu kota yang
dikelilingi tembok, melainkan suatu kompleks yang terdiri dari sejumlah besar tempat tinggal raja-raja, pangeran-pangeran,
dan orang-orang terkemuka, masing-masing dikelilingi tembok atau diperkuat dengan cara lain dan dikelilingi rumah-rumah
sederhana sebagai tempat tinggal para abdi (Pigeaud, Java, jil. IV, hlm. 528 dst.). Kompleks perkampungan ini, yang masing-
masing terpisah oleh ladang atau sawah-sawah; memang sukar dipertahankan terhadap serangan musuh. Cerita-cerita Jawa
masih menyimpan kenang-kenangan pada "mahkota Majapahit", yang berabad-abad kemudian telah menjadi milik raja-raja
Mataram di Jawa Tengah. Ternyata, diberitakan juga bahwa raja Demak telah memerintahkan mengangkut balok-balok dari
salah satu gedung penting di istana Majapahit ke ibu kotanya sendiri, untuk dipasang pada salah satu bangunan di Demak.
Hal serupa itu telah diceritakan tentang Sunan Kudus dalam Serat Kandha. Agaknya ia telah menyuruh mengangkut pintu-
pintu gerbang halaman muka Keraton Majapahit ke Kudus, untuk dijadikan pintu-pintu gerbang masjid. Tentu saja cerita-cerita
ini mungkin dibuat-buat belaka, dengan maksud untuk menonjolkan kesinambungan Kerajaan Majapahit dengan kerajaan-
kerajaan yang kemudian di Jawa. Tetapi cerita-cerita tersebut mungkin pula mengandung kebenaran. Yang dapat disebut lagi
ialah bahwa cerita tutur Jawa Barat mencatat nama seorang ahli bangunan Majapahit, Kiai Sepet, yang mula-mula bekerja
bagi Sultan Demak, dan kemudian, atas perintah Sultan, juga untuk Sunan Gunungjati di Cirebon. Di Cirebon atau di dekatnya
ia telah membangun tempat permakaman bagi orang-orang suci yang beragama Islam. Kiai Sepet ini semula seorang abdi di
keraton Majapahit yang dibawa ke Demak sebagai tawanan. Tidak mustahil bahwa sesudah runtuhnya kota kerajaan lama,
para pemandu budaya (secara paksa) pergi ke Jawa Tengah dan Jawa Barat seperti halnya mereka yang telah pergi ke Bah
bersama seluruh penghuni keraton.

96 Perkawinan Paku Buwana III dengan seorang keturunan Sunan Kudus telah dipandang sebagai salah satu dari mata rantai
yang menghubungkan keturunan raja Mataram di Jawa Tengah dan keturunan-keturunan orang-orang suci dalam aganna



Sementara itu 'pemimpin rohani' yang berderajat tinggi dan penuh semangat tempur
ini, yang diberi nama Sunan Kudus dalam cerita tutur Jawa Tengah, sesudah
menyelesaikan tugas-tugas ketentaraan dalam perang melawan Majapahit pada tahun-
1527, masih bertahun-tahun hidup di Demak sebagai penghulu masjid suci itu, hingga
akhirnya ia mendirikan Kota Kudus, "kota suci", dan pindah sendiri ke kota itu. Menurut
tambo, ia bertindak demikian karena timbulnya perselisihan dengan raja Demak, karena
perbedaan pendapat mengenai permulaan bulan puasa.

Perselisihan dengan raja Demak, yang menyebabkan tokoh yang kelak bernama
Sunan Kudus itu terpaksa angkat kaki dari Demak itu, karena alasan yang lebih dalam
daripada sekadar salah paham tentang permulaan bulan puasa itu. Dapat diduga
bahwa ada iri hati antara yang kelak bernama Sunan Kudus - yang di Demak menjadi
penghulu Masjid Suci - dan Sunan Kalijaga yang dalam pemerintahan Pangeran
Tranggana telah pindah ke Demak dari Cirebon. Sunan Kalijaga adalah seorang dari
keturunan tinggi, yang bertalian darah dengan para penguasa di kota pelabuhan tua,
Tuban. Rupanya, ia disenangi baik oleh yang kelak bernama Sunan Cirebon maupun
oleh yang kelak disebut Sultan Tranggana di Demak. Sunan Kudus, seperti halnya
dengan kerabatnya, Sunan Bonang, terutama adalah seorang ahli dan penyebar
agama.

Tambo Jawa Tengah memuat cerita yang menunjukkan adanya persaingan antara
Sunan Kudus dan Sunan Kalijaga itu. Pangeran Prawata, pengganti Sultan Tranggana
di Demak, konon setelah mula-mula menjadi murid Sunan Kudus, kemudian mengakui
Sunan Kalijaga sebagai gurunya. (Serat Kandha, hal. 466). Dalam buku babad yang
kemudian (Meinsma, Babad, hal. 79-80) bahkan diceritakan bahwa Sunan Kudus telah
menghasut, atau setidak-tidaknya telah memberi kuasa, muridnya yang paling dikasihi,
Aria Panangsang di Jipang, untuk membunuh Pangeran Prawata yang pada waktu itu
menjadi raja yang memerintah di Demak, karena dianggap suatu dosa besar menjadi
murid pada dua guru sekaligus. Cerita-cerita ini ternyata berasal dari lingkungan
"masyarakat orang-orang alim" atau masyarakat santri. Dapat dimengerti bahwa hal itu
juga mencerminkan pandangan dan pendirian kelompok penganut Sunan Kudus. 97

Akhirnya terdapat kemungkinan juga Sunan Kudus meninggalkan Demak karena
keinginan untuk hidup merdeka dan membaktikan seluruh hidupnya untuk
memperdalam ilmu ketuhanan dan melakukan karya-karya yang direstui Tuhan, di luar
lingkungan keraton (Demak). Sukar ditetapkan pada tahun berapa ia mengambil



Islam. Dalam Pigeaud, Literature (jld. I, hlm. 150 dst., dan hlm. 171), dimuat catatan-catatan mengenai keturunan menurut
garis Kanan (Panengen 'yang Islam, yang suci') dan yang menurut garis Kiri ( Pangiwa ‘yang "kafir", yang heroik') bagi raja-
raja Mataram.

97 Ikatan antara guru dan murid diadakan hanya satu kali dan akan tetap ada selama hidup. Keyakinan ini dijunjung tinggi dalam
banyak jemaah-kepercayaan; hubungan semacam itu ada pula dalam peradaban Jawa sebelum zaman Islam. Dalam hal ini
mistik Islam sama sekali tidak mengajarkan barang baru. Nilai tinggi, yang terdapat pada ikatan antara guru dan murid, seperti
yang dinyatakan dalam cerita-cerita babad Jawa yang dikutip dalam buku ini, ternyata sesuai dengan cerita tutur yang
terkenal bahwa orang-orang suci itu adalah guru tasawuf, yang masing-masing mempunyai paham sendiri, yang juga
merupakan inti ajaran mereka.



keputusan yang penting itu. Mungkin sekali itu terjadi beberapa tahun sebelum tahun
1549, tahun yang sesuai dengan tahun 956 Hijriah yang tahun pendiriannya
dicantumkan di atas mihrab masjid besar di Kudus. Dapatlah dimengerti bahwa
pembangunan masjid ini memerlukan waktu beberapa tahun, dan selain itu masjid itu
bukan rumah ibadat pertama yang dipakai oleh ulama itu. Sebuah cerita Jawa (yang
mungkin tidak sepenuhnya dapat dipercaya) menyatakan, Sunan Kalijaga datang dari
Cirebon di Demak pada tahun 1543. Apabila dianggap benar bahwa penghulu Demak -
juga karena rasa tidak senang terhadap Sunan Kalijaga - telah tergerak untuk pindah ke
Kudus, maka tahun 1543 dapat dianggap sebagai batas perhitungan paling awal.
Tahun itu masih berada dalam periode pemerintahan Sultan Tranggana yang pada
tahun 1546 sudah wafat.98

Kudus (kata dalam bahasa Jawa untuk al-Quds, yaitu Baitulmukadis) ialah nama
yang diberikan terhadap tempat itu, waktu tempat itu dinyatakan sebagai "tempat suci"
oleh Sunan Kudus pertama, yang sebelumnya di Demak menjadi imam jemaah.99
Nama yang lebih tua bagi tempat itu ialah Tajug. 100 Letaknya tidak begitu jauh di
sebelah timur laut Demak, pada suatu jalan tua yang menuju ke timur. Tidak ada
petunjuk bahwa pernah ada pelabuhan dagang di sana. 101

Menurut legenda setempat, Mbah Kiai Telingsing-lah yang mula

mula menggarap tempat yang kemudian menjadi Kota Kudus. Beberapa orang
menyebut dia seorang Cina Islam, namanya semula The Ling Sing. Adanya cerita-cerita
yang demikian menunjukkan bahwa tempat itu sudah agak berarti, sebelum dijadikan
"kota suci" oleh Sunan Kudus.102



98 Pada tahun yang sama, 1549 M. (1471 J.), waktu mihrab Masjid Kudus selesai dibuat, menurut cerita tutur Jawa, telah
didirikan juga "keraton” sebagai tempat tinggal "raja imam" di Giri. Orang pasti bertanya-tanya dalam hati apakah persamaan
waktu ini benar-benar hanya kebetulan. Pembunuhan terhadap Sunan Prawata telah memberikan pukulan berat terhadap
kekuasaan duniawi keluarga raja Demak. Menurut satu cerita tutur Jawa, pembunuhnya - Aria Panangsang - melakukan
perbuatan itu karena hasutan penasihat rohaninya, yaitu Sunan Kudus. Sudah jelas bahwa jatuhnya kekuasaan politik
pemerintahan raja di pusat pasti telah memperlicin munculnya kekuasaan-kekuasaan yang setengah merdeka. Pemimpin-
pemimpin rohani itu, yang menginginkan kekuasaan duniawi, dapat memanfaatkan kesempatan tadi untuk memperkuat
kedudukan mereka, begitulah kiranya anggapan orang. Dapat diperkirakan, bangunan-bangunan yang mereka dirikan pada
waktu itu dimaksudkan sebagai tanda akan bertambahnya kekuasaan mereka.

99 Di antara nama-nama kota di Jawa nama Kudus, yang asalnya dari bahasa Arab, merupakan suatu keistimewaan. Memang
ada cerita tutur Jawa yang menyamakan Demak dengan Mekkah, Kadilangu (tempat dimakamkannya Sunan Kalijaga)
dengan Medinah (tempat dimakamkannya Nabi Muhammad saw) dan (mungkin) Pati dengan Mesir (Kairo), tetapi sepanjang
diketahui orang kota-kota tersebut dalam kenyataannya tidak pernah disebut demikian.

100 Tajug berarti "rumah-rumahan (di atas makam) dengan atap meruncing". Gaya bangunan ini agaknya dahulu kala telah mulai
dipakai untuk tujuan-tujuan keramat. Berdasarkan pemikiran itu boleh diperkirakan bahwa tempat yang kelak akan diberi
nama Kudus dahulu (sebelum zaman Islam) telah memiliki sifat kekeramatan tertentu. Nama Tajug terdapat dalam Serat
Kandha, yang diikhtisarkan oleh Brandes (Brandes, Pararaton , hlm. 224-225) dan dalam Codex LOr no. 6379 (mungkin
naskah yang berkesesuaian).

101 Nama kota lain yang agaknya ada hubungannya dengan Tajug/Kudus ialah Undung atau Ngudung. Nama yang sesuai
dengan nama tempat itu adalah sebutan yang diberikan kepada ayah Sunan Kudus, ulama yang memperoleh kemenangan
yang memastikan atas laskar "kafir" raja Majapahit. Letak tempat itu belum diketahui. Tempat itu juga diberitakan dalam
Codex LOr no. 6379. Pemberitaan dalam naskah itu, bahwa Pangeran Ngudung itu adalah anak Pangeran Ngampel, tidak
dapat dipercaya. Menurut daftar keturunan pada Hikayat Hasanuddin, Pangeran Ngudung itu tiga generasi lebih muda dari
Pangeran Ngampel; ia juga bukan keturunan langsung menurut garis lurus.

102 Legenda setempat tentang Kudus terdapat dalam Solichin Salam, Kudus, dan dalarn sumbangan J. Knebel dalam
Oudheidkundig Verslag (tahun 1910, hlm. 140-151). Pemberitaan Solichin Salam tentang Orang-orang Cina Islam itu sesuai



Dari cerita setempat ini - mengenai menetapnya penghulu Demak yang menyingkir
ke tengah-tengah kelompok kecil penduduk yang menghuni pedukuhan pada jalan lama
menuju ke arah timur - dapat juga diambil kesimpulan bahwa yang kelak menjadi sunan
di Kudus itu mula-mula memperoleh penghasilan dari tanah-tanah ladang di sekitarnya,
yang diolah para pengikutnya. Boleh jadi ia sebagai panglima mempunyai kawula-
kawula itu, yang semula milik para penguasa "kafir" di daerah Majapahit yang sudah
ditaklukkannya.103 Juga dapat dimengerti bahwa sebagian barisan santri, yang telah
bertempur di bawah pimpinannya dalam perang jihad melawan "orang-orang kafir" di
Jawa Timur, merasa tertarik oleh pusat kehidupan Islam baru di "kota sucj" itu . 104
Anehnya, tidak ada pemberitaan dalam cerita tutur Jawa tentang penghadiahan tanah
oleh raja Demak kepada para ulama besar di Kudus. Sedangkan para ulama Kadilangu,
yang termasitk keturunan Sunan Kalijaga (mungkin lawan Sunan Kudus), sepanjang
masa hidup dari hasil tanah perladangan, yang telah dihadiahkan kepada mereka oleh
Keraton Demak.

"Kota Suci" Kudus Baitulmukadis sudah terkenal di Jawa dan bahkan di Nusantara
sebagai pusat agama. Masjid besarnya diberi nama al-Manar atau al-Aqsa, seperti
masjid suci di Baitulmukadis bagian Islam. Pengunjung-pengunjung Barat sudah sejak



dengan cerita yang mengisahkan adanya tokoh-tokoh lain dari zaman Islam yang tertua di Jawa, yang keturunan Cina
(Pigeaud, Literature, jil. III, di bawah "Chinese"). Kiai Telingsing yang ditampilkan dalarn cerita Solichin Salam itu ada seorang
pemahat kayu, yang akhirnya hilang dalarn Sungai Sun Ging(?). Perincian-perincian kejadian semacam ini tidak diceritakan
oleh Knebel. Menurut cerita Knebel, ada empat orang bersaudara yang bernama Telingsing, yang ingin mendapat bantuan
Sunan Kudus dalarn mengolah tanah mereka yang masih bera (tandus). Sunan Kudus (yang karena perselisihan dengan raja
Demak tentang hari permulaan puasa telah meninggalkan Demak) dalam perjalanannya ke Ngampel (Surabaya) untuk minta
nasihat kepada gurunya telah berjumpa dengan empat orang bersaudara itu. Sesudah ia kembali dari Ngampel (di sana ia
mendapat gelar susuhunan). ia sebagai Sunan Kudus telah menetap bermukim bersama keempat orang bersaudara itu.
Snouck Hurgronje telah menyatakan bahwa masalah yang tiap tahun lazim menjadi pangkal perselisihan di negeri-negeri
Islam ialah penentuan hari permulaan bulan puasa itu. Sebagai contoh diceritakan Snouck Hurgronje terjadinya selisih paham
antara seorang Sultan Aceh dari paruh kedua abad ke-16 dan Tuwan, seorang ahli agama di Bitay; akhirnya ternyata bahwa
ahli agama itulah yang benar. (Snouck Hurgronje, Atjehers , jil. II, hlm. 324).

Yang masih perlu diberitakan ialah tentang Kiai Cede dari Kudus, yang menurut legenda Jawa Tengah bagian selatan
sebenarnya kakek Jaka Tarub, moyang bagi para pemimpin Sesela, yang mempunyai hubungan kerabat dengan keluarga
raja Mataram yang timbul kemudian (Meinsma, Babad, hlm. 36). Legenda ini mempunyai bagian-bagian yang menyerupai
dongeng atau cerita mitos.

Kota Kudus yang diceritakan dalam legenda itu sukar disamakan dengan "Kota Suci" Islam itu, yang kiranya baru pada paruh
pertama abad ke-16 mendapat nama demikian. Mungkin nama "Kudus" dalarn legenda itu hanya merupakan nama untuk
suatu tanah asal segala asal dalam alam dewa-dewa. Atau mungkin juga nama Kudus yang baru kemudian muncul itu, dalam
legenda secara anakronistis diberikan pada tempat kediaman seorang Kiai Gede, yang mestinya bernaama Kiai Gede Tajug
atau Ngudung?

103 Masalah bahwa para "kawula" dan "orang-orang tergadai" boleh jadi mempunyai kedudukan penting dalarn ekonomi di Jawa
dalarn zaman sebelum Islam telah dibicarakan dalarn Pigeaud, Java jil. IV, hlm. 473 dst.). Tidak ada alasannya untuk
berpendapat bahwa posisi para pekerja yang tergolong "orang-orang tergadai" telah berubah karena pengislaman golongan
para penguasa. Pada abad ke-17, di bawah pemerintahan raja-raja Mataram, masih terdapat "kawula-kawula", yang menurut
kenyataan harus dipandang sebagai pekerja-pekerja tidak bebas (Wertheim, Society, Bab 9). Di Kerajaan Demak, pada abad
ke-16, hubungan-hubungan ekonomi dan kemasyarakatan di daerah pedesaan, kiranya hampir tidak ada bedanya dengan
ikatan-ikatan yang kita dapati di daerah-daerah yang dahulu diperintah oleh maharaja "kafir" Majapahit.

104 Para bekas pejuang "alim" ini kiranya menganggap dirinya sebagai "orang-orang merdeka" (apakah sebagian mereka semula
sebelum mereka masuk Islam, mungkin merupakan "kawula" yang melarikan diri dari tuan-tuan "kafir" merdeka?). Dapat
diduga bahwa "Orang-orang Alim ini", yang menganggap dirinya sebagai "petani bebas", telah mulai membuka ladang di
daerah tanah tidak bertuan (mungkin dengan bantuan "kawula-kawula" yang telah mereka peroleh sendiri dalam peperangan
melawan "orang-orang kalir"), di dekat "kota suci" tempat tinggal pemimpin mereka, yang disanjung-sanjungnya. Yang dapat
dipermasalahkan ialah apakah menetapnya "Orang-orang Alim" bekas pejuang di sekitar "kota suci" di bawah pimpinan
penghulu gagah berani yang telah menyingkir itu menyenangkan pula bagi Sultan Demak, karena dengan demikian ia terlepas
dari kelompok-kelompok yang gelisah dan membahayakan kekuasaannya di dalarn kotanya sendiri, di sekitar Masjid suci
(lihat juga cat. 65).



abad ke-17 (Antonio Hurdt, dalam ekspedisinya ke Kediri pada tahun 1678) mengagumi
menara raksasanya, suatu bangunan yang kukuh tampan dan yang arsitekturnya jelas
diilhami oleh candi-candi zaman pra-lslam. Penduduk "kota suci", Sunan Kudus dan
"orang-orang santri"-nya, ternyata tidak merasa perlu memusnahkan segala sesuatu
yang mengingatkan pada "kekafiran" zaman pra-lslam, atau melupakannya sama
sekali. 105

V-3 Para ulama besar di Kudus

Dalam cerita tutur Jawa, ulama Rahmatu'llahi dari Ngudung, penghulu Masjid
Demak, kadang-kadang disebut juga Sunan Kudus, atau dicampuradukkan dengan dia.
Sunan Kudus pertama yang sebenarnya ialah anaknya. Menurut cerita setempat
(periksa: Solichin Salam, Kudus\ Knebel, Babad Pasir, Rapporten, hal. 150) Sunan ini
konon bernama Ja'par Sidik. Pada mihrab masjid (dengan tahun yang sesuai dengan
tahun 1549) disebutkan (menurut Solichin Salam) "al-qadhi Ja'far Shadiq" sebagai
pendiri masiid.106

Peristiwa-peristiwa penting dalam riwayat hidup Sunan Kudus pertama,
kemenangan dalam perang melawan Majapahit, dan pendirian "kota suci", sudah
dibicarakan di bagian sebelum ini. Uraian tentang hal ini berdasarkan cerita-cerita atau
catatan-catatan dalam karya-karya tulis Jawa saja. Berita-berita Portugis atau Belanda
tentang sejarah Kudus dari abad ke-16 tidak ada. Juga yang berikut ini bersumberkan
buku-buku cerita Jawa dan cerita babad.

Dalam cerita tutur Jawa tampil Sunan Kudus sebagai penyebar agama yang ulung,
yang tidak segan-segan menggunakan kekerasan. Di samping kemenangan dalam
Perang Majapahit, penaklukan Kebo Kenanga di Pengging, para Yang Dipertuan di
Tingkir, Ngerang, dan Butuh di Jawa Tengah sebelah selatan (lihat Bab 11-14), Sunan
Kudus juga melakukan tindakan kekerasan terhadap guru mistik bid'ah Syekh Lemah
Abang, yang akhirnya oleh Majelis Orang Suci dijatuhi hukuman mati. Yang dapat



105 Terus berlangsungnya gaya bangunan dari zaman sebelum Islam ke bangunan-bangunan Islam dari zaman Pesisir, yang
dibangun atas perintah orang-orang suci Islam dan keturunan-keturunan mereka, dapat dibandingkan dengan terus hidupnya
dan berkembangnya seni wayang dan seni gamelan dari zaman sebelum Islam, dan juga terus hidupnya seni sastra puisi
Jawa (yang biasa disebut tembang "kecil") pada abad ke-16 dan ke-17, yang menurut cerita tutur Jawa disebabkan oleh
kegiatan pelbagai tokoh wali. Cerita tutur ini telah dibicarakan dalam Pigeaud, Literature , jil. I, hlm. 245 dst. Menara Kudus
dengan gaya bangunan Jawa dari zaman sebelum Islam merupakan bukti kecenderungan untuk bertahannya peradaban
Jawa. Di bidang seni bangunan masih terdapat beberapa contoh lain lagi tentang bertahannya bentuk-bentuk sebelum zaman
Islam dalam lingkungan masyarakat Islam: pintu-pintu gerbang pada tempat-tempat permakaman keramat Tembayat dan
hiasan-hiasan pada makam-makam keramat di Giri/Gresik dan di Madura (aer Mata). Menurut Solichin Salam, kiranya ulama
inilah "pencipta" tembang Mas Kumambang dan Mijil. Cerita tutur yang menghubungkan irama tembang "kecil" dengan orang-
orang suci dalam agama Islam sudah dibicarakan juga dalam Pigeaud, Literature, jil. I, hlm. 20 dst.

106 Nama Ja'far Shadiq atau Ja'far Sidik terdapat beberapa kali lagi dalam naskah-naskah Jawa; tidak jelas apakah yang
dimaksudkan itu orang yang sama. Dalam Djajadiningrat, Banten (hlm. 26) ayah orang suci Jumadi’I-Kubra disebut dengan
nama itu, dan dalam Codex LOr, no. 1977 (Pigeaud, Literature, jil. II, hlm. 53) orang yang bernama demikian juga dianggap
sebagai penyusun karangan berbahasa Arab tentang penujuman. Kedua pemberitaan ini mungkin saja menyangkut orang
yang sama (sebagai tokoh legenda?). Brandes ( Pararaton , hlm. 22) menyebutkan seseorang dengan nama Ja'far Sidik dari
Lemah Abang, yang melawan Majapahit. Mungkin juga Ja'far Sidik ini adalah Sunan Kudus yang pertama, yaitu pahlawan
dalam pertempuran melawan Majapahit. Menurut cerita tutur yang lazim di kalangan orang Jawa, hubungan antara Sunan
Kudus dan Lemah Abang hanyalah dalam hal tertentu saja, yaitu bahwa ia termasuk orang yang paling keras menentang ahli
mistik Syekh Lemah Abang, yang akhirnya oleh sidang lengkap orangorang suci dihukum mati karena ajaran bid'ahnya.



dibandingkan dengan peristiwa ini ialah cerita tutur tentang tindakannya yang penuh
kekejaman terhadap Syekh Jangkung, yang sedianya akan dihukum mati, karena
Syekh Jangkung berniat mendirikan masjid tanpa izin. Berkat usaha pembelaan Sunan
Kalijaga, jiwa Jangkung masih dapat tertolong; sebagai gantinya salah seorang
pengikutnya terpaksa menjalani hukuman itu. Karena itulah maka Syekh Jangkung
mengikrarkan dendam abadi antara keturunannya dan keturunan Sunan Kudus
(Hooykaas, "Djangkoeng"). Menurut cerita lain, seorang syekh lain, Syekh Maulana dari
Krasak-Malang (dekat Kalinyamat), murid Sunan Gunungjati dari Cirebon, karena telah
berani memberi malu dia dalam pertengkaran mengenai kebenaran mistik, konon juga
dibunuh atas perintah Sunan Kudus ( Rapporten , hal.168-175). Menurut cerita lain lagi,
sebagai akibat kekuasaan Sunan Kudus yang luar biasa, Ki dan Ni Mulak, suami istri,
murid-muridnya sendiri yang telah menjengkelkannya, telah berubah menjadi anjing-
anjing hitam di dalam makam mereka (Codex LOr, No. 89912, koleksi Rinkes).

Terdapatnya bermacam-macam cerita tentang Sunan Kudus itu, walaupun sedikit
sekali yang dapat dipercaya, menjadikan orang berpendapat bahwa Sunan Kudus telah
menimbulkan kesan pada orang-orang sezaman dengan dia maupun yang hidup
sesudahnya sebagai orang yang serba keras tindakannya dan sebagai penyebar
agama yang ulung. Tidak dapat dikatakan bahwa semua ulama besar memiliki sifat-
sifat semacam itu.

Menurut cerita Jawa Tengah yang kemudian, Sunan Kudus sebagai guru agama
mempunyai hubungan yang amat erat dengan Aria Panangsang dari Jipang, sedang ia
telah memperlihatkan sikap bermusuhan terhadap Susuhunan Prawata dari Demak.
Sebelumnya telah disebut cerita bahwa Aria Panangsang diberi kuasa oleh Sunan
Kudus untuk membunuh Susuhunan. Menurut cerita lain ( Serat Kandha , hal. 469), ia
mau mendamaikan kembali Aria Panangsang dari Jipang dengan Jaka Tingkir yang
kelak menjadi Sultan Pajang. Apa yang dituturkan sebagai contoh-contoh tindakan
dalam perkembangan Kerajaan Demak adalah bukti bahwa ulama besar ini mempunyai
kemauan dan perhatian terhadap masalah pemerintahan.

Di kotanya, Kudus, kecuali mendirikan masjid besar dari batu (dengan menaranya),
ia membangun pula sebuah tempat kediaman yang megah bagi dirinya dan
keluarganya. Lebih dahulu telah diberitakan bahwa keraton ini mempunyai masjid yang
lebih kecil, yang sekarang bernama Masjid Suranata. Dapat diterima bahwa memiliki
masjid sendiri dekat keraton pada abad ke-16 dan sesudahnya dipandang sebagai hak
istimewa dan lambang kebesaran dan kewibawaan raja. 107



107 Giri, tempat kedudukan Sunan Giri, juga mempunyai dua masjid, seperti Kudus: kedua masjid itu telah dikunjungi oleh
musafir-musafir Belanda pada abad ke-18 (Hoorn, Notitien; dan Rouffaer, "Encyclopaedie", hlm. 208). Keraton-keraton
Surakarta dan Yogyakarta yang sekarang ini masing-masing juga mempunyai dua masjid: Masjid Besar di Alun-alun Utara
dan Masjid Suranatan. Bangunan-bangunan itu ada persamaannya dengan bangunan-bangunan keramat bagi keluarga, yang
di zaman sebelum Islam agaknya terdapat dekat tempat kediaman pribadi para raja dalam istananya.



Dalam karya tulis Melayu dan Jawa terdapat beberapa ungkapan yang
menunjukkan bahwa di luar Jawa pun Kudus harum namanya sebagai pusat agama
Islam. Meskipun Giri/Gresik dalam hal ini, lebih-lebih di Indonesia bagian timur,
dianggap jauh lebih penting (ini akan dibicarakan pada Bab XI), Kudus dan Giri masih
sebanding.

Pemberitaan Melayu tentang Kudus ditemukan dalam sajak-sajak Hamzah Pansuri,
ulama-pengarang dari Sumatera Utara, yang diterbitkan oleh J. Doorenbos. Di situ
dapat kita baca (Doorenbos, Hamzah Pansuri , hal. 45), bahwa sang pengarang mencari
Tuhan secara berturut-turut di Mekkah, di Baros, dan di Kudus, tetapi akhirnya ia telah
menemukan Tuhan di rumahnya sendiri. Hubungan antara ketiga nama kota ini perlu
mendapat perhatian .108 Dalam bahasa Jawa kisahnya terdapat dalam suatu syair
tentang agama Islam, dalam bahasa Jawa-Sasak, dengan judul "Pangeran Sangu
Pati".109 Dalam sajak itu dibeda-bedakan tiga modalitas agama Islam (di Lombok):
Jawa, Kudus atau Kampung, dan Arab atau Sembawa. Mungkin nama-nama ini ada
kaitannya dengan daerah-daerah yang memasukkan agama Islam ke Lombok. Mungkin
juga ada kaitannya dengan berbagai masjid kepunyaan para pembawa agama, seperti
para pedagang-pelaut yang menetap di kota-kota pantai. Perlu diperhatikan
disebutkannya Kudus, sebagai modalitas khusus, sesudah modalitas Jawa yang umum
dan sudah dikenal itu (bagi pulau-pulau di sebelah timur kiranya yang dimaksud adalah
Jawa Timur, Giri/Gresik, dan SurabavaL1 10



V- 4 Runtuhnya kekuasaan pemerintahan Kudus

Tidak mudah menetapkan dengan teliti kurun waktu berita-berita tersebut di atas ini
menyangkut Kudus sebagai pusat agama. Yang diketahui dengan pasti tentang
kronologi dinasti para ulama di Kudus itu hanya sedikit. Namun, masuk akal jika Kudus
mencapai kejayaannya berkat jasa-jasa Sunan pertama, penyebar agama Islam yang
gagah berani, dan berkat jasa-jasa ayahnya, seorang yang alim.



108 Kalimat-kalimatnya dalam bahasa Melayu berbunyi: "Hamzah Pansuri di dalam Mekkah, mencari Tuhan di bait at-Ka'bah/di
Baros ka Kudus terlalu payah akhirnya dapat di dalam rumah". Baik penerbitnya (Doorenbos, Hamzah Pansuri, hlm. 45)
maupun H. Kraemer telah menolak penafsiran yang sebenarnya dapat diterima juga bahwa penyair telah mengunjungi
Yerusalem di Palestina. Namun, keduanya membenarkan perkiraan yang jauh lebih besar kemungkinannya, yaitu bahwa
penyair tersebut telah datang di Jawa, di pusat keagamaan Islam, yang sangat terkenal di daerahnya. Syed Muhammad
Naguib al-Attas juga menyebutkan Kudus dalam karangannya (Syed, Hamzah, hlm. 8). Menurut dia, "di dalam rumah" harus
diartikan sesuai dengan ungkapan mistik: "(di) dalam hati sendiri".

109 Naskahnya tercantum dalam Pigeaud, Literature, jil. II, hlm. 629.

110 Dalam Pigeaud, Literature (jil. III di bawah "Kudus") telah disebutkan pelbagai tempat dalam kesusastraan Jawa yang
memakai nama Kudus. Penting untuk disebutkan di sini ialah Codex LOr, no. 3050 (Pigeaud, Literature, jil.il, hlm 101): suatu
karangan Jawa tentang pokok-pokok agama Islam ditulis dengan huruf Arab, yang menyebut Susuhunan Kudus sebagai
tokoh paling utama di bidang itu. Agaknya ada kemungkinan bahwa naskah tersebut ditulis pada abad ke-17. Lain daripada itu
dalam kisah "Cabolek" (abad ke-19) yang terkenal itu, yang mungkin disulam dengan cerita-cerita lama, tampil seorang kerib
anom (katib muda: seorang pegawai masjid) dari Kudus dalam perdebatan melawan Haji Amad Mustakim dari Cabolek (di
daerah Tuban) yang telah menyebarkan ajaran-ajaran ekstrem (lihat cat. 169). Dalam teks itu Amad Mustakim telah
dibandingkan dengan Syekh Siti Jenar (yaitu Syekh Lemah Abang) dan Pangeran Panggung, yang telah dibakar di atas api
unggun sebagai orang-orang bid'ah. Beberapa hal dapat dianggap sebagai petunjuk bahwa para ahli agama dari Kudus
terkenal berpegang teguh pada ajaran agama, setidak-tidaknya tidak cenderung ekstrem ke mistik.



Menulut Solichin Salam, kiranya sunan pertama telah meninggal pada tahun 1550
(Solichin Salam, Kudus), Sadjarah Dalem , silsilah keturunan raja-raja Mataram,
menyebutkan tiga penguasa di Kudus, seorang sunan, seorang panembahan, dan
seorang pangeran. Gelar yang kurang tinggi bagi yang kedua dan ketiga itu merupakan
bukti berkurangnya kekuasaan pemerintahan, sesudah meninggalnya sunan pertama
yang bersemangat itu. Kiranya dapat diperkirakan bahwa kemenangan Jaka Tingkir,
Sultan Pajang, atas Aria Panangsang dari Jipang, murid tersayang Suntan Kudus, pada
tahun 1549, sangat merugikan wibawa pemerintahan Kudus di Jawa Tengah.

Menurut cerita Jawa, konon, seorang penguasa di Kudus (mungkin yang kedua itu,
yaitu panembahan) telah memperistri putri dari Giri. Hubungan dengan keturunan
sunan-sunan dari Giri/Gresik, yang pada paruh kedua abad ke-16 masa jayanya,
mengandung kebenaran juga. Hal itu telah mewujudkan hubungan antara dua pusat
keagamaan Islam yang penting di Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Sama sekali tidak diketahui tahun berapa panembahan dari Kudus (menurut
Sadjarah Dalem) diganti oleh pangeran itu. Yang dapat dipercaya ialah bahwa bagi
keturunan para penguasa di Kudus, seperti halnya juga bagi raja Demak terakhir yang
setengah merdeka juga itu, ternyata 1588 merupakan tahun yang tidak
menguntungkan. Kesultanan Pajang, yang didirikan oleh Jaka Tingkir, sebelumnya
seorang abdi Keraton Demak, tampaknya pada perempat ketiga abad ke-16 telah
memperlihatkan sikap bersahabat terhadap "para ulama" di Demak dan Kudus. Pada
tahun 1588, karena meninggalnya Sultan, kekuasaan Pajang jatuh; Panembahan
Senapati dari Mataram mulai memperluas daerahnya. Raja-raja dari Mataram, yang
pada mulanya tidak mempunyai hubungan perkawinan atau apa pun dengan keturunan
raja yang lebih tua di Pesisir, agaknya bertindak sangat keras di pusat-pusat peradaban
Islam yang lebih tua di Pesisir. Lebih dahulu telah dikemukakan bahwa raja Demak
yang terakhir telah melarikan diri karena terus didesak oleh Mataram, mula-mula ke
Malaka, kemudian ke Banten. Masuk akal jika pangeran Kudus yang terakhir mencari
perlindungan di Jawa Timur, mungkin pada sanak-saudaranya di Giri/Gresik, atau di
Tuban, di kalangan mereka yang menghormati Sunan Bonang sebagai orang suci. Para
sunan di Kudus masih mempunyai hubungan keluarga jauh dengan Sunan Bonang dan
Sunan Ngampel Denta di Surabaya.

Di bawah kekuasaan raja-raja Mataram pada abad-abad ke-16, ke17, dan ke-18
ada hubungan pemerintahan antara Demak dan Kudus. Keduanya berada di bawah
kekuasaan para penguasa Mataram. Walaupun berasal dari Mataram, beberapa di
antara bupati itu dalam perang saudara di Mataram ikut menentang kekuasaan tertinggi
di pusat, dan membantu para calon pengganti raja yang memberontak. Sekali
bermukim di "daerah" mereka tampaknya terpengaruh oleh tradisi setempat yang
berakar pada kejayaan masa lampau sebagai kerajaan merdeka. Pangeran Puger,
paman Sultan Agung, sendiri diharuskan tinggal di Kudus ketika ternyata bahwa di




Demak - tempat ia memerintah - ia dikhawatirkan akan memusatkan kekuasaan dan
membahayakan pemerintah pusat (lihat Bab lll-4).1 1 1



111 Yang masih perlu disebutkan ialah bahwa kota Kudus itu pada paruh pertama abad ke-20 ini menjadi tersohor karena pabrik-
pabrik "rokok (kelobot) kretek". Mulai berdirinya usaha orang Jawa yang khas ini (semula merupakan kerajinan rumah tangga)
di kota "orang-orang alim" tentunya dapat dihubungkan dengan adanya masyarakat golongan menengah, yang kuat
modalnya. Orang-orang alim Kudus itu telah mempunyai relasi atau memperluasnya, guna memborong tembakau dan
kelobot, dengan jemaah-jemaah orang-orang alim yang sealiran, dengan orang-orang "kauman" di dusun-dusun, dan desa-
desa di pelbagai daerah Jawa Tengah. Jumlah para haji di daerah-daerah ini pada abad ke-19 dan ke-20 amat besar dan
sebagian anggota "Sarekat Islam" (permulaan abad ke-20) berasal dari orang-orang alim kaum menengah di kota-kota Pesisir
lama di Jawa Tengah.



Bab 6



Sejarah Kerajaan-Kerajaan Kecil di Pantai Utara Jawa
Tengah pada Abad ke-16: Jepara/Kalinyamat



VI-1 Jepara dan Demak, berhubungan erat

Hubungan antara kota pelabuhan Jepara dan ibu kota Demak sekitar tahun 1500
sudah dibicarakan dalam bagian-bagian terdahulu (Bab 11-6 dan Bab IV-2). Di masa
jaya Kesultanan Demak, Jepara juga menjadi tempat tinggal para pedagang dan pelaut,
begitu menurut perkiraan kita. Mungkin Jepara itu kota tua, lebih tua dari Demak. 1 12

Sebagai kota pelabuhan, dengan teluk yang aman, Jepara selalu lebih disukai
daripada Demak; tetapi yang lebih menguntungkan Demak ialah adanya hubungan
yang lebih mudah dengan pedalaman Jawa Tengah. Dari pedalaman harus
didatangkan beras, yang diperdagangkan dengan pedagang seberang di kota-kota
pelabuhan. Sukarnya hubungan dengan tanah pedalamanlah yang menjadi salah satu
sebab jatuhnya Jepara sebagai kota pelabuhan pada abad ke-17. Semarang
menggantikannya.

Kekalahan dalam perang di laut melawan Malaka pada tahun 1512-1513, yang
mengakibatkan (menurut berita-berita Portugis) armada "Pate Unus" dari Jepara nyaris
hancur sama sekali, tidak disebutkan dalam buku-buku sejarah Jawa. Namun, hal itu
tidak diragukan dan dapat diterima, bahwa citra kekuasaan para penguasa Jepara
menjadi berkurang karenanya. 1 13 Tetapi perdagangan lautnya tidak musnah.

Oleh kematian Sultan Tranggana dari Demak pada tahun 1546 tiba-tiba berakhirlah
kemakmuran "kekaisaran" Demak. Menurut laporan penulis Portugis Mendez Pinto



112 . Dalam Pigeaud, Literature (jil. III, di bawah "Jepara" dan "Jung Mara", atau Ujung Mara yang mungkin nama tempat yang lebih
tua) disebutkan cerita-cerita tutur Jawa dalam buku-buku cerita mengenai sejarah legendaris kota pelabuhan itu. Kota tersebut
dahulu tempat kedudukan Sandang Garba, raja para pedagang dalam alam mitos, anak kedua Suwela Cala, penguasa di
"tanah-segala asal" Medang Kamulan (atau, menurut orang-orang lain, cucu Kandi Awan, moyang mereka dalam alam mitos).
Karena perdagangannya, Raja Sandang Garba mempunyai hubungan-hubungan dengan raja-raja seberang laut, dan juga
dengan orang-orang Spanyol. Akhirnya di kota pelabuhannya, Jepara itu, ia diserang dan dikalahkan oleh adik bungsunya,
Dandang Gendis, raja para kaum agama ( Wong rapa) dalam alam dewa-dewa, yang kiranya telah memerintah di Kuripan dan
Jenggala (di delta Sungai Brantas). Kemenangan ini telah dicapai oleh Dandang Gendis berkat bantuan Orang-orang Cina.
Sandang Garba dimakamkan di Tayu. Penduduk-penduduk Jung Mara lalu dipindahkan ke Tuban dan hidup di tempat itu di
bawah kekuasaan Tisna Yuda, seorang penguasa yang berasal dari keturunan Blora. Dengan ingatan yang samar-samar
tentang peristiwa-peristiwa sejarah dari zaman kuno (serangan Cina secara tiba-tiba pada tahun 1292?). Tetapi bolehlah
diambil kesimpulan bahwa kejayaan Jepara sebagai kota pelabuhan - yang dapat dianggap setara dengan Tuban dan Kuripan
di delta Sungai Brantas - memang sudah terkenal sejak dulu. Tidak munculnya Demak dalam legenda ini dapat menimbulkan
dugaan bahwa legenda ini berasal dari masa sebelum zaman Islam. Perlu diberitakan di sini bahwa dalam daftar silsilah yang
disusun di tanah pedalaman Jawa Tengah ( Salasilah ing Kadanurejan, lihat Codex LOr, no. 6686; Pigeaud, Literature, jil. 1 1 ,
hlm. 408). Sandang Garba disebutkan sebagai raja Jepara dan Juwana. Dua kota pelabuhao ini letaknya yang satu di sebelah
barat, dan yang lain di sebelah timur Pegunungan Muria. Mengenai hubungan antara Juwana dan Pati terhadap Jepara dan
Demak sudah diuraikan sedikit dalam Bab IV-2.

113 Seorang gubernur Portugis di Malaka, tidak lama sesudah kekalahan armada Jepara pada tahun 1512-1513, telah mengirim
berita kepada rajanya di Portugal bahwa pendapatnya orang-orang Portugis akan mampu merebut semua kota pelabuhan
Jawa dengan kekuatan armada dan laskar kecil, agar dengan jalan demikian terhenti perluasan daerah agama Islam
(Rouffaer, "Majapahit", hlm. 122).



(yang hanya sedikit dapat dipercaya), sesudah pertempuran berdarah antara para calon
pengganti raja di ibu kota Demak, para penguasa kerajaan yang terkemuka berkumpul
di Jepara untuk memusyawarahkan hari depannya. Berita itu dapat dipercaya. Kecuali
cerita-cerita yang bersifat legenda (lihat, cat. 108), pemberitaan-pemberitaan (yang
lebih dapat dipercaya) tentang Jepara dalam kisah-kisah Jawa dimulai dengan berita
mengenai didirikannya Kalinyamat. Kota Kalinyamat kira-kira 18 km dari Jepara masuk
ke pedalaman, di tepi jalan ke Kudus, pada abad ke-16 menjadi tempat kedudukan raja-
raja kota pelabuhan itu.1_1_4 Menurut cerita, yang mendirikan tempat itu ialah seorang
Cina, nakoda sebuah kapal dagang yang kandas di tepi pantai. Sesampainya di Jepara
(Jung Mara) dalam keadaan melarat, ia diislamkan oleh Sultan Kudus. Tidak lama
kemudian ia mendirikan pedukuhan di tepi jalan antara Kudus dan Jepara yang lama-
kelamaan dapat dikembangkannya, sehingga maju.115 la menempatkan diri di bawah
kekuasaan Sultan Tranggana dari Demak, dan mendapat salah seorang putri Sultan
Tranggana sebagai istri. Pasti putri itulah yang pada silsilah dinasti Demak (lihat Bab III-
1) tercatat sebagai Ratu Aria Jepara atau Ratu Pajajaran. Dalam cerita-cerita babad
Jawa Tengah ia disebut Ratu Kalinyamat. 1 16

Bagaimana kekuasaan politik di kota pelabuhan tua Jepara dapat jatuh ke tangan
penguasa baru bangsa Cina di Kalinyamat tidak dikisahkan dalam cerita-cerita. Yang
diceritakan ialah, bahwa Ki Kalinyamat, seperti juga iparnya, Sunan Prawata dari
Demak, dibunuh oleh Aria Panangsang dari Jipang yang ternyata bertekad untuk
membinasakan semua saingannya dalam usaha menduduki tahta kerajaan Almarhum
Sultan Tranggana. Makam Ki Kalinyamat dan istrinya, Sang Ratu, yang sesudah



114 Reruntahan keraton Kalinyamat (untuk sementara) telah dilukiskan oleh Dr. Bosch, (Bosch, "Kali Nyamat”) berdasarkan
keterangan Th.C.Leeuwendaal bahwa di daerah itu terdapat tempat-tempat yang bernama Kriyan, Pacinan, Kauman, dan
Sitinggil. Pada bulan September 1678, Antonio Hurdt, waktu ia mengadakan ekspedisi dari Jepara ke Kediri, melihat kolam
dengan banyak kura-kura jinak di dalamnya, di dekat Kalinyamat (Graaf, Hurdt, hlm. 110). Sejak zaman dahulu kotam dengan
kura-kura itu merupakan bagian dari taman istana kerajaan Jawa.

115 Codex LOr, no. 6379 (Pigeaud, Literature, jil.lll, hlm. 356-363) memuat pemberitaan yang aneh dan panjang lebar mengenai
pengalaman-pengalaman seorang Cina yang mendirikan Kalinyamat, yang nama Cinanya (sesudah dijawakan) Wintang, dan
sesudah masuk Islam di Kudus lalu memakai nanra Rakit. Secara tegas diberitakan bahwa si korban kecelakaan kapal, yang
telah kehilangan segala harta miliknya itu, di Kudus lalu ditolong dalam pelajaran bahasa setempat oleh orang yang setanah
asal dengan dia, dan yang telah masuk Islam lebih dulu, Rakim namanya. Cerita ini agaknya layak dipercaya; kedudukan
penting, yang telah ditempati oleh "orang-orang Cina" yang telah bertobat (masih belum diketahui, mereka itu berasal dari
daerah pantai yang mana dari Indocina atau Cina sekarang) sejak abad ke-15 di daerah-daerah pantai Jawa, yang makin
lama makin menjadi daerah Islam itu, telah berkali-kali diberitakan. Mungkin korban kecelakaan kapal yang telah bertobat itu
di Kudus secara materiil telah ditolong dengan hasil "zakat", yaitu sumbangan keagamaan yang oleh hukum Islam diwajibkan
bagi "orang-orang alim", yang antara lain dimaksudkan untuk membiayai keperluan-keperluan serupa itu. Cerita-cerita
tentang "orang-orang Cina", dan pemberitaan tentang pendiri Kahnyamat ini dalam Codex LOr, no. 6379 (salinan naskah
KBG, no. 7 di Museum Nasional di Jakarta), menimbulkan dugaan bahwa naskah ini setidak-tidaknya berasal dari lingkungan
orang-orang Islam di sebuah kota pelabuhan Jawa Tengah (mungkin juga Jepara sendiri), yang pada abad ke-17 dan ke-18
masih mengingat baik-baik bahwa sebagian dari golongan penduduk terkemuka yang berdagang berasal dari orang "Cina".

116 Perkawinan anak perempuan Sultan Tranggana dari Demak dengan "orang Cina", juragan kapal, yang telah masuk Islam,
merupakan contoh "percampuran darah" dan pemerataan masyarakat, yang telah terlaksana di Jawa karena datangnya
agama Islam yang diterima baik belum lama sebelumnya. Kedudukan penting, yang ditempati kisah-kisah petualangan Islam
dalam kesusastraan Jawa pada zaman Pesisir, telah mendapat perhatian dalam Pigeaud, Literature, jil.l, hlm. 219 dan
seterusnya. Perkawinan-perkawinan antara petualang-petualang yang penuh semangat dan gadis-gadis dari kalangan
bangsawan yang tertinggi dalam cerita-cerita itu hampir-hampir tidak dianggap luar biasa, asal saja agama Islam oleh kedua
belah pihak diakui sebagai pedoman hidup mereka. Sebaliknya, menurut cerita tutur, Sultan Tranggana sendiri adalah
keturunan pelaut dari "Cina", yang mungkin pada perempat terakhir abad ke-15 - jadi belum lagi genap 75 tahun sebelumnya -
di Gresik untuk pertama kali menginjakkan kakinya di bumi Jawa (lihat Bab 11-03). Jadi, ada kemungkinan bahwa ia telah
mengetahui juragan Wintang/Ki Rakit itu adalah orang yang setanah asal dengan dia.



kematian suaminya masih hidup berpuluh-puluh tahun, ditemukan di tempat
permakaman Mantingan, tidak jauh di sebelah selatan Jepara. Mungkin ia
memerintahkan membangun makam itu sewaktu hidup menjanda, ketika ia berkuasa
sebagai ratu Jepara. 1 17



VI-2 Ratu Kalinyamat, ratu Jepara

Menurut cerita Jawa, sesudah Ki Kalinyamat meninggal, jandanya mengucapkan
sumpah untuk tetap tidak berpakaian (hanya menutup tubuhnya dengan rambutnya
yang panjang terurai) selama pembunuh suaminya, Aria Panangsang, masih hidup.
Selama itu ia mengundurkan diri dan berdiam di Gunung Danareja. Sumpahnya
terpenuhi dengan kemenangan Jaka Tingkir dari Pajang atas Aria Panangsang dari
Jipang. (Cerita tutur tidak memberitakan bahwa Ratu kemudian menjadi istri Jaka
Tingkir. Mungkin Jaka Tingkir memang iparnya, kawin dengan salah seorang putri
Sultan Tranggana dari Demak, atau semula kawin dengan putri itu, seperti yang
disebutkan dalam salah satu cerita babad) . 1 18

Bagaimanapun semuanya itu berlangsung, menurut berita Portugis, ratu Jepara
tersebut merupakan tokoh penting di pantai utara Jawa Tengah dan Jawa Barat sejak
pertengahan abad ke-16. Pada waktu itu Sultan Pajang, Jaka Tingkir; yang akrab
dengannya, telah mengambil alih kekuasaan di pedalaman Jawa Tengah dari raja
Demak; Ratu itu tidak perlu khawatir lagi mendapat serangan dari pedalaman.



117 Tempat permakaman Mantingan atau Pamantingan dekat Jepara telah dilukiskan dalam Oudheidkundig Verslag. Mihrab pada
masjid di dekatnya dapat ditanggalkan karena sebuah batu di dalamnya memuat inskripsi candra sengkala: rupa-
brahmanawarna-sari. Candra sengkala ini jelasnya menunjukkan tahun Jawa 1481(1559 M.; lihat Oudheidkunda'g Verslag).
Tahun 1559 ini, sepuluh tahun sesudah meninggalnya Sunan Prawata dan Ki Kalinyamat, termasuk kurun waktu
pemerintahan Ratu Kalinyamat di Jepara. Gaya hiasan di Mantingan, seperti juga menara di Kudus, dengan mencolok
mengingatkan kembali kepada masa "kafir" sebelum zaman Islam. Tahun Jawa 1481 ini juga diperhitungkan menurut tahun
Saka sebelum zaman Islam. Penyesuaian tahun Saka (yang mulai pada tahun 78 M.) dengan tarikh Islam (tahun berdasarkan
bulan) memang dianggap hasil usaha Sultan Agung dari Mataram, pada paruh pertama abad ke-17. Menurut kenyataan,
perhitungan tahun Jawa Islam yang aneh ini sebelum itu sudah dipakai dan kemudian diresmikan olehnya (Pigeaud,
Literature, jil. I, hlm. 32). Di Jepara keinginan untuk melestarikan peradaban Jawa ternyata kuat, seperti juga di daerah-
daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur lain. Ada kemungkinan, Pamantingan itu sebelum zaman Islam sudah menupakan
tempat keramat, tempat orang menghormat seorang dewi, yang terkenal dengan nama Nyai Lara Kidul (lihat cat. 18). Mungkin
orang-orang Jawa abad ke-1 7 telah mencari kaitan-kaitan tertentu antara dewi dalam cerita mitos itu dan tokoh legenda Ratu
Putri dari Jepara, yang armada-armadanya menguasai semua lautan.

118 Cerita, yang dalam cerita-cerita Babad Jawa Tengah diromantisir, mengenai kematian Sunan Prawata dari Demak dan
pertempuran antara Aria Panangsang dari Jipang dan Jaka Tingkir dari Pajang, beserta karangan-karangan Brandes dan
Rinkes yang berkaitan dengan cerita-cerita itu, telah dikemukakan dalam cat. 73 sebelum ini. Sampai di mana legenda
tentang sumpah janda itu berdasarkan kebenaran tentu saja tidak dapat diteliti lagi. Gunung (Bukit) Danareja itu adalah suatu
tanjung, yang menjorok ke laut di sebelah utara Jepara. Pada abad ke-17 pelaut-pelaut Belanda telah melihat benteng-
benteng pertahanan di situ; pada tahun 1677 bangunan-bangunan ini ternyata kuat menahan serangan pengepungan orang-
orang Madura di bawah pimpinan Trunajaya. Pada paruh pertama abad ke-19 di tempat itu oleh Kompeni didirikan benteng
segitiga, yang reruntuhannya masih dapat ditunjukkan (tembok berkeliling dengan sarang-sarang penyerangan berupa bastion
dan pintu gerbang). Dapat diperkirakan bahwa Ratu Putri itu waktu itu telah menjadi janda dan khawatir kalau-kalau mendapat
serangan dari Aria Panangsang, mengungsi dari Kalinyamat ke bukit yang telah diperkuat tersebut. Bukankah Kalinyamat
terletak dekat saja dari Kudus, dan bukankah Sunan Kudus adalah sahabat.Aria Panangsang? Selain itu legenda tentang
Ratu Putri di atas bukit yang tidak berbusana dan yang menunggu-nunggu datangnya bantuan, mengingatkan kita pada
dongeng, atau bahkan kepada mitos tentang Ratu Putri di Laut Selatan, Nyai Lara Kidul, yang merupakan kepercayaan orang-
orang di daerah sepanjang pantai selatan Jawa (chat juga cat. 113 dan cat. 18). Adapun gunung dengan namanya Danareja
yang sukar dijelaskan itu, diketahui bahwa di Brebes agaknya orang kenal akan "makam" Pangeran Danareja (Codex LOr, no.
7545; Pigeaud, Literature, jil. III, hlm. 18).



Tidak ada kepastian bahwa selama memegang pemerintahan alas Jepara, ratu
tersebut selalu bertempat tinggal di Kalinyamat. Di pelabuhan ada juga sebuah keraton,
yang di lingkungan Belanda pada permulaan abad ke-17 dikenal sebagai Koningshof
'istana raja'. Mungkin beliau bersemayam di sana; Kalinyamat mungkin dijadikan istana
peristirahatan. Hal ini dapat dibandingkan dengan hubungan antara Prawata dan
Demak.

Ratu Kalinyamat sendiri tidak mempunyai anak. Tetapi dari cerita-cerita tutur Jawa
ternyata ia menjadi pusat keluarga Demak yang telah bercerai-berai sesudah
meninggalnya Sultan Tranggana dan Sunan Prawata. Kemenakannya, Pangeran Kediri
atau Pangeran Pangiri - mungkin di bawah perlindungan sukarela pamannya Sultan
Pajang - masih dapat berkuasa sekadarnya di Demak. Sunan Gunungjati dari Cirebon
ialah pamannya, yang kawin dengan saudara perempuan Sultan Tranggana. Putra
Sunan Gunungjati, Hasanuddin (raja Banten), adalah iparnya. Ratu Kalinyamat ternyata
mengasuh kemenakannya, putra Hasanuddin dari Banten. Pemuda ini diberi nama
Pangeran Aria dan kemudian Pangeran Jepara ; di Jepara ia diperlakukan sebagai
"putra mahkota"; dan setelah bibinya (Ratu Kalinyamat) meninggal, ia memegang
kekuasaan di kota pelabuhan itu. Hal ini disimpulkan dari yang dikisahkan dalam
Sadjarah Banten.

Dalam pemerintahan Ratu pada perempat ketiga abad ke-16, perdagangan Jepara
dengan daerah seberang menjadi ramai sekali.1J_9 Menurut berita Portugis, kekalahan
dalam perang di laut melawan Malaka pada tahun 1512 - 1513 telah menghancurkan
sebagian besar armada kota-kota pelabuhan Jawa. Dapat diduga kerugian ini lama
kelamaan pulih kembali. Sudah pasti bahwa armada Jepara - bersatu dengan kapal-
kapal raja Melayu di Johor - pada tahun 1551 melancarkan lagi serangan terhadap
Malaka, yang juga gagal. 120 Pada tahun 1574 diadakan, untuk ketiga kalinya,



119 Sejarah ekonomi kota-kota pelabuhan Jawa pada abad ke-16 telah dibicarakan dalam Meilink-Roelofsz, Asian Trade (hlm.
103-115), dengan menggunakan keterangan-keterangan yang terdapat pada Suma Oriental, karangan Tome Pires. Lebih
dahulu dalam buku ini telah kita nyatakan bahwa pertempuran-pertempuran laut dalam perebutan Malaka pada tahun-tahun
1512-1513, 1551, dan 1574-1575, yang sangat berkesan pada orang-orang Portugis, tidak diberitakan dalam cerita-cerita
sejarah Jawa. Alasan utama mungkin adalah kekurangan perhatian pada masalah-masalah perekonomian dan perdagangan
dari pihak para pengarang Jawa dan para penutur cerita Jawa. Bagi mereka serta para pembaca dan pendengar cerita-cerita
itu, tidak ada yang lebih menarik daripada perbuatan-perbuatan tokoh-tokoh penting, raja-raja dan orang-orang suci, dan juga
nenek moyang dan keturunan-keturunan mereka. Dapat juga diduga bahwa ekspedisi-ekspedisi ke seberang lautan yang
dilakukan para raja kota-kota pelabuhan Jawa merupakan suatu bahaya besar bagi orang-orang Portugis di Malaka, namun
kegagalan para raja dianggap sepi saja di Jawa, seperti halnya kerugian-kerugian akibat bencana-bencana lain (gempa bumi,
banjir, dsb.), tanpa menimbulkan gangguan-gangguan yang berarti terhadap jalan kehidupan masyarakat. Hanya serangan-
serangan yang penuh kebengisan terhadap bumi Jawa, yang dilakukan oleh orang-orang asing, itulah yang tetap hidup dalam
cerita-cerita tutur sebagai kenang-kenangan pahit. Serangan-serangan orang Cina pada tahun 1292 dan oleh orang Belanda
pada permulaan abad ke-17 telah dicatat oleh sejarah. Karenanya, dapat diperkirakan bahwa cerita Ajisaka akhirnya akan
terbukti mempunyai dasar yang nyata juga (Pigeaud, Literature, jil. III, hlm. 165).

120 Perang-perang di laut telah diuraikan dalam tulisan-tulisan sejarah Portugis, yang telah dikumpulkan oleh De Couto (Couto,
Da Asia , jil. VI, hlm. IX dan 5 dan jil. VIII, hlm. XXI); juga Tiele (Tiele, "Europeers", bagian III, hlm. 320-321) menaruh banyak
perhatian pada soal itu. Dalam pada itu, Sultan 'Ala ad-Din Shah yang tersohor itu, yang telah membuat Kerajaan Aceh-nya
menjadi kerajaan yang sangat berkuasa di laut, pada tahun 1547 telah pula melakukan serangan terhadap Malaka, tetapi
gagal. Pada tahun 1564 ia telah berhasil menduduki Johor, dan pada tahun itu juga dengan perantaraan perutusannya ia
mengajak Demak untuk bersama-sama menyerang Malaka. Tetapi raja Demak ini, boleh jadi Pangeran Kediri, pengganti
Susuhunan Prawata, kiranya menolak usul Aceh ini (lihat Bab 111-3). Serangan 'Ala ad-Din yang terakhir terhadap Malaka,
pada tahun 1568, juga gagal, sekalipun ia telah menggunakan meriam berkaliber berat atas bantuan Sultan Turki. Utusan-



serangan oleh armada Jepara yang kuat, dalam usaha merebut Malaka. Setelah
mengadakan pengepungan selama tiga bulan, pemimpin armada kali ini pun terpaksa
kembali ke Jawa dengan tangan hampa.121

Berita Portugis lainnya melaporkan hubungan antara Ambon dan Jepara.
Pemimpin-pemimpin "Persekutuan Hitu" di Ambon ternyata beberapa kali minta
bantuan Jepara melawan orang Portugis dan juga melawan suku lain yang masih
seketurunan, yaitu orang-orang Hative. Zaman para pelaut Jepara banyak berpengaruh
dan bertindak keras di Ambon itu tetapi hanya terbatas sampai perempat ketiga abad
ke-16, yakni semasa pemerintahan Ratu Kalinyamat. Sesudah itu orang Jawa yang
bertindak terhadap orang Portugis di Ambon adalah pengikut Sunan Giri.122 Selain
catatan Portugis, Hikayat Tanah Hitu karangan Rijali, dalam bahasa Melayu Ambon,
juga merupakan sumber tentang hubungan antara orang-orang Jawa dan Ambon.
Buku-buku sejarah Jawa sama sekali tidak memberitakan peristiwa-peristiwa ini. 123

Tahun meninggalnya Ratu Kalinyamat tidak dicantumkan dalam karya-karya tulisan
Jawa, la dimakamkan dekat suami Cinanya di permakaman Mantingan dekat Jepara,
yang mungkin dibangun atas perintahnya sendiri, sesudah ia menjadi janda pada tahun
1549, mungkin hampir tiga puluh tahun sebelum ia meninggal. 124



VI-3 Tahun.tahun terakhir dinasti Jepara

Selama pemerintahannya atas Jepara yang cukup lama itu, agaknya Ratu
Kalinyamat dihormati sebagai kepala keluarga Demak yang sebenarnya. Kekuasaan
duniawi raja Demak yang terakhir, Pangeran Kediri, sangat sedikit; dan kekuasaan raja-
raja Cirebon dan Banten baru saja muncul. Mungkin saja kekuasaan ratu di daerah-
daerah Pasisir sebelah barat juga karena harta kekayaannya yang bersumber pada



utusan Venesia telah bertemu dengan utusan Aceh di Konstantinopel pada tahun 1562, yang datang untuk minta bantuan
Sultan terhadap orang-orang kafir. Pengganti sultan besar itu, 'Ali Ri'ayat Shah, setelah armada Jepara mengundurkan diri
karena gagal serangannya, telah mencoba lagi pada tahun 1575 merebut Malaka dengan pejuang-pejuang Aceh lainnya,
tetapi serangan ini gagal juga. Juga pada tahun 1574-1575 itu tidak ada kerja sama antara orang-orang Jawa dari Jepara dan
orang-orang Aceh.

121 Laksamana armada Jepara oleh orang-orang Portugis diberi nama Ouilidamao. Mungkin nama ini merupakan blasteran untuk
Kiai Demang, gelar Jawa. Di Jepara gelar Kiai Demang Laksamana diberikan kepada pemimpin armada dan pemimpin laskar
perang. Sesudah masa pemerintahan Ratu Kalinyamat, gelar tinggi ini masih diberikan juga pada tahun 1619 kepada bupati
Jepara, yang ikut berperang merebut Tuban, dan pada tahun 1677 sekali lagi kepada bupati Karti Yuda (Hoorn, Notitie, hlm.
14).

122 Lihat Couto, DaAsia, jil. VIII, hlm. XXV dan 196; jil. VII, hlm. X dan 543

123 Hikayat Tanah Hitu karangan Rijali telah banyak dipakai oleh Valentijn dalam menulis buku sejarahnya. Tentang hidup Rijali
ini diceritakan Valentijn pula hal-hal yang khusus. Lama sekali edisi Melayu buku Rijah tersebut dianggap hilang. Tetapi
sekarang sudah tersedia sebuah salinan naskah ini (Codex LOr, no. 8756) yang tersimpan di Perpustakaan Universitas
Leiden. Pada tahun 1977 diterbitkan sebuah disertasi yang membahas naskah edisi Melayu itu (Manusama, Hikayat).

124 Raden Ajeng Kartini, wanita Jawa lain yang namanya tidak dilupakan, dan yang juga mempunyai hubungan dengan Jepara,
dalam kumpulan catatannya (Kartini, Door duisternis) telah bercerita tentang kunjungannya ke tempat permakaman
Mantingan. la diberitahu bahwa "Sultan Mantingan" pernah pergi ke Cina, dan bahwa ukir-ukiran dalam rumah-rumahan di situ
agaknya juga berasal dari Cina. Pemberitaan ini dapat diragukan, tetapi membuktikan juga bahwa pada permulaan abad ke-
20 ingatan pada pengaruh kebudayaan Cina di Jepara masih hidup.



perdagangan yang sangat menguntungkan dengan daerah seberang, di pelabuhan
Jepara.

Pada tahun 1579, Pakuwan Pajajaran - kota dalam Kerajaan Sunda di Jawa Barat
yang belum masuk Islam itu - ditaklukkan oleh tentara Islam raja Banten. Mengenai
kejadian ini buku-buku sejarah di Banten, misalnya Sadjarah Banten dan Hikayat
Hasanuddin, memuat keterangan yang cukup. Pangeran Jepara, anak Hasanuddin dari
Banten, ternyata tidak ikut dalam ekspedisi melawan Pajajaran, dan Ratu Kalinyamat
juga tidak disebut. Ada kemungkinan bahwa pada tahun 1579 Ratu Jepara baru saja
meninggal dan bahwa kemenakannya, sekaligus anak angkatnya, Pangeran Jepara,
telah menggantikannya sebagai raia.125

Pada tahun 1580, Molana Yusup, raja Banten dan pahlawan yang merebut
Pajajaran, meninggal, la meninggalkan hanya seorang anak laki-laki yang masih di
bawah umur. Menurut para penulis sejarah di Banten, Pangeran Jepara - saudara raja
yang telah meninggal itu - telah menuntut haknya atas tahta Kerajaan Banten, la
bersama Demang Laksamana, panglima armada, pergi dari Jepara ke Banten. Tetapi di
Banten, Laksamana (sama orangnya dengan yang pada tahun 1574 bertempur
melawan Malaka?) menemui ajalnya dalam perkelahian melawan perdana menteri
Banten, dan Pangeran Jepara terpaksa kembali ke kerajaannya sendiri. Dengan
peristiwa itu berakhirlah pengaruh pemerintahan Jepara di Jawa Barat. Sejak itu
kerajaan-kerajaan Jawa Barat - Banten dan Cirebon - menempuh jalan sejarahnya
masing-masing.

Tahun 1588, yang membuka jalan bagi Senapati Mataram untuk memperluas
kekuasaannya di Jawa Tengah setelah meninggalnya Sultan Pajang, mungkin
merupakan tahun sial bagi raja-raja terakhir di Demak dan di Kudus. Tetapi agaknya
masih beberapa tahun berlalu sebelum prajurit-prajurit Mataram dari pedalaman Jawa
Tengah muncul di Kota Jepara. Mungkin mereka masih merasa gentar melihat benteng
yang mengelilingi kota dan benteng yang di Gunung Danareja. Pada akhir abad ke-16,
menurut pelaut-pelaut Belanda ( Eerste Schipvaert, jil.l, hal. 103), kebanyakan kota
pelabuhan di Jawa dikelilingi tembok batu atau kayu, pada sisi yang menghadap daerah
pedalaman.

Pada dasawarsa terakhir abad ke-16, kekuasaan raja Jepara di laut masih
dihormati. Pada tahun 1593 ia telah memerintahkan menduduki Pulau Bawean di Laut



125 Menurut cerita tutur Banten yang cukup tua (lihat Bab 111-1), Ratu Kalinyamat memakai nama Ratu Pajajaran. Sudah pasti
bahwa ia tidak pernah memerintah Pajajaran. Apabila cerita tutur ini mempunyai dasar kebenaran, maka dapat diduga bahwa
di Keraton Demak pada pertengahan abad ke-16 sudah ada kebiasaan untuk memberikan nama gelar kepada para pangeran
atau putri keturunan raja yang menunjuk ke daerah-daerah yang jauh letaknya (mungkin dengan harapan agar mereka yang
memakai gelar demikian itu kelak dalam hidupnya benar-benar akan mendapatkan daerah tersebut). Nama gelar Pangeran
Kediri, nama gelar bagi anak dan sekaligus pengganti Susuhunan Prawata dari Demak, juga merupakan contoh pemberian
nama serupa itu. Kebiasaan ini telah diambil alih oleh raja-raja di Mataram. Pangeran Mataram pertama yang diberi sebutan
Pangeran Puger ialah anak Panembahan Senapati. Tidak ada alasannya untuk mengakui bahwa sekitar tahun 1600
kekuasaan Mataram sudah meluas sampai meliputi daerah Puger yang amat jauh letaknya itu, yaitu di pedalaman Jawa
Timur.



Jawa dengan armadanya. Pada tahun 1598 ia menimbulkan kesan pada orang Belanda
seakan-akan memiliki sarana kekuasaan yang luar biasa ( Eerste Schipvaert, jil. I, hal.
103).

Ada kemungkinan, serangan laskar Mataram yang sudah diperkirakan itu datang
pada tahun 1599; dan berakhirlah pemerintahan Pangeran Jepara. Dalam suatu surat
berbahasa Belanda pada tahun 1615 (Colenbrander, Coen, jil. VII, hal. 45) terdapat
kata-kata tentang destructie 'penghancuran' kota Jepara. Serangan Mataram dari
pedalaman ke kota-kota pelabuhan Pasisir yang makmur itu telah mengakibatkan
kerusakan yang berat. Tidak mustahil, Jepara juga menjadi korban amukan gerombolan
itu. Mungkin pada kesempatan tersebut istana Kalinyamat juga dihancurkan.

Tidak ada kabar tentang nasib keluarga raja Jepara. Dalam pemerintahan raja-raja
Mataram, kota pelabuhan itu - yang diperintah oleh seorang bupati yang diangkat oleh
raja- pada abad ke-17 masih agak lama berfungsi sebagai tempat pertemuan antara
pihak Jawa dan pihak Belanda dari Jakarta. Akhirnya peranan itu diambil alih oleh
Semarang. 126



126 Masih perlu diberitakan bahwa Jepara dalam abad ke-19 dan ke-20 telah menjadi terkenal berkat pembuatan perabot-perabot
dan barang-barang keperluan rumah tangga lainnya dari kayu yang dihiasi ukir-ukiran yang penuh bergaya seni. Rumah-
rumah Jawa kuno di Kudus sekarang (atau dahulu) sering juga mempunyai dinding depan dari kayu dengan pintu dan jendela-
jendela, yang semuanya diberi bingkai kayu dengan ukir-ukiran indah. Penduduknya, pedagang-pedagang dan pengusaha-
pengusaha kayu, yang tergolong lapisan menengah "yang saleh", dengan hiasan-hiasan ini ingin menyatakan kemakmuran
mereka dalam kehidupan masyarakat. Orang boleh bertanya-tanya dalam hati apakah kesenian mengukir kayu, yang telah
mencapai tingkat perkembangan tinggi di Kudus dan Jepara mungkin juga berasal dari kalangan orang-orang Cina
pendatang, yang pada abad ke-15 dan ke-16 (dan mungkin sudah sebelumnya) sudah banyak terdapat di daerah-daerah ini.
Dalam legenda Jawa mengenai penduduk ash di daerah itu, tempat didirikannya "kota suci" Kudus kemudian, tampil juga
seorang utas pengukir kayu.



Bab 7



Riwayat Kerajaan-Kerajaan di Jawa Barat pada Abad
ke-16: Cirebon



VII-1 Berita lama tentang hubungan antara Jawa Tengah serta Timur dan Jawa

Barat, legenda dan sejarah

Terlalu sedikit diketahui tentang sejarah Jawa Barat dari zaman sebelum Islam.
Karya-karya tulisan Sunda kuno, yang mestinya dapat memberikan keterangan-
keterangan, tersimpan dalam keadaan yang menyedihkan sehingga sukar diselidiki.

Sudah sejak zaman pra-lslam Jawa Barat terpengaruh oleh peradaban Jawa.
Karena penyebaran agama Islam oleh orang Jawa yang telah merebut daerah
sepanjang pantai utara (perebutan daerah ini akan dibicarakan dalam bagian-bagian
berikutnya), bahasa Sunda sebagai bahasa tulis untuk waktu lama telah terdesak oleh
bahasa Jawa. Baru pada abad ke-18 dan ke-19 menulis dalam bahasa Sunda mulai
menjadi kebiasaan lagi. Balada-balada dan sajak-sajak kepahlawanan dalam bahasa
Sunda, yang ditulis pada abad ke-19, memuat beberapa cerita legenda tentang zaman
dahulu (prasejarah). Bagi sejarawan, legenda-legenda ini sedikit saja artinya. 127

Hanya dua legenda Jawa yang perlu diberitakan di sini, yaitu yang mengisahkan
adanya hubungan antara Jawa Barat dan Jawa Timur. Satu dari dua cerita ini
menganggap bahwa berdirinya kota kerajaan Majapahit itu berkat usaha seorang
pangeran Sunda, yang konon terpaksa melarikan diri dari tanah asalnya. Legenda ini
mempunyai beberapa versi, yang termuat dalam buku-buku cerita (Serat Kandha) dan
cerita-cerita babad, baik di Jawa Tengah dan Jawa Timur maupun di Jawa Barat. Tidak
diketahui apa yang menjadi dasar penyusunannya; legenda itu tidak didasarkan pada
cerita sejarah yang sudah dikenal dari tulisan Jawa yang lebih dapat dipercaya. 128

Cerita lain tentang hubungan antara orang Sunda dan orang Jawa Timur terdapat
dalam balada-balada Jawa atau Jawa-Bali, boleh jadi dari abad ke-15 atau ke-16, yang
melukiskan suatu ekspedisi raja Sunda ke Majapahit, dan kekalahannya dalam
pertempuran melawan raja Jawa. Seorang putri Sunda, yang seharusnya diperuntukkan
bagi raja Majapahit, memegang peranan penting dalam legenda ini.

Juga tentang cerita ini kebenaran sejarahnya diragukan secara menyeluruh atau
sebagian.129



127 Perkembangan kesusastraan Sunda telah dibicarakan dengan singkat dalam Pigeaud, Literature, jil.l, hlm. 143 dst.

128 Sejarah yang bersifat legendaris mengenai pangeran asal Sunda, pendiri Majapahit, telah dibicarakan dengan singkat dalam
Pigeaud, Literature, jil. III di bawah "Suruh" (hlm. 401).

129 Balada-balada yang berisi sejarah yang menyedihkan tentang Putri Sunda dalam bahasa Jawa dinamakan Kidung Sunda.
Balada-balada itu sudah dipelajari oleh Prof. Berg (lihat Pigeaud, Literature, jil. I, hlm. 123 dst.).



Satu-satunya yang dapat kita simpulkan dari adanya legenda-legenda Jawa ini ialah
kemungkinan adanya hubungan lama yang tidak selalu bersahabat - mungkin lewat laut
di sepanjang pantai utara - antara Sunda dan Jawa Timur. Waktu penduduk Jawa Islam
dari Jawa Tengah telah menguasai kota-kota pelabuhan di Jawa Barat, berakhirlah
hubungan langsung antara Jawa Timur dan Jawa Barat.

Daerah-daerah yang sering disebut dalam legenda-legenda Sunda sebagai daerah
kekuasaan raja-raja yang dianggap penting ialah Pajajaran dan Galuh. Keraton
Pajajaran konon terletak dekat Kota Bogor sekarang. Di situ ditemukan suatu piagam
batu bertulis dari zaman Pajajaran (bertahun 1333 M.).

Kota pelabuhan di pantai utara Pajajaran terletak dekat muara Ciliwung, tempat
Jakarta sekarang. Sebelum zaman Islam, tempat itu bernama Sunda Kelapa, nama
Kalapa ini kiranya masih lama dikenal orang Indo-Cina. Nama Jakarta, Jaya- Karta, itu
diberikan oleh Jawa Islam dari Banten yang telah merebutnya (lihat Bab VIII-4).

Daerah Galuh dahulu terletak di sebelah barat dan barat daya Kota Cirebon
sekarang.130 Tidak diketahui dengan tepat tempat tinggal raja-raja Galuh dahulu.
Dapat diduga, Indramayu (mungkin dahulu bernama Dermayu), dekat muara Cimanuk -
sungai yang mempunyai daerah aliran yang luas - dahulu merupakan kota pelabuhan
Kerajaan Galuh, kerajaan tua di Sunda. Akibat endapan-endapan lumpur, pangkalan
lautnya sekarang tidak berarti lagi.



VII-2 Permulaan Jawa Barat memeluk agama Islam: Cirebon

Salah satu berita tertua tentang Cirebon dalam hubungannya dengan agama Islam
terdapat dalam buku Suma Oriental, karangan musafir Portugis, Tome Pires. Yang
disebutkan oleh Tome Pires sebagai pendiri pedukuhan Islam pertama (mungkin) di
Cirebon ialah ayah Pate Rodin Sejarah keluarga Cina ini, yang menurut Tome Pires
konon menurunkan raja-raja Demak, telah dibicarakan panjang lebar dalam Bab 11-2.
Setelah mendarat di Gresik (dan mungkin memeluk agama Islam), lebih dulu Cu-Cu
menetap di Demak. Pada waktu itu (dalam sepuluh tahun terakhir abad ke-15) Demak
masih diperintah oleh seorang penguasa "kafir", raja taklukan maharaja Majapahit.
Penguasa Demak itu telah memanfaatkan jasa-jasa pedagang Cina Islam tersebut,
mungkin untuk meningkatkan perkembangan ekonomi kota pelabuhannya. Dalam
hubungan itu, sesudah beberapa waktu berlalu ia mengutus Cu-Cu ke Barat, ke



130 Terutama berdasarkan ilmu bahasa dapat dianggap ada kemungkinan daerah-daerah sepanjang pantai barat laut Jawa
beserta daerah pedalamannya pada zaman kuno telah didiami oleh suku-suku bangsa yang bahasanya mempunyai langgam
corak yang mirip dengan bahasa Sunda sekarang. Sungai Pamali dan Distrik Lebak Siyu dalam cerita tutur Jawa telah
dianggap sebagai batas antara daerah-daerah raja Majapahit dan raja Pajajaran (lihat Pigeaud, Literature, jil. III, hlm. 361 -b;
Codex LOr, no. 6379, Serat Kandha). Nama Cirebon atau Cirebon itu ada bagiannya C/, yang dalam bahasa Sunda berarti
sungai, yang banyak didapat juga pada nama-nama kota (juga jauh di luar daerah-daerah, yang sekarang termasuk daerah
Sunda; lihat juga cat. 128 di bawah ini). Nama lain untuk Cirebon, yang masih dipakai, ialah Grage atau Garage; arti nama ini
tidak dikenal. Pakungwati ialah salah satu nama Keraton Cirebon, yang sewaktu-waktu muncul dalam cerita-cerita Babad
Jawa.



Cirebon (atau mungkin membantu prakarsa Cu-Cu dengan kekuasaan dan slat-alat)
untuk mendirikan perkampungan di sana, yang akan membantu hubungan dagang
yang makin meluas antara Demak dan Jawa Barat. Rupanya, usaha pedagang Cina itu
berhasil baik. Sesudah beberapa waktu, setelah menjadi kaya dan mempunyai sekadar
kekuasaan, ia kembali ke Demak. Kemudian keluarganya dapat pula memegang
kekuasaan pemerintahan di kota pelabuhan itu.

Pemberitaan Tome Pires tentang dasawarsa terakhir abad ke-15 ini tidak dikuatkan
oleh cerita-cerita Jawa atau Sunda. Oleh karena musafir Portugis itu kira-kira 25 tahun
kemudian berada di Jawa, berita itu pantas dipercaya. Dari keadaan demikian kiranya
dapat diambil kesimpulan bahwa sebelum Demak secara pasti dan nyata menjadi
Islam, sudah ada hasrat yang kuat untuk memperluas kekuasaan (ekonomi) ke arah
barat. Panen padi yang sangat besar, yang dihasilkan dataran rendah aluvial (berkat
endapan lampur) yang subur sepanjang pantai utara Kendal dan Cirebon itu,
merupakan hasil tambahan yang lumayan bagi perdagangan beras Demak dengan
pedagang-pedagang dari seberang.

Dari pemberitaan Tome Pires tidak terbukti bahwa Cina Islam itu di Cirebon telah
mendirikan permukiman yang benar-benar baru. Nama tempat itu menimbulkan dugaan
bahwa penduduk aslinya orang-orang Sunda. Menurut berita Pires, pangkalan laut yang
bagus itu telah dijadikan alasan bagi orang yang penuh inisiatif itu untuk mendirikan
factorij 'perkantoran yang diperkuat' bagi perdagangan Demak. Kemungkinan, daerah
Cirebon (seperti beberapa daerah lain di sebelah timurnya) ada di bawah kekuasaan
raja "kafir" Sunda di Galuh dan Pajajaran. Kerajaan Galuh konon sudah kehilangan
kemerdekaannya pada zaman dahulu.

Tome Pires menyebut beberapa kota pelabuhan antara lain Cirebon dan Demak
yang pada permulaan abad ke-16 agak penting, yaitu Losari, Tegal, dan Semarang.
Mengenai sejarah kota-kota ini ia tidak dapat memberikan keterangan yang terinci.
Yang jelas dapat diterima ialah bahwa hubungan antara Demak dan Cirebon
diselenggarakan dengan kapal-kapal pantai, seperti juga hubungan antara Demak dan
Gresik, tempat asal Cu-Cu.131 Musafir Portugis itu juga memberikan beberapa
keterangan mengenai kota-kota pelabuhan di Jawa Barat yang masih menjadi milik raja
Pajajaran yang "kafir" itu, yang menolak kedatangan "kaum Moor" (orang-orang Islam).
Ini secara tidak langsung menguatkan dugaan bahwa kampung dagang, yang oleh
perantara Cina dari Demak didirikan di Cirebon, merupakan tambahan daerah bagi
kaum Islam.

Suma Oriental masih memuat berbagai pemberitaan mengenai perdagangan laut
antara para pedagang Cirebon dan Malaka. Kepala kampung Jawa dekat Malaka atau



131 Karangan Dr. Meilink-Roelofsz (Meilink-Roelofsz, Asian Trade, hlm. 112 dst.) berisi informasi yang sangat menarik, sebagian
besar bersumber pada Suma Oriental (karya Tome Pires), tentang perdagangan di daerah-daerah Pesisir sebelah barat pada
permulaan abad ke-16.



di Malaka, yang bernama Upeh, konon berasal dari Cirebon. Oleh orang Portugis ia
disebut Pate Kedir. Pate Kedir dari Malaka-Upeh ini kiranya di tempat asalnya Cirebon
termasuk orang yang terpandang, juga di kalangan raja. Tidak diketahui siapa raja itu.

Oleh karena Tome Pites meninggalkan Jawa kira-kira pada tahun 1515, maka
berita-berita tentang perdagangan laut yang pesat di Cirebon itu diperkirakan
menyangkut masa akhir abad ke-15 dan awal abad ke-16. Dari pemberitaannya, dapat
dipahami bahwa pada waktu itu baik di Demak maupun di Cirebon terbentuk kelompok-
kelompok pedagang Islam yang berhubungan antara yang satu dan yang lain. Para
anggota kelompok-kelompok itu konon orang-orang berdarah campuran. Masih belum
dilupakan orang bahwa keluarga-keluarga terkemuka mempunyai asal usul Cina.



VII-3 Wali dari Cirebon, Sunan Gunungjati, legenda dan sejarah

Cerita tutur Jawa dan Sunda mengenai permulaan agama Islam di Cirebon ternyata
tidak memberitakan apa-apa tentang jemaah Islam lama, yang disebut oleh Tome Pires
dan yang asal mulanya sama dengan yang ada di Demak. Menurut cerita-cerita
pribumi, pujian tentang pengislaman daerah-daerah ini sepenuhnya ditujukan kepada
satu orang perintis agama saja, yang sesudah meninggal diberi julukan Sunan
Gunungjati, sesuai dengan nama bukit dekat Cirebon tempat beliau dimakamkan. 132

Ada sebuah legenda Jawa yang menceritakan bahwa seorang saudara sepupu atau
kakak Raden Rahmat (yang kelak menjadi Sunan Ngampel Denta, orang suci di



132 Karya-karya sejarah Jawa setempat tentang kerajaan-kerajaan Islam Cirebon dan Banten sebagian telah diterbitkan: Rinkes,
Babad ; Djajadiningrat, Banten-, Edel, Hasanuddin. Kedua karya tersebut terakhir ini sangat penting bagi pengetahuan kita
tentang sejarah kerajaan-kerajaan Jawa Barat. Pada tahun 1972 diterbitkan karya Drs. Atja (Atja, Tjarita) yang berisi
transkripsi (berikut pendahuluan dan terjemahan dalam bahasa Indonesia) naskah prosa Jawa yang agak pendek (303 baris
(?)), menurut kata-kata penutup ditulis pada tahun 1720 M. ( warsaning Walandi saharsa pitung atus rwang dasa jejeg) oleh
Pangeran Aria Cirebon, seorang bangsawan keturunan cabang Kesepuhan. Pangeran itu dalam kata-kata penutupnya
menyebutkan kitab Nagara Kreta Bumi sebagai sumbernya, suatu buku yang sampai kini tidak kita kenal. Alasan-alasan yang
meragukan apakah Tjarita Tjaruban ( Caruban , Campuran, kiranya nama lama yang asli untuk Cirebon) benar-benar ciptaan
dari perempat pertama abad ke-18 adalah: 1. bahasa yang dipakai adalah prosa "kawi" tiruan; 2. amat banyak tahun
dicantumkan menurut tarikh Masehi, dan 3. terdapat maksud yang jelas untuk menerangkan segala sesuatu yang sampai saat
ini serba gelap dalam sejarah keluarga raja Cirebon. Dua keanehan yang kita sebutkan terakhir ini mengingatkan kita pada
bab tentang sejarah Cina Jawa dari abad ke-15 dan ke-16 dalam buku Parlindungan, Tuanku Rao\ karya yang dalam buku
kami ini hanya disebut secara sambil lalu saja, karena tidak adanya kepastian tentang sumber pemberitaan-pemberitaannya.
Seperti halnya dengan Parlindungan, Tjarita Tjaruban memberitakan adanya laksamana armada Cina yang singgah di Jawa,
dan adanya mercu suar yang telah didirikan atas perintahnya. Selain itu diberitakan juga tentang aliran "Shi 'a Muntadar" yang
dianut Syekh Lemah Abang di Pengging, orang bid'ah itu, yang telah menjalani hukuman mati, yang dilaksanakan oleh Sunan
Kudus di Masjid Cipta Rasa Cirebon dengan menggunakan Keris Kanta Naga milik Sunan Jati Purba.

Selanjutnya Tjarita Tjaruban terutama berisi pemberitaan-pemberitaan mengenai hubungan-hubungan kekerabatan dalam
keluarga raja Cirebon dan keturunan-keturunan keluarga ini, yang menghuni tempat-tempat di sekitarnya. Makam-makam di
tempat permakaman suci yang sudah tua itu (Gunung Sembung) dengan teliti telah dipastikan sebagai makam raja-raja dan
orang bangsawan, yang telah memainkan peranan dalam sejarah. (Masih dapat diragukan apakah pemastian ini dapat
dipercaya sepenuhnya karena makam-makam itu sering tidak ada namanya). Banyak nama tempat terdapat dalam teks-teks
lain, umpama Japura. Segala sesuatunya menunjukkan bahwa penulis Tjarita Tjaruban, siapa pun orangnya dan apa pun
kedudukannya, ternyata mengenal Cirebon baik sekali. Tinjauan lebih lanjut mengenai nilai naskah Jawa ini sebagai sumber
pengetahuan kita tentang sejarah Cirebon, dan pandangan mengenai pribadi penulis, tidak dapat kami uraikan di sini (lihat
lagi cat. 131 berikut ini). Pendahuluan panjang lebar, yang ditambahkan oleh Drs. Atja pada terbitan Tjarita Tjaruban, berisi
pemberitaan-pemberitaan yang sangat menarik tentang tempat-tempat keramat yang dihormati dan adat kebiasaan rakyat di
sekitar Cirebon yang ada hubungannya dengan penghormatan terhadap tempat-tempat keramat itu.

Penyebaran bahasa dan peradaban Jawa, yang dilakukan dari pantai utara Jawa Tengah ke arah barat, telah dibicarakan
dalam Pigeaud Volksvertoningen (hlm. 109 dst.) dan dalam Pigeaud, Literature, jil.l, hlm. 6, ("C") dan hlm. 12, ("3" dan "4").



Surabaya) telah menetap di Grage (yaitu Cirebon), la bernama Jenal Kabir. Menurut
legenda ini, agama Islam di Jawa Timur dan di Jawa Barat itu sama tuanya.
Kecenderungan cerita yang mudah ditafsirkan ini menyebabkan legenda itu kurang
dapat dipercaya.


Lengkapnya Langsung saja download file berikut ini gratis

Klik Download Via Userscloud
Klik Download Via Tusfiles


Itulah materi tentang MATERI KERAJAAN-KERAJAAN ISLAM DI JAWA yang bisa anda manfaatkan sebagai bahan pelajaran atau mengajar menjadi guru atau dosen.

Related Post

Belum terdapat comments pada "MATERI KERAJAAN-KERAJAAN ISLAM DI JAWA", silahkan berikan komentar pertama.

Post a Comment